Dunia Tanpa Es

By , Rabu, 28 September 2011 | 12:07 WIB

Berdasarkan data mereka, Koch dan Zachos menyimpulkan bahwa PETM telah me-naikkan temperatur rata-rata tahunan di Basin Bighorn hingga sekitar lima derajat Celsius. Itu lebih tinggi daripada pemanasan yang terjadi di sana sejak zaman es terakhir. Itu juga sedikit lebih tinggi daripada yang diperkirakan oleh model-model iklim di sana untuk abad ke-21—namun tidak melebihi hasil perkiraan untuk berabad-abad mendatang jika manusia terus menggunakan bahan bakar fosil. Model-model tersebut juga memperkirakan adanya gangguan terhadap pola curah hujan dunia, bahkan pada abad ini, terutama di wilayah-wilayah subtropis. Namun bagaimanakah cara untuk mengujinya? “Anda tidak bisa menunggu hingga 100 atau 200 tahun untuk melihat apa yang terjadi,” ujar Birger Schmitz, ahli geologi Swedia yang telah menghabiskan satu dekade untuk mempelajari batu-batuan PETM di Pyrenees, Spanyol. “Itulah yang menjadikan PETM sangat menarik. Anda sudah memperoleh hasil akhirnya. Anda bisa melihat apa yang telah terjadi.”

Apa yang terjadi di Bighorn merupakan pengaturan ulang menyeluruh terhadap kehidupan. Scott Wing, ahli paleobotani dari Smithsonian National Museum of National History, telah mengumpulkan fosil dedaunan di Bighorn selama 36 musim panas.“Saya sudah sekitar sepuluh tahun mencari fosil seperti ini,” ujar Wing. Kami duduk di lereng sebuah bukit, di sebelah barat Pe-gunungan Bighorn, memalu batu-batuan dari parit hasil galian para asisten Wing. Di kejauhan, kami bisa melihat garis-garis horizontal rapi berwarna merah, diselingi oleh abu-abu dan kuning, yang menunjukkan jejak Bumi sejak PETM. Di bawah kami, sebuah pompa angguk berjungkat-jungkit; dari puncak bukit, kami bisa melihat beberapa pompa lainnya. Di tengah jeda pembicaraan kami, satu-satunya bunyi yang terdengar adalah alunan palu—hantaman teredam, dentingan menggema seolah-olah dari garpu tala, dan gemeretak batuan yang runtuh. Ketukan terus-menerus akan memisahkan dua lapisan lumpur, dan terkadang menampilkan selembar daun yang terawetkan sempurna. Di bawah kaca pembesar Wing, tampaklah jejak-jejak gigitan serangga dari 56 juta tahun silam.Wing langsung menyadari sejak pertama kali-nya dia menemukan deposit daun dari PETM. “Saya tidak pernah melihat sebagian besar dari tumbuhan-tumbuhan itu,” ujarnya. Fosil-fosil yang telah dikumpulkannya menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah pemanasan, hutan lebat yang terdiri dari pepohonan birch, sycamore, dawn redwood, palem, dan tumbuhan hijau yang menyerupai magnolia berada di daerah aliran sungai. Baik pada masa Paleosen maupun Eosen, Bighorn telah menyerupai wilayah utara Florida pada masa kini.

Namun pada masa kejayaan PETM, Wing mendapati, wilayah itu lambat laun berubah menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Iklim-nya lebih kering dan terbuka, seperti hutan tropis kering di Amerika Tengah. Bersamaan dengan memanasnya Bumi, spesies tumbuhan baru dengan cepat bermigrasi ke daerah aliran sungai dari wilayah selatan sejauh Teluk Persia, yang berjarak lebih dari 1.500 kilometer. Kebanyakan berjenis kacang-kacangan—bukan varietas kebun, namun tumbuhan dari famili yang sama, mirip dengan mimosa modern. Dan sebagian besarnya diserbu serangga.Dari ratusan fosil daun yang diperiksa oleh Wing dan rekannya, Ellen Curano, sekitar enam dari sepuluh fosil memiliki lubang-lubang atau jalur-jalur bekas gigitan serangga. Mungkin udara yang panas memicu metabolisme se-rangga, sehingga mereka lebih banyak makan dan bereproduksi. Atau mungkin ekstra karbon dioksida berdampak langsung pada tanaman; ketika CO2 disuntikkan ke rumah-rumah kaca modern, tanaman akan tumbuh lebih subur, namun kandungan proteinnya akan menyusut dan daun-daunnya kekurangan gizi. Hal yang sama bisa terjadi di dunia rumah kaca PETM—mungkin serangga menyantap banyak dedaunan hanya untuk bertahan hidup.

Namun, daun-daun PETM yang dimakan serangga juga jauh lebih kecil daripada nenek moyang Paleosen mereka, karena, menurut Wing, curah hujan telah turun hingga sekitar 40 persen. (Ketika air sulit didapatkan, tumbuhan mengatasinya dengan menyusutkan ukuran daun mereka.) Penurunan curah hujan juga mem-berikan kesempatan bagi tanah untuk mengering setiap tahun, sehingga kandungan besinya bisa beroksidasi dan warnanya men-jadi semerah karat. Tanah kering musiman ini menjadi larik-larik lebar di lereng bukit. Ke-mudian, pada masa kejayaan PETM, tanah merah menghilang—bukan karena iklim men-jadi lebih basah, menurut Wing, melainkan karena hujan semakin terkonsentrasi, seperti monsun. Sungai-sungai terus-menerus meluap dan membanjiri wilayah di sekelilingnya, menyapu tanah sebelum sempat mengendap.

Di wilayah timur Pyrenees, Birger Schmitz menemukan bukti yang lebih dramatis dari banjir besar semasa PETM. Dia dan rekannya, Victoriano Pujalte dari University of the Basque Country di Bilbao, Spanyol, mengidentifikasi serpihan karbon khas di dasar sebuah formasi batuan, yang meskipun kini berada di atas gunung, dahulu mungkin berada di dataran pesisir. Bongkahan-bongkahan batu besar ter-kikis dari pegunungan yang baru berdiri dan terlempar menuju dataran luas yang diyakini oleh para ilmuwan membentang hingga ribuan kilometer persegi. Beberapa bongkah batu ber-gerombol dengan jarak setengah meter dan hanya mungkin dibawa oleh arus air yang dah-syat. Tersimpan selama berabad-abad akibat luapan air sungai, batu-batu itu bagaikan bentuk fosil dari energi dalam atmosfer rumah kaca.

Sementara kacang-kacangan tumbuh subur di Daerah Aliran Sungai Bighorn, Apectodinium merajai samudra. Spesies tersebut adalah bentuk yang telah punah dari dinoflagellate—sekelompok plankton bersel satu, yang sebagian di antaranya memicu kesuburan alga beracun yang dikenal sebagai “gelombang merah”. Pada musim dingin, sel-sel Apectodinium akan berlindung ke balik cangkang keras yang mengendap di dasar laut. Pada musim semi, kelopak pada masing-masing cangkang akan terbuka seperti tingkap. Sel tersebut kemudian akan merayap ke luar dan naik ke permukaan laut, meninggalkan cangkang kosongnya, yang 56 juta tahun kemudian diidentifikasi oleh Brinkhuis dan rekannya Appy Sluijs dalam contoh sedimen.

Sebelum PETM, Brinkhuis dan Sluijs hanya menemukan Apectodinium di wilayah beriklim subtropis. Namun dalam sedimen PETM, me-reka menemukannya di seluruh dunia—yang menegaskan bahwa pemasanan samudra terjadi di mana-mana. Pada zaman Paleosen, suhu air saat musim panas di Samudra Arktika telah mencapai sekitar 18 derajat Celsius; selama PETM, suhunya melonjak hingga sekitar 23 derajat. Berenang di sana akan terasa seperti berenang di pantai mid-Atlantik saat ini. Jika diukur dari inti sedimen New Jersey yang juga diteliti oleh Brinkhuis dan Sluijs, suhunya se-perti di Karibia. Saat ini, air di dasar laut dalam bersuhu hanya sedikit di atas titik beku; pada masa PETM suhunya belasan derajat Celsius.

Selama laut menyerap karbon dioksida yang memanaskan Bumi, kandungan asam di dalamnya juga meningkat, seperti halnya yang akan terjadi pada abad mendatang, jika level CO2 kembali naik. Ini bisa dilihat pada sebagian sedimen laut dalam, tempat PETM tampak senyata larik-larik di Basin Bighorn.

Selama PETM, tingkat keasaman yang tinggi menghancurkan kalsium karbonat. Pada titik ini, kita bisa mengambil hikmah dari sebuah kisah moralitas sederhana: Laut yang asam menyapu bersih sejumlah besar bentuk kehidupan, melumerkan cangkang koral, kerang, dan foram—skenario yang dibayangkan oleh banyak ilmuwan untuk abad ke-21. Namun PETM lebih rumit daripada itu. Walaupun terumbu karang di Samudra Tethys, asal muasal Laut Mediterania yang membelah Timur Tengah, tampak rusak parah, satu-satunya kepunahan massal yang terdokumentasi dari masa PETM justru tidak terduga: setengah dari seluruh spesies foram yang menghuni dasar lumpur. Foram adalah spesies yang mudah ber-adaptasi, dan mereka semestinya bisa mengatasi apa pun dampak PETM.

Dengan memperhitungkan derajat peningkatan keasaman laut, Zachos dan rekan-rekan-nya memperkirakan bahwa pada tahap awal sekitar tiga triliun metrik ton karbon mula-mula membanjiri atmosfer, kemudian satu setengah triliun lainnya bocor sedikit de-mi sedikit. Jumlah keseluruhannya, yakni 4,5 triliun ton, hampir setara dengan total karbon yang saat ini diperkirakan tersimpan di dalam deposit bahan bakar fosil; jumlah karbon pada tahap awal tersebut setara dengan sekitar tiga abad emisi yang dihasilkan oleh manusia saat ini. Walaupun data ini tidak bisa dibuktikan, kebanyakan ilmuwan berasumsi bahwa pe-lepasan karbon pada masa PETM berlangsung lebih lambat dan membutuhkan waktu hingga ribuan tahun.!break!

Secepat apa pun karbon dilepaskan, proses geologis membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk menghilangkannya. Ketika karbonat di dasar laut lumer akibat pengasaman, laut bisa menyerap lebih banyak CO2, dan dalam beberapa abad atau milenia setelah pelepasan mendadak tersebut, ambang tertinggi CO2 di atmosfer telah terlampaui. Sementara itu, CO2 juga larut dalam air hujan, yang mengikis kalsium dari batu-batuan di tanah dan mengalirkannya ke laut, tempatnya menyatu dengan ion-ion karbonat untuk menghasilkan lebih banyak kal-sium karbonat. Proses ini, yang dinamakan weathering, terjadi sepanjang waktu, namun berlangsung lebih cepat selama PETM akibat iklim panas dan hujan asam. Tambahan CO2 di atmosfer lambat laun terkikis oleh hujan, dan akhirnya mengendap dalam batu kapur di dasar laut. Iklim perlahan-lahan kembali ke keadaannya semula. “Sama halnya dengan bahan bakar fosil saat ini,” ujar Zachos. “Kita mengambil sesuatu yang telah menumpuk se-lama jutaan tahun dan menghabiskannya da-lam sekejap mata. Pada akhirnya, sistem akan mengembalikannya ke batu, tapi itu mem-butuh-kan ratusan ribu tahun.”Matt Huber, pembuat model iklim, yang telah menghabiskan sebagian besar kariernya untuk mempelajari PETM, juga mencoba meramalkan apa yang akan terjadi jika manusia memilih untuk membakar seluruh deposit bahan bakar fosil. Huber menggunakan salah satu model iklim, yang dikembangkan oleh National Center for Atmospheric Research di Colorado, yang memiliki tingkat sensitivitas paling rendah terhadap karbon dioksida. Hasil yang diperolehnya benar-benar mengerikan. Dalam “dugaan masuk akal terbaik untuk sebuah skenario buruk”, wilayah-wilayah yang dihuni oleh setengah dari populasi manusia nyaris tidak akan tertanggungkan. Di sebagian besar wilayah China, India, bagian selatan Eropa, dan Amerika Serikat, suhu rata-rata selama musim panas akan melampaui 37 derajat Celsius, siang dan malam, selama bertahun-tahun.

Para peneliti iklim jarang membahas pre-diksi jangka panjang yang suram itu, ujar Huber, sebagian karena orang-orang skeptis, dengan membesar-besarkan ketidakpastian ilmiah, selalu menuduh mereka menyebarkan keresahan. “Pada dasarnya, kami selalu ber-usaha membatasi diri,” ujar Huber. “Setiap kali melihat sesuatu yang benar-benar buruk, kami cenderung menahan diri. Sesungguhnya keadaan di bagian tengah Bumi jauh lebih parah daripada yang kita sangka.

Dalam PETM, suhu yang panas mendorong spesies tropis ke Kutub, dan spesies flora dan fauna dari semua benua bisa melintasi jembatan-jembatan darat dan ber-baur. Binatang-binatang berkuku tebal, nenek moyang kuda dan rusa, muncul di Bighorn.Sedikit demi sedikit, barangkali setelah iklim kembali basah dan kanopi hutan mulai menutupi lahan terbuka yang sesuai untuk binatang pelari, primata sejati pertama hadir.

Manusia, bersama semua primata lainnya saat ini, adalah keturunan dari primata PETM—seperti halnya perissodactyl semacam kuda, unta, dan badak yang merupakan keturunan dari nenek moyang PETM lainnya, dan binatang pemamah biak artiodactyl semacam rusa, sapi, dan domba dari nenek moyang yang lain lagi. Spesies yang mendadak muncul di Bighorn bisa jadi bermigrasi dari Asia, tempat sejumlah spesimen fosil yang berumur sedikit lebih tua daripada spesimen-spesimen yang ditemukan di Bighorn. Spesies-spesies tersebut tentunya me-miliki nenek moyang dari zaman Paleosen.Namun, sejauh ini tidak ada fosil Paleosen yang bisa diteliti dan disebut sebagai primata atau kuda oleh para ahli paleontologi—dan, ujar Gingerich, penyebabnya bukan karena kurangnya penelitian.

Selama PETM pula, keanehan terjadi pada beberapa mamalia: Mereka mengerdil. Kuda-kuda di Bighorn menyusut hingga seukuran kucing Siam; begitu kandungan karbon di at-mosfer berkurang, hewan-hewan itu kembali mem-besar.Tidak jelas apakah suhu yang panas atau kandungan CO2 yang menyusutkan mereka. Namun, pelajaran yang bisa diambil, ujar Gingerich, adalah fauna bisa berevolusi dengan cepat dalam lingkungan yang sedang berubah. Alasan utamanya meneliti Bighorn empat dekade silam adalah untuk mengetahui asal muasal kuda dan primata. Kini dia berpikir bahwa mereka dan artiodactyl berasal dari PETM—bahwa ketiga ordo mamalia modern ter-sebut memperoleh karakteristik unik mereka pada masa itu, dalam ledakan evolusi yang di-dorong oleh ledakan karbon ke atmosfer.

Setelah 56 juta tahun, primata, yang ketika itu berukuran sebesar tikus atau kelinci, memegang kendali. Mereka berhasil menjinakkan ke-turun-an-keturunan PETM lainnya—kuda, sapi, babi, domba—dan membawa mereka ke seluruh wilayah Bumi. Mereka telah beranjak dari pola hidup berbasis pertanian ke pola hi-dup lainnya yang, meskipun beraneka ragam, hampir semuanya didukung oleh bahan bakar fosil. Selagi saya dan Gingerich berkendara di sepanjang puncak Gigir Polecat, kami melihat pompa-pompa angguk berjungkat-jungkit per-lahan, menyedot minyak dari periode Kapur ke permukaan tanah, seperti yang mereka lakukan di seluruh Bighorn. Di sebelah timur, di Basin Powder, sekop-sekop raksasa menggali batu bara dari masa Paleosen.

Penggunaan bahan bakar fosil telah me-lepas-kan lebih dari 300 miliar ton karbon sejak abad ke-18—jumlah itu mungkin kurang dari sepersepuluh dari persediaan yang tersimpan di dalam tanah atau jumlah yang dilepaskan saat PETM. Episode tersebut tidak memberi tahu kita tentang apa yang akan terjadi jika kita memilih untuk mem-bakar sisa bahan bakar yang ada. Puluhan juta tahun dari sekarang, apa pun yang terjadi pada umat manusia, seluruh pola kehidupan di Bumi mungkin akan berubah total—hanya karena cara hidup kita selama beberapa abad.