Nekat. Berontak. Bebas.

By , Kamis, 19 Mei 2011 | 11:09 WIB

Pada Sabtu pagi yang cerah di bulan September seorang pemuda menempel di permukaan Half Dome, tebing granit terjal setinggi 650 meter di jantung Lembah Yosemite. Dia sendirian, begitu tinggi di atas tanah sehingga mungkin hanya elang yang memperhatikannya. Dengan bergelantung pada ujung jari di tepi batu setipis uang logam, sepatu menggesek-gesek pada riak batu, Eminem berdentum  di iPod-nya, Alex Honnold sedang mencoba sesuatu yang belum pernah dicoba siapa pun: memanjat jalur Northwest Reguler Face di Half Dome tanpa tali. Posisinya tidak sampai 30 meter lagi dari puncak ketika terjadi sesuatu yang berpotensi bahaya—ia sedikit kehilangan percaya diri.!break!

Selama dua jam 45 menit benak Honnold terfokus, melakukan ratusan gerakan atletis yang cermat tanpa cacat, satu demi satu, dan tidak sekali pun ia ragu. Dalam olahraga panjat solo bebas (free solo), yang berarti memanjat hanya dengan kantong bubuk kapur dan sepatu panjat—tanpa tali, tanpa peralatan, tak ada yang membantu menempel di batu selain keyakinan dan keterampilan sendiri—keraguan itu berbahaya. Jika ujung jari Honnold tidak bisa bertahan, atau jika semata-mata dia yakin bahwa ujung jarinya tidak bisa bertahan, ia akan jatuh dan mati. Sekarang, karena fokus itu tiba-tiba pecah oleh kelelahan mental dan batu selicin kaca di depannya, dia lumpuh.

"Kakiku tak mungkin bisa menempel di situ," kata Honnold dalam hati, sambil menatap tonjolan licin di permukaan batu. "Aduh, gawat."

Dua hari sebelumnya ia tidak merasa seperti itu, ketika melesat di jalur yang sama dengan tali. Pemanjatan itu berlangsung begitu mulus, sehingga ia yakin bisa melakukannya dengan gaya solo bebas, meskipun kesulitan jalur itu sudah legendaris. Ketika Half Dome pertama kali dipanjat, pada 1957, Royal Robbins dari California dan rekan-rekan satu regunya perlu waktu lima hari. Untuk sampai ke puncak, 1.475 meter di atas dasar lembah, mereka mengetukkan sekitar seratus pasak, irisan baja tipis, pada batu, guna menggantungkan tali untuk memanjat—gaya yang disebut panjat berbantu (aid climbing). Satu generasi kemudian, pada 1976, Art Higbee dan Jim Erickson dari Colorado memanjat Half Dome hampir sepenuhnya bebas—hanya mengandalkan tangan dan kaki yang diselipkan ke celah, menggunakan tali hanya untuk menahan jatuh—dalam 34 jam. Jika Honnold berhasil memanjat Half Dome dengan gaya solo bebas, itu akan menetapkan standar baru yang luar biasa.

Sekarang, saat berpegangan pada granit, Honnold bimbang, mengapuri satu tangan dengan hati-hati, lalu tangan satunya, dengan cermat menyesuaikan kaki pada pijakan kecil yang tak terlihat. Lalu tiba-tiba dia bergerak lagi, melangkah naik, menggesekkan sepatu pada tonjolan licin. Sepatunya menempel. Tangannya bergerak ke pegangan lain, jemarinya bertumpu pada tepi kecil. Beberapa menit kemudian dia di sampai puncak.

“Aku menyemangati diri karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan," ujar Honnold kepada saya kemudian, sambil tertawa ceria. “Aku melangkah dan memercayai pijakan mengerikan itu dan terbebas dari penjara kecil tempat aku berdiri diam selama lima menit."

Kabar tentang panjat bebasnya di Half Dome selama 2 jam 50 menit itu tersebar ke seluruh dunia. Para pendaki tercengang, dan para penulis blog memberitakannya dengan bersemangat. Pada hari musim gugur yang hangat di 2008 itu, pemuda 23 tahun dari pinggiran kota Sacramento yang kutu buku dan masih senang bermain Scrabble dengan ibunya itu baru saja mencetak rekor baru tingkat tinggi dalam dunia pendakian.

Inilah keajaiban Yosemite: Tempat yang menempa pahlawan. Dari mana pun mereka berasal, dari Pegunungan Alpen hingga Pegunungan Andes, semua pemanjat tebing yang serius ingin mengunjungi Lembah Yosemite untuk menjajal diri terhadap raksasa-raksasanya: El Capitan, haluan batu berkilau yang begitu besar sehingga pohon pinus ponderosa setinggi 30 meter di kakinya tampak mini; Cathedral Rocks, benteng gelap yang senantiasa berbayang; dan Half Dome, apel granit yang dibelah dua, sisi barat lautnya yang menjulang mengundang para pemanjat paling berani di dunia. Memanjat di sini adalah uji kematangan pemanjat.!break!

Saya pertama kali mengunjungi lembah ini pada 1970-an, remaja lapar yang menumpang mobil dari Wyoming, hanya membawa uang $20 dan tali panjat. Setelah tumbuh di High Plains dan menguji diri di Pegunungan Rockies, saya ingin percaya bahwa saya sudah siap. Sebuah keluarga dari Iowa yang mengendarai mobil keluarga, berlibur dengan tiga anak dan anjing golden retriever, menurunkan saya di padang rumput di bawah bayang-bayang El Capitan, dan rasanya saya berdiri di sana dengan menengadah, tertegun, selama seperempat jam.

Saya tinggal di Camp 4, perkemahan Yosemite untuk pendaki yang terkenal gaduh. Saat itu, Camp 4 terkenal dengan celana cutbrai dan manik-manik, tenda robek dan kantong tidur kumal. Para pendakinya pemberontak gondrong yang senang hura-hura, kecanduan pada kebebasan dan serunya memanjat tebing batu, dan karenanya sering menyusahkan jagawana, yang sering mereka cemooh.

Perasaan yang berbalas dari para jagawana. Pada suatu tengah malam, setelah bersusah payah mencoba memanjat tebing besar, saya dan teman-teman terhuyung kembali ke perkemahan, tetapi malah menemukan bahwa jagawana telah menyita tenda karena kami melampaui batas izin berkemah. Malam itu kami tidur di tanah dan sejak saat itu berkemah diam-diam, menggelar kantong tidur di hutan atau di antara batu besar, tidur di bawah bintang, dan kembali ke tebing sebelum fajar (sekarang masih lazim dilakukan). Kami mengumpulkan kaleng minuman untuk dijual dan hanya makan selai kacang dan bir murah, tetapi kami bahagia sekali.

Tapi saya hanya turis di Camp 4, tak lama kemudian pulang ke Wyoming. Kisah-kisah terkenal tentang Camp 4 berasal dari orang-orang yang tinggal di sana sepanjang musim panas, setiap musim panas, seperti raja gelandangan, senantiasa mendesak batas kemampuan dan kesabaran para jagawana taman. Hingga saat ini, kisah tentang Camp 4 sering diceritakan di sekitar api unggun di seluruh dunia. Dulu ada pesawat penyelundup narkoba, berisi ikatan ganja dan gepok uang tunai, jatuh di alam pegunungan liar. Para pemuda bersandal yang compang-camping dari Camp 4 bolak-balik menembus salju, menyelinap membawa jarahan. Untuk beberapa lama, mereka bisa makan steik, menggantikan sarden kaleng. Seorang pendaki keluar dari Yosemite naik mobil DeSoto bobrok dan kembali sepuluh hari kemudian naik mobil konvertibel Lincoln Continental merah. Beberapa orang lainnya berangkat ke Pegunungan Alpen, mendambakan kemuliaan, tetapi tidak berhasil menempuh lebih jauh dari rumah bordil di Bordeaux, kembali dengan gembrot dan bangkrut tahun berikutnya.!break!

Itu dulu. Keadaan telah berubah. Saat mengunjungi perkemahan panjat di Yosemite sekarang, Anda mungkin bertemu dengan pengacara perceraian dari Delaware, sama mungkinnya dengan bertemu gelandangan gondrong yang kumal. Saat berjalan-jalan di Camp 4 suatu pagi, aku mendengar selusin bahasa—Ceko, Cina, Thailand, Italia—dan bertemu pendaki dari berbagai lapisan masyarakat. Seorang insinyur muda Jerman, yang tersenyum lebar, baru saja menyelesaikan pendakian El Cap lima hari. Seorang gadis bertelanjang kaki dari Denmark, dengan cincin hidung, rambut dreadlock, tato, sedang meniti tali—tali yang dipasang di antara pohon, semeter di atas tanah. Sepasang ibu dan ayah dari Negara Bagian Washington mengajari dua anak mereka memanjat. Panjat tebing bukan lagi olahraga pinggiran. Sudah menjadi olahraga umum. Dan tidak seperti tahun-tahun awal, jumlah perempuan di tebing hampir sama banyaknya dengan lelaki—perubahan menyenangkan yang tecermin dalam prestasi satu orang: Lynn Hill.