Semasa saya di sana, novela yang sedang ditayangkan adalah Passione, menampilkan keluarga Gouveia industrialis yang penuh rahasia, yang semuanya cantik dan tampan serta memiliki banyak benda idaman: motor, lampu kristal, sepeda balap, tiket pesawat, sepatu hak tinggi Prancis. Sang janda Gouveia, tangguh dan patut dikagumi, memiliki tiga anak. Bukan, empat, tetapi yang satu itu rahasia karena dia anak di luar nikah dan dikirim ke Italia semasa bayi karena… eh, maaf melantur. Intinya adalah bahwa anggota keluarga Gouveia tidak banyak, dan tidak ada satu pun keluarga besar dalam garis cerita yang rumit tak terpahami itu.
“Kami pernah bertanya kepada mereka: ‘Apakah jaringan Globo sengaja ingin memperkenalkan keluarga berencana?’” kata Elza Berquó, ahli demografi Brasil kawakan yang turut mempelajari efek novela. “Anda tahu apa jawaban mereka? ‘Tidak. Ceritanya seperti itu karena menulis novela tentang keluarga kecil jauh lebih mudah.’”
Dan akhirnya nomor 6: Jadikan semua perempuan di negara Anda perempuan Brasil!break!
Ini wilayah yang kontroversial, Brasil dan perempuan. Makna machismo dalam bahasa Portugis Brasil sama dengan makna dalam bahasa Spanyol di negara lain di benua Amerika Latin, dan kata ini dikaitkan dengan tingkat kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan pada perempuan jenis lain yang tinggi di negara itu. Tetapi, negara itu berubah besar akibat movimento das mulheres, gerakan perempuan pada 1970-an dan 1980-an, dan kini tak ada orang Amerika Serikat yang berhak menyebut Brasil terbelakang dalam hal kesetaraan gender. Saat Presiden Dilma Rousseff mencalonkan diri menjadi presiden tahun lalu, perdebatan nasional paling sengit membahas gagasan dan afiliasi politiknya, bukan apakah bangsa itu siap memiliki presiden perempuan. Bahkan, salah satu pesaing kuat Rousseff—mungkin menjadi calon presiden di pemilu mendatang—adalah seorang senator perempuan.
Brasil memiliki perwira militer perempuan berpangkat tinggi, kantor polisi khusus oleh dan bagi perempuan, dan pesepak bola pe-rempuan yang paling terkenal di dunia (pengolah bola memukau yang hanya bernama satu, Marta). Ketika saya melewatkan malam di kota Campinas bersama Aníbal Faúndes, profesor obstetri asal Cile yang ikut memimpin kajian nasional tentang kesehatan reproduksi, Faúndes berkali-kali menyebut hal yang dipandangnya sebagai kekuatan utama yang mendorong perubahan tingkat kesuburan di negara adopsinya itu. “Tingkat kesuburan turun karena kaum perempuannya memutuskan mereka tidak ingin punya anak banyak,” katanya. “Perempuan Brasil sangat tangguh. Ini hanya soal mereka memutuskan, lalu mendapat cara untuk mencapainya.”
Peristiwa Cytotec merupakan bukti serius dan jelas. Cytotec adalah nama merek untuk obat yang bernama misoprostol, yang dikembangkan sebagai pengobatan tukak. Akan tetapi, pada akhir 1980-an obat ini dikenal di seluruh dunia sebagai pil aborsi awal—bagian dari kombinasi dua obat yang melibatkan obat yang dikenal sebagai RU-486. Namun, bahkan sebelum bagian dunia lain mendapat berita tentang aborsi dengan pil—pil itu masuk ke pasar Prancis dan China pada 1988, di tengah kontroversi hebat, dan kemudian disetujui di AS untuk mengakhiri kehamilan—kaum perempuan Brasil sudah tahu sendiri. Tak ada kampanye publisitas yang menjelaskan misoprostol; ingat, ini terjadi sebelum zaman internet, dan undang-undang Brasil melarang aborsi kecuali dalam kasus perkosaan atau ancaman bahaya bagi nyawa si ibu.
Tetapi, undang-undang itu tak diacuhkan di setiap lapisan masyarakat. “Kaum perempuan saling memberi tahu dosis yang tepat,” kata ahli demografi Brasil Sarah Costa, direktur Women’s Refugee Commission yang berpusat di New York City, yang pernah menulis tentang fenomena Cytotec di Brasil untuk jurnal kedokteran The Lancet. “Obat itu dijual pedagang kaki lima di stasiun kereta api. Sebagian besar pusat kesehatan pada masa itu tidak menyediakan layanan KB, dan kalau ada orang yang ingin mengatur kehamilan, sekalipun mendapat layanan buruk dan informasi buruk, dia pasti bertanya kepada orang lain, Apa yang bisa saya lakukan? Dan informasi pun pasti mengalir.”!break!
Sebelum 1991 pemerintah Brasil sudah membatasinya; sekarang obat itu hanya tersedia di rumah sakit, meski kaum perempuan me-yakinkan saya bahwa paket Cytotec tetap bisa diperoleh melalui internet atau pasar loak tertentu. Tetapi, sekarang biaya sterilisasi dan metode KB lain ditanggung oleh layanan kesehatan masyarakat. Aborsi ilegal tumbuh subur, dengan rentang kualitas dari baik secara medis hingga mengerikan. Memang tidak terlalu mudah atau aman bagi perempuan Brasil untuk meminimalkan ukuran keluarganya, tetapi mereka tidak kekurangan sarana untuk melakukannya. Dan dalam semua segi, kaum perempuan segala usia memberi tahu saya, inilah yang kini mereka harapkan dari diri mereka sendiri—juga yang diharapkan Brasil kontemporer dari mereka.
“Lihat saja apartemen yang ada,” kata eksekutif pemasaran Rio de Janeiro 31 tahun yang bernama Andiara Petterle. “Semua didesain untuk maksimal empat orang. Dua kamar tidur. Di pasar swalayan, bahkan label pada makanan beku selalu tercantum: “untuk empat orang.”Perusahaan yang didirikan Petterle berspesialisasi di bidang riset pemasaran tentang perempuan Brasil, yang kebiasaan belanja dan prioritas hidupnya tampaknya jungkir balik pada tahun-tahun sejak kelahiran Petterle. Dia mengingatkan saya, baru pada tahun 1977 negara itu melegalkan perceraian. “Kami berubah begitu cepat,” katanya. “Kami menemukan bahwa bagi banyak wanita muda, prioritas pertama mereka sekarang pendidikan. Yang kedua pekerjaan. Dan ketiga baru anak dan hubungan yang stabil.”
Jadi, membesarkan anak belum lenyap dari prioritas modern, kata Petterle—tapi bukan prioritas utama lagi, dan sekarang lebih sulit diseimbangkan dengan aspek hidup yang lain. Ia sendiri belum punya anak, tetapi ia ingin punya kelak. Sementara Petterle berbicara, saya mendengar kata-kata yang semakin akrab di telinga: Kehidupan Brasil modern terlalu mahal untuk membiayai lebih dari dua anak. Sebagian besar sistem sekolah negeri sudah ruim—tak berguna, bencana—demikian kata orang, dan keluarga harus mengais rezeki untuk pendidikan swasta mana pun yang mampu mereka bayar. Sistem kesehatan nasional juga ruim, demikian pendapat banyak orang, dan keluarga harus mengais rezeki untuk perawatan medis swasta yang mampu mereka bayar. Pakaian, buku, tas sekolah, ponsel—semua barang ini mahal, dan semua harus diperoleh, entah bagaimana caranya. Dan segala hal yang mungkin dibutuhkan keluarga muda kini tersedia, sebagaimana diingatkan dengan gigih oleh etalase mal kepada pelanggan yang lewat, dengan financiamento, kredit jangka pendek atau panjang.
Mau membelikan anak Anda boneka anjing raksasa itu, boneka dalam kotak kado cantik itu, mobil mainan 1,5 meter yang berdaya baterai dan bisa dikendarai? Belilah secara kredit—tentu saja dengan bunga. Kredit konsumen meledak di seluruh Brasil, menjangkau keluarga kelas menengah dan pekerja yang dua puluh tahun lalu tidak memiliki akses ke kredit pembelian barang mewah seperti ini. Sementara saya di Brasil, majalah bisnis Exame memuat artikel utama tentang konsumerisme multikelas baru di negara itu. Wartawan São Paulo yang menulis artikel itu, Fabiane Stefano, menggambarkan kesibukan yang dilihatnya di biro perjalanan yang baru-baru ini dibuka di lingkungan miskin di kota. “Setiap lima menit ada orang baru yang masuk,” katanya. “Delapan puluh persen hendak ke Timur Laut untuk menemui keluarga. Ke sana perlu tiga hari naik bus, hanya tiga jam naik pesawat.”Ini pertama kalinya setiap pelanggan itu naik pesawat. “Karyawan biro harus menjelaskan bahwa di dalam pesawat, bagasi akan terpisah dari mereka beberapa lama.”!break!
Terlalu menyederhanakan jika disebut bahwa orang Brasil membatasi jumlah anak hanya karena ingin membelanjakan uang lebih banyak untuk setiap anak. Tetapi, masalah tentang perolehan materi ini—mahalnya barang zaman sekarang, dan banyaknya barang yang kini diinginkan orang—menarik minat dan mengganggu pikiran hampir setiap perempuan Brasil yang saya temui. Ukuran keluarga kecil dipandang telah membantu melejitkan ekonomi di negara-negara yang cepat berkembang, terutama lima besar yang kini disebut BRICS: Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan. Namun, pertumbuhan ekonomi nasional tidak menjamin kesejahteraan keluarga, kecuali jika kemakmuran itu dikelola dengan matang dan diinvestasikan dalam generasi-generasi mendatang. “Masalah ini menjadi pikiran bagi saya, bahwa tingkat kesuburan turun di Brasil dan negara BRICS lain, tetapi tidak terlihat upaya nyata agar masyarakat berbelanja secara lebih etis,” kata pemasar Andiara Petterle. “Meski di dunia ini hanya ada satu miliar orang, jika mentalitasnya sama seperti sekarang, sumber daya yang kita sedot tetap sama banyaknya.”
Pada suatu pagi saya minum kopi bersama sekelompok wanita muda profesional São Paulo, kami duduk di meja di tepi jalan, di seberang toko yang memajang delapan majalah keluarga yang mengilat. Setiap majalah itu penuh iklan: dorongan bayi lipat Bébé Confort Modulo Clip; “penganalisis tangis” elektronik untuk mengetahui penyebab bayi menangis; pemutar DVD dinding yang memproyeksikan gambar bergerak di atas buaian. Kami mempelajari foto busana yang menampilkan batita rupawan dalam sweter rajut dan kacamata penerbang dan jas bulu palsu. “Lihat anak-anak ini,” kata Milene Chaves, wartawan 33 tahun, suaranya di antara kagum dan putus asa. Dia membalik halaman. “Dan rupanya kita juga wajib punya kamar berdekorasi. Aku tidak perlu kamar berdekorasi seperti ini.”
Chaves memiliki pasangan langgeng tetapi belum punya anak. “Kalau punya anak nanti, aku ingin semuanya sederhana saja,” katanya. Setengah lusin teman di sekelilingnya sepakat, dengan majalah masih terbuka di atas meja di depan kami: barang-barang itu menarik, kata mereka, tetapi berlebihan. Para wanita São Paulo ini berusia 20-an dan 30-an, dengan satu, dua anak, atau tanpa anak. Saat saya tanya apakah mereka pernah merindukan kehidupan kakek-nenek mereka yang tidak materialistis—delapan anak di sini, sepuluh di sana, tanpa orang mengharapkan dekorator memperindah kamar tidur—di antara tawa mereka, saya mendengar kata presa. Terpenjara.
Tetapi, jawaban itu hampir tenggelam oleh tawa mereka.