Ketika saya bertemu dengan Pauketat di Cohakia untuk melihat situs itu melalui panduannya, dia lebih tertarik untuk memperlihatkan hasil temuannya di dataran tinggi, beberapa kilometer ke arah timur: tanda bahwa Cahokia menguasai permukiman pekerja di sekitarnya yang memasok pangan ke kota dan kepada para penguasanya—bukti, menurut Pauketat, bahwa kekuasaan politik ekonomi Cahokia memang terpusat dan luas jangkauannya. Ini teori yang kontroversial, karena penelitian yang mendukungnya masih belum diterbitkan, dan karena menimbulkan pertanyaan tentang seperti apa sebenarnya masyarakat Cahokia di masa itu.
Gayle Fritz dari Washington University di St. Louis berkata bahwa jika Cahokia sebuah kota, bukanlah kota sebagaimana yang biasanya ada dalam pikiran kita, tetapi kota yang sarat oleh petani yang menanam sendiri pangannya di ladang sekitarnya. Kalau tidak, pastilah lebih banyak tanda keberadaan gudang penyimpanan pangan. Batas praktis ukuran masyarakat petani berbasis-subsisten inilah yang menyebabkan para minimalis seperti George Milner dari Penn State University berpendapat bahwa perkiraan penduduk Cahokia—saat ini berkisar antara 10.000 dan 15.000 untuk kotanya sendiri dan 20.000 hingga 30.000 di daerah sekitarnya—dikalikan dua atau beberapa kali lipat, dan anggapan bahwa Cahokia sebuah negara adalah anggapan yang berlebihan. Namun, karena hanya kurang dari satu persen kawasan Cahokia yang baru digali, lebih banyak spekulasi, dan bukan bukti, yang dikemukakan oleh setiap kelompok yang meyakini teori tertentu. John Kelly dari Washington University, ahli arkeologi yang sudah lama meneliti Cahokia menyimpulkan pemahaman tentang Cahokia dengan manisnya: “Kita belum tahu pasti apa fakta yang sebenarnya tentang Cahokia.”!break!
Demikian pula, kita tidak tahu apa yang terjadi padanya. Cahokia adalah kota mati ketika Columbus mendarat di Dunia Baru, dan American Bottom serta sebagian besar dari Lembah Sungai Mississippi dan Sungai Ohio begitu sedikit penduduknya sehingga disebut sebagai Vacant Quarter (Daerah Kosong). Kematian Cahokia mungkin merupakan misteri yang lebih besar daripada kemunculannya, tetapi ada sejumlah petunjuk. Kota itu tumbuh berkembang terutama selama fase iklim yang menguntungkan, dan mulai menyusut ketika iklim menjadi lebih dingin, lebih kering, dan lebih sulit diramalkan. Bagi masyarakat petani yang bergantung pada hasil bumi yang teratur, kondisi yang berubah itu memberikan dampak beragam, mulai dari yang ringan hingga yang sangat parah.
Kenyataan bahwa antara 1175 dan 1275 penduduk Cahokia membangun—dan membangun kembali, beberapa kali—benteng pertahanan yang mengelilingi bagian utama kota menyiratkan pertikaian atau ancaman pertikaian telah menjadi kebiasaan hidup di kawasan itu, mungkin karena terbatasnya sumber daya. Selanjutnya, populasi yang padat menciptakan masalah lingkungan secara terus-menerus—perusakan hutan, erosi, polusi, penyakit—yang bisa menjadi sulit ditanggulangi dan yang sudah menjadi penyebab punahnya sejumlah peradaban di dunia.
Tidaklah mengherankan bahwa Cahokia bertahan hanya sekitar 300 tahun, dan berada di puncak kekuasaannya paling lama hanya separuh dari kurun waktu itu. “Jika kita simak sejarah manusia dengan kaca mata yang luas, kegagalan itu sesuatu yang lazim,” ujar Tom Emerson. “Yang mengagumkan justru ketika ada tatanan sosial yang langgeng.”
Saat ini Emerson memimpin penggalian besar di kawasan yang berdekatan (ibarat Bogor dan Jakarta) dengan yang dinamakan East St. Louis pada masa Cahokia, situs yang penduduknya saja berjumlah ribuan orang. Dan seperti dikatakan sebelumnya, pembangunan jalan ikut menutup biaya penggalian tersebut: Jembatan baru yang melintasi Mississippi memberi tim Emerson peluang untuk menggali lahan seluas 14 hektare yang sebelumnya dinyatakan tidak dapat digunakan karena ada proyek pembangunan jalan. Kandang ternak yang dibangun di atas reruntuhan permukiman Mississippi telah ditutup selama bertahun-tahun, korban kemunduran East St. Louis dari kota yang semula ramai menjadi kumpulan lahan terlantar dan bangunan yang pintu dan jendelanya ditutupi papan agar tidak dimasuki penjahat atau penghuni liar. Inilah perjalanan sejarah di masa kini: begitu cepat bergerak sehingga tidak mudah dikenali.!break!
Ketika saya mengendarai mobil ke St. Louis untuk melihat apakah masih ada yang menyiratkan gundukan besar (dinamai demikian oleh masyarakat yang tidak punya daya cipta untuk mencarikan nama yang lebih baik) yang hancur di situ pada 1869, saya kaget ketika melihat lokasi persisnya ternyata di daratan tempat akan berakhirnya bentang jembatan baru dari St. Louis. Saya bertanya kepada penduduk di sekitar lokasi itu dan ternyata para ahli arkeologi pernah menggali lahan ini juga sebelum pembangunan dimulai. Tetapi, mereka tidak menemukan bekas-bekas Big Mound, hanya puing-puing pabrik abad ke-19 yang pernah dibangun di situ. Itulah yang sekarang menjadi sejarah situs tersebut. Sisanya sudah tidak ada lagi.
Setelah upaya pertama gagal, akhirnya saya berhasil menemukan tanda pengenal Big Mound. Bentuknya berupa monumen dari batu kerikil sekitar setengah blok dari Mound Street ke arah Broadway, tanpa plakat, dan rumput tumbuh di antara kerikilnya. Syukurlah saya menemukannya tepat sebelum seorang lelaki datang untuk menyemprotnya dengan zat pembunuh rumput liar. Saya bertanya apakah dia bekerja untuk pemrintah kota, dan dia menjawab tidak. Namanya Gary Zigrang, dan dia memiliki sebuah bangunan agak jauh dari situ. Dia sudah pernah menghubungi pemerintah kota tentang tanda pengenal yang sudah rusak itu, tetapi tidak ada tanggapan apa pun, sehingga akhirnya dia berprakarsa menanganinya sendiri. Dan ketika dia menyemprot rumput liar pada monumen terlupakan yang menandai gundukan terlupakan tentang orang-orang terlupakan yang pernah tinggal di situ, dia berkata, “Sungguh menyedihkan. Ada sejarah di sini, dan seharusnya ditangani baik-baik.”