Badai Pasti Menjelang

By , Kamis, 19 Mei 2011 | 11:08 WIB

Kita memang hanya tujuh miliar bintik di permukaan bumi, tetapi kalau berada di Bangladesh, kadang rasanya seperti separuh umat manusia ini dijejalkan di tempat seukuran Kalimantan Barat. Dhaka, ibu kotanya, begitu padat sehingga setiap taman dan jalan setapak diduduki oleh gelandangan. Jalan dan gang yang pengap di kota itu dipadati oleh kesemrawutan sekitar 15 juta orang, sebagian besar terjebak macet. Di tengah hiruk-pikuk ini bergerak pasukan kecil orang Bengal berupa pengemis, penjual sayur, penjaja berondong, pengayuh angkong, pengasong pernak-pernik. Daerah pedesaan di luar kota merupakan bantaran banjir luas yang becek, diselang-seling tanah rimbun menghijau yang datar dan dijejali manusia. Ketenangan tidak dijumpai di tempat-tempat yang semestinya lengang. Di Bangladesh tidak ada jalan raya yang sepi.!break!

Semestinya kita tak perlu heran. Bangladesh memang salah satu negara berpenduduk terpadat di Bumi. Penduduknya lebih banyak daripada Rusia yang berwilayah jauh lebih luas. Di tempat ini, di negara dengan 164 juta jiwa, orang secara matematis tidak bisa benar-benar sendirian. Tidak mudah terbiasa dengan keadaan seperti itu.

Jadi, bayangkan Bangladesh pada tahun 2050, ketika populasinya mungkin melejit hingga 220 juta, dan sebagian daratannya mungkin sudah terbenam oleh laut selamanya. Skenario itu didasarkan pada dua proyeksi yang menyatu: pertumbuhan penduduk yang akan terus menambah jutaan orang Bangladesh lagi dalam beberapa dasawarsa mendatang, meskipun tingkat kelahiran telah menurun tajam, dan kenaikan permukaan air laut yang mungkin berkisar antara sepersekian meter hingga satu meter lebih sebelum 2100 akibat perubahan iklim. Skenario seperti itu bisa berarti bahwa 10-30 juta orang di sepanjang pantai selatan harus pindah, memaksa orang Bangladesh semakin berdesakan atau kabur dari negara itu sebagai pengungsi iklim—golongan yang diperkirakan akan membengkak hingga sekitar 250 juta jiwa di seluruh dunia sebelum pertengahan abad, banyak yang berasal dari negara-negara miskin berdataran rendah.

“Secara global, ini berarti migrasi massal terbesar dalam sejarah manusia,” kata Mayjen Muniruzzaman, pensiunan perwira tentara, yang mengepalai Bangladesh Institute of Peace and Security Studies di Dhaka. “Sebelum 2050, jutaan pengungsi tidak hanya akan membuat kewalahan tanah dan sumber daya kami yang terbatas, tetapi juga pemerintah, lembaga, dan perbatasan kami.” Muniruzzaman menyebutkan simulasi masa depan yang baru-baru ini dilakukan National Defense University di Washington, D.C. Dalam simulasi itu, jutaan pengungsi kabur ke India tetangganya, mengakibatkan penyakit, konflik agama, kekurangan makanan dan air tawar yang parah, dan peningkatan ketegangan antara kedua pesaing bersenjata nuklir, India dan Pakistan.

Malapetaka seperti itu, meski tidak nyata, cocok dengan skenario sejarah Bangladesh yang dirundung krisis, yang, sejak kemerdekaannya tahun 1971, telah mengalami perang, kelaparan, penyakit, topan mematikan, banjir besar, kudeta militer, pembunuhan politik, dan tingkat kemiskinan dan kemelaratan yang memilukan. Namun, orang di Bangladesh tidak membaca skenario itu. Bahkan, banyak orang di sini mengupayakan akhir cerita yang berbeda sama sekali, yaitu kesulitan masa lalu menerbitkan harapan yang dahsyat.

Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, di Bangladesh, beradaptasi dengan perubahan iklim terasa mungkin, dan setiap adaptasi teknologi rendah yang bisa dibayangkan kini dicoba. Didukung oleh pemerintah negara-negara industri dan diterapkan oleh banyak LSM, inovasi-inovasi ini semakin diakui, berkat satu komoditas yang berlimpah di Bangladesh: ketangguhan manusia. Sebelum abad ini berakhir, dunia mungkin bukannya mengasihani Bangladesh, tetapi justru belajar dari teladannya.

Lebih dari sepertiga penduduk dunia tinggal dalam jarak 100 kilometer dari garis pantai. Pakar perubahan iklim meramalkan bahwa selama beberapa puluh tahun mendatang, seraya naiknya permukaan air laut, banyak kota besar dunia akan semakin rentan terhadap banjir pantai. Di seluruh dunia, dua kota yang mengalami kenaikan persentase penduduk terbesar yang terpapar pada iklim ekstrem sebelum 2070 terletak di Bangladesh: Dhaka dan Chittagong, disusul oleh Khulna. Meski beberapa bagian wilayah delta itu dapat mengimbangi kenaikan permukaan air laut, berkat endapan sungai yang meninggikan daratan pantai, wilayah lain mungkin akan terbenam.!break!

Tetapi, orang Bangladesh tidak perlu menunggu beberapa puluh tahun untuk mengintip masa depan yang berubah akibat laut yang naik. Dari sudut pandang di Teluk Bengal, mereka sudah mengalami apa rasanya hidup di dunia yang kelebihan penduduk dan diubah iklim. Mereka menyaksikan permukaan air laut naik, salinitas menjangkiti akuifer pantai, banjir sungai semakin merusak, dan topan mendera pantai dengan semakin dahsyat—semua perubahan yang dikaitkan dengan gangguan iklim global.

Pada 25 Mei 2009, warga Munshiganj, desa berpenduduk 35.000 jiwa di pantai barat daya, merasakan akibat dari kenaikan drastis permukaan air laut. Pagi itu topan bernama Aila mengintai di lepas pantai, dan anginnya yang melaju 110 kilometer per jam mengirim badai yang berpacu ke pantai tanpa suara, tanpa disadari warga desa yang sibuk mengurus sawah dan memperbaiki jala.

Pada jam sepuluh lebih, Nasir Uddin, nelayan usia 40 tahun, memerhatikan bahwa sungai pasang di samping desa naik “jauh lebih cepat daripada biasanya” menjadi pasang tinggi. Dia menoleh dan sempat melihat tembok air cokelat mulai berdebur menyeberangi salah satu tanggul tanah dua meter yang melindungi desa itu—garis pertahanan terakhir terhadap laut.

Dalam beberapa detik, air itu melanda rumahnya, menyedot tembok lumpur dan semua hal lain. Ketiga anak perempuannya melompat ke atas meja dapur, menjerit sementara air asin dingin berpusar di sekeliling pergelangan kaki, lalu hingga ke lutut. “Waktu itu aku yakin kami pasti mati,” katanya kepada saya. “Tapi Allah berkehendak lain.”

Bagai mukjizat, ada perahu nelayan kosong yang lewat, dan Uddin menangkapnya dan mengangkat anak-anaknya ke dalam perahu itu. Beberapa menit kemudian perahu itu terbalik, tetapi keluarga itu berhasil berpegangan sambil terombang-ambing. Air akhirnya surut, menyisakan ratusan orang tewas di sepanjang pantai barat daya dan ribuan orang kehilangan rumah. Uddin dan sebagian besar tetangganya memutuskan untuk bertahan di situ dan membangun desa kembali, tetapi ribuan yang lain berangkat untuk memulai hidup baru di kota daratan, seperti Khulna dan Dhaka.!break!

Ribuan orang datang ke Dhaka setiap hari, kabur dari banjir sungai di utara dan topan di selatan. Banyak yang akhirnya tinggal di Korail, daerah kumuh yang padat penduduk. Dan karena sudah didatangi ratusan ribu migran seperti itu, Dhaka tidak mampu lagi menerima penghuni baru. Untuk menyediakan layanan dan prasarana yang paling sederhana pun, kota itu sudah kesulitan.