Di kota kafilah Timbuktu yang kuno, bermalam-malam sebelum saya bertemu dengan penggemar buku atau marbut, atau menghibur pacar si Baret Hijau, saya dipanggil ke atas atap untuk menemui seorang saudagar garam. Saya dengar, dia punya informasi tentang orang Prancis yang disandera teroris di suatu tempat terpencil nun di gurun pasir Mali utara. Truk si saudagar biasa melintasi tanah gersang tersebut, membawa beragam bahan keperluan ke tambang-tambang yang terletak di dekat perbatasan Aljazair, lalu mengangkut lempeng garam yang berat kembali ke Timbuktu. Jadi, mungkin saja dia tahu tentang penculikan yang telah meluluhlantakkan bisnis wisata di kota legendaris tersebut.
Saya sampai di sebuah rumah dalam suatu perkampungan Arab setelah azan isya. Seorang bocah bertelanjang kaki kemudian mengantar saya melintasi pekarangan yang gelap dan menaiki tangga batu ke teras atap, tempat si saudagar garam duduk di atas bantal. Sosoknya tambun, tetapi tampak mungil di samping lelaki raksasa yang duduk di sebelahnya. Ketika si raksasa menegakkan tubuhnya yang besar untuk menyapa saya, tingginya hampir dua meter. Kepala si raksasa dililit serban linen sehingga yang terlihat hanyalah matanya. Tangannya yang besar dan hangat membungkus tangan saya.
Kami berbasa-basi sekian jurus lamanya, kebiasaan berabad-abad yang selalu mengawali percakapan di Timbuktu. Assalamualaikum. Waalaikumsalam. Keluarga Anda sehat? Ternak Anda gemuk? Badan Anda kuat? Alhamdulillah. Namun, setelah babak pendahuluan tersebut, si saudagar garam berdiam diri. Si raksasa mengeluarkan sobekan perkamen usang, lalu dengan suara bariton yang empuk dan agak teredam oleh serban yang menutupi mulut, dia menjelaskan bahwa kertas itu adalah fragmen Al-Quran yang pada berabad-abad silam tiba di Timbuktu dibawah kafilah dari Madinah. “Buku,” kata si raksasa sambil mengangkat telunjuknya yang besar sebagai penekanan, “dulu di Timbuktu lebih diinginkan daripada emas atau budak.”
Dia menyalakan lampu senter dan memakai kacamatanya yang telah usang. Sambil membalik halaman dengan jemari besarnya secara hati-hati, dia mulai membaca dalam bahasa Arab sementara si saudagar garam menerjemahkan: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”!break!
Aku bingung apa kaitan perbincangan kami itu dengan orang Prancis yang diculik. “Lihat betapa bagus tulisannya,” kata si raksasa, menunjuk lengkung halus dalam tinta merah dan hitam yang memudar di atas halaman yang menguning. Dia berhenti sejenak, “Kulepas kepadamu kalau harganya bagus.” Aku pun mengeluarkan dalih yang biasa kugunakan untuk pemuda dan anak-anak yang menjajakan perhiasan perak di dekat masjid. Aku berterima kasih karena dia memperlihatkan kitab tersebut dan mengatakan bahwa kitab itu terlalu indah, jangan sampai meninggalkan Timbuktu. Si raksasa mengangguk sopan, menyimpan kertas itu, lalu menuruni tangga batu.
Sementara itu si saudagar garam menylut sebatang rokok. Dia memiliki kebiasaan mengulum asap sampai mulutnya mengatakan sesuatu sehingga kepulan-kepulan kecil akan keluar bersama kata-kata yang dia ucapkan. Dia menjelaskan, si raksasa sebenarnya tidak ingin menjual naskah yang telah diwariskan turun-temurun dari leluhur ibunya itu. Hanya saja, keluarganya perlu uang. “Dia bekerja untuk pemandu wisata, tetapi sekarang tidak ada turis,” katanya. “Masalah yang terjadi di gurun itu membuat kami semua kena getahnya.” Akhirnya, dia mengungkit masalah si Prancis. “Kudengar si Mata Satu sudah menetapkan tenggat.”
Saat saya berada di Timbuktu, beberapa warga menyangkal bahwa kota itu rawan dan memohon kepada saya agar “menyuruh orang Eropa dan Amerika untuk datang.” Namun, hampir sepanjang dasawarsa terakhir Kementerian Luar Negeri AS dan pemerintah Barat lainnya menganjurkan warganya untuk menghindari Timbuktu, juga daerah lainnya di Mali utara. Pasalnya, ancaman yang datang dari berbagai sel teroris, kelompok pemberontak, dan gerombolan penyelundup yang tersebar telah menghisap kawasan gurun luas di utara Mali. Alam liar tak berhukum ini luasnya nyaris tiga kali Pulau Kalimantan, sebagian besar berupa hamparan pasir dan batu, dengan angin dan sengatan terik yang tak kenal ampun.
Gerombolan yang paling terkenal dipimpin oleh Mokhtar Belmokhtar, seorang pemimpin berkebangsaan Aljazair di kelompok Al Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM). Konon matanya cedera saat melawan Rusia di Afghanistan dan kini Belmokhtar terkenal di seluruh gurun dengan julukan perangnya Belaouer, istilah bahasa gaul Prancis-Aljazair yang berarti si Mata Satu. Sejak 2003, anak buah Si Mata Satu telah menculik 47 orang Barat. Hingga 2009, AQIM telah membuat kesepakatan untuk membebaskan semua sandera, tetapi ketika Inggris tidak mau memenuhi tuntutan kelompok itu bagi pembebasan Edwin Dyer, seorang turis Inggris, si sandera dihukum mati—dipancung, menurut warga setempat. Jenazah korban tak pernah ditemukan. Beberapa minggu sebelum saya tiba, Belaouer dan anak buahnya menangkap sandera baru: tiga relawan dari Spanyol, pasangan Italia, dan si orang Prancis.!break!
“Belaouer sangat cerdik,” kata si saudagar garam menekankan. Dia menceritakan bagaimana AQIM memperoleh perlindungan dari kabilah-kabilah berbahasa Arab lewat pernikahannya dengan putri seorang kepala kabilah yang berkuasa. Beredar isu santer bahwa dia memberi BBM dan ban bekas kepada patroli tentara Mali yang nahas terdampar di gurun. Cerita seperti itu membuat Belaouer memperoleh simpatisan di kalangan komunitas Arab minoritas di Timbuktu, yang membuat marah kelompok etnis dominan kota itu, suku Tuareg dan Songhai.
Di atas atap udara mendingin. Si saudagar garam menyampirkan selimut ke bahunya dan mengisap rokok dalam-dalam. Di sebelah utara, lampu kota berganti dengan gurun terbuka yang gelap gulita. Dia memberi tahu bahwa AQIM telah memutuskan nyawa orang Prancis itu dihargai dengan pembebasan empat orang kelompok Belaouer yang ditangkap oleh polisi Mali tahun lalu. Tenggat untuk memenuhi tuntutan itu adalah empat minggu lagi.
Saya bertanya mengapa tentara Mali tidak menyerang gerombolan teroris itu. Dia mengarahkan ujung rokoknya yang membara ke arah kelompok rumah yang terletak beberapa jalan jauhnya dan menceritakan, di lingkungan itu beberapa bulan sebelumnya, anak buah Belaouer membunuh seorang kolonel angkatan darat di depan keluarganya yang masih muda. “Semua orang di Timbuktu mendengar tembakannya,” katanya lirih. Dia menirukan suaranya, dor, dor, dor. Lalu, dia melambaikan rokok ke arah gugusan sinar lampu listrik yang menampakkan bentuk kota. “Si Mata Satu punya mata di mana-mana.” Lalu, hampir seperti baru terpikir, dia melanjutkan, “Saya yakin dia tahu Anda ada di sini.”!break!
Pasir yang tertiup dari gurun nyaris menelan jalan aspal yang melintasi pusat Kota Timbuktu ke rumah Abdel Kader Haidara. Pasir juga menggerus aspal sehingga jalan yang tersisa mirip ular hitam yang meliuk. Di tepi jalan, di depan bangunan dari bata-lumpur yang bobrok, kambing-kambing meramban di antara sampah yang bertebaran.
Ini bukanlah kota yang terlalu cantik, itulah pendapat yang sering diulang oleh orang asing yang datang membayangkan pemandangan megah sejak 1828, ketika Réné Caillié menjadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Timbuktu dan pulang hidup-hidup. Namun, kota ini selalu waspada. Setiap kali kendaraan lewat, anak-anak berhenti bermain bola, perempuan berhenti memasukkan bahan bakar ke oven bata, dan lelaki di pasar menghentikan percakapan untuk melihat siapa yang lewat. “Kami harus tahu siapa yang berada di kota,” kata sopir saya. Wisatawan dan pedagang garam berarti peluang bisnis; orang asing bisa berarti masalah.