Kita. Dan Mereka

By , Jumat, 29 Juli 2011 | 09:43 WIB

Ketika HERB diperkenalkan dengan benda baru, aturan yang sudah diketahuinya memberitahukan gerakan lengan dan tangannya yang dikendalikan tekanan. Apakah benda itu memiliki pegangan? Apakah dapat pecah atau menumpahkan isinya?

Tentu saja dunia yang sudah mulai dikuasai HERB adalah lingkungan laboratorium yang terkendali. Memrogramnya untuk berfungsi di lingkungan manusia pastilah sangat menantang. HERB memiliki klakson digital yang ditekannya untuk memberi tahu orang bahwa dia sedang mendekati mereka; jika suatu ruangan dipenuhi banyak orang, dia melakukan hal paling aman dan tetap berdiri di suatu tempat, membunyikan klakson kepada setiap orang.

Strategi ini bisa diterapkan di lab, tetapi pasti tidak nyaman jika dilakukan di kantor. Manusia dapat melakukan banyak sekali gerakan otomatis—kita tahu bagaimana untuk dengan sopan berjalan menghindari orang yang menghalangi jalan kita, bagaimana merasakan bahwa kita berdiri terlalu berdekatan dengan orang lain. Penelitian di Carnegie Mellon dan di tempat lain menunjukkan bahwa orang mengharapkan robot juga berperilaku sama. Snackbot, robot bergerak lain yang tengah dibuat di Carnegie Mellon, menerima pesanan dan mengantarkan camilan kepada orang di School of Computer Science. Kadang dengan menjengkelkan, dia mengantarkan camilan yang salah atau memberikan uang kembalian yang salah. Orang akan lebih memaklumi jika si robot memperingatkan mereka terlebih dahulu bahwa dia mungkin melakukan kesalahan atau minta maaf ketika berbuat salah.!break!

Seperti banyak robot sosial lainnya, Snackbot adalah sosok yang menggemaskan—tingginya tidak sampai 1,5 meter, dengan kepala dan fitur mirip tokoh kartun yang tidak menyiratkan manusia. Selain tidak terlalu melambungkan harapan, perawakan kecil ini juga menghindarkan robot dari uncanny valley, istilah untuk respons emosional yang diciptakan oleh perintis robot dari Jepang, Masahiro Mori, lebih dari 40 tahun silam. Sampai titik tertentu, kita bereaksi positif terhadap robot yang berpenampilan dan menunjukkan perasaan seperti manusia, begitu hasil pengamatan Mori. Tetapi, tatkala robot itu menjadi semakin mirip manusia tanpa benar-benar berperilaku seperti manusia, hal yang semula menawan hati dengan cepat berubah menjadi mengesalkan.

Meskipun pada umumnya ilmuwan perakit robot tidak tertarik untuk mendekati uncanny valley dengan membuat robot yang sangat mirip dengan manusia, sejumlah kecil memandang uncanny valley ini sebagai jurang yang harus dilompati jika kita ingin bisa menyeberang ke sisi yang lain—masa depan ketika robot terlihat, bergerak, dan berperilaku sangat mirip dengan kita sehingga menimbulkan empati lagi, bukan perasaan kesal. Boleh dikatakan, sosok yang paling berani dari kelompok para perintis ini adalah Hiroshi Ishiguro, dan tenaga penggerak di balik semua ini adalah Yume, atau Actroid-DER. Ishiguro telah mengawasi perkembangan sejumlah besar robot inovatif, untuk mengeksplorasi respons manusia terhadap robot yang “hidup” (human-robot interaction, HRI). Pada tahun lalu dia berperan besar dalam menciptakan replika seorang profesor dari Denmark, dinamakan Geminoid DK. Robot ini mencengangkan dan sangat realistik, lengkap dengan janggut, cambang, dan senyum yang menawan hati. Selain itu juga diciptakan sebuah robot telepon selular “telepresence” bernama Elfoid, yang ukuran, bentuk, dan keringkihannya mirip dengan bayi prematur.!break!

Sampai sejauh ini, ciptaan Ishiguro yang paling masyhur dan membuat miris adalah model Geminoid yang lebih dini, yakni robot kembaran dirinya. Ketika saya mengunjunginya di labnya di ATR Intelligent Robotics and Communication Laboratories di Kyoto, Jepang, keduanya mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki dan si robot duduk di kursi di belakang Ishiguro, mengenakan surai dari rambut hitam dan menunjukkan mimik wajah yang persis sama dengan penciptanya. Ishiguro, yang juga mengajar di Osaka University, yang berjarak dua jam dari situ, berkata bahwa dia menciptakan kembaran silikon itu agar secara harfiah dia bisa berada di kedua tempat itu pada waktu yang sama, mengendalikan si robot melalui sensor peniru-gerakan wajahnya sehingga baik dia maupun si robot dapat berinteraksi melalui Internet dengan para sejawat di ATR, sementara dia tetap di Osaka untuk mengajar. Seperti para perintis HRI lainnya, Ishiguro tertarik untuk bukan saja berusaha mengembangkan robot sejauh mungkin dari segi teknologi, tetapi juga dari segi filosofi.

“Anda percaya bahwa saya nyata, dan Anda percaya bahwa benda itu bukan manusia,” katanya sambil menunjuk ke robot kembarannya. “Tetapi, Anda akan semakin sulit membedakan kami di saat teknologi sudah semakin maju. Jika pada akhirnya Anda tidak bisa membedakan kami berdua, perlukah dipermasalahkan apakah Anda berinteraksi dengan manusia atau dengan mesin?” Penggunaan ideal kembarannya, katanya, adalah untuk menghadirkan dirinya di rumah ibunya yang jaraknya jauh, yang jarang ditemuinya, sehingga sang ibu bisa lebih sering bersamanya.

“Mengapa ibu Anda harus bersedia menerima robot?” tanya saya.

Dua wajah mengernyitkan dahi memandang saya. “Karena dia adalah saya,” kata salah satu di antara keduanya.!break!

Sebelum ada versi robot anak yang bisa berinteraksi dengan ibunya sebagaimana layaknya seorang anak tulen, masih banyak hal yang harus dilakukan. Coba saja perhatikan tantangan yang dihadapi HERB untuk bergerak kian-kemari di lingkungan fisik manusia yang sederhana. Sejumlah robot lain mulai menjelajahi medan sulit dan rumit yang menyangkut kondisi batin dan emosi manusia. Nilanjan Sarkar dari Vanderbilt University dan mantan sejawatnya Wendy Stone, sekarang di University of Washington, pernah mengembangkan purwarupa sistem robot yang memainkan permainan bola sederhana dengan anak-anak autis.

Robot itu memantau emosi anak dengan mengukur perubahan halus detak jantung, pengeluaran keringat, pandangan, dan tanda fisiologis lain. Ketika mengenali mulai timbulnya perasaan bosan atau kesal, dia mengubah permainan sampai tanda yang dipantaunya menunjukkan si anak merasa senang lagi. Sistem ini masih belum cukup canggih untuk komunikasi terapi timbal-balik tulen yang kompleks dari segi linguistik maupun fisik. Akan tetapi, sistem tersebut merupakan langkah pertama untuk meniru salah satu tolok ukur manusia: mengenali pikiran dan perasaan orang lain, lalu menyesuaikan diri untuk menanggapinya.

Pada sebuah artikel yang terbit pada 2007 dengan judul provokatif “What Is a Human?” (Apakah yang dimaksud dengan manusia?), ahli psikologi perkembangan Peter Kahn dari University of Washington, bersama Ishiguro dan beberapa sejawat lainnya, mengajukan sembilan tolok ukur psikologi untuk mengukur kesuksesan perancangan robot mirip-manusia. Fokus utama mereka bukanlah kemampuan teknis robot, melainkan bagaimana mereka diterima dan diperlakukan oleh manusia.