Pagi menjelang di kawasan Purwosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Di bawah batas cakrawala nan tipis, lanskap laut selatan terlihat resah. Mengingatkan saya pada lukisan cat minyak: biru pekat berbaur hijau tua dengan ombak kelam mencuat-cuat dari atas kanvas. Kemudian di atas sana, campuran warna itu bagaikan tertapis oleh horison, melepaskan rona biru muda yang berlomba menuju zenit, jernih tak bermega.
Batu-batu karang sebesar rumah bermunculan dari balik air di tepi garis batas laut dan darat. Sesekali riak-riak putih raksasa melahapnya dalam sekejap, diiring bunyi hantaman dahsyat serta suara sisa-sisa pecahan air yang membuat bulu kuduk berdiri.
Sekitar 60 meter di atas golakan air, sekitar setengah tinggi Monas, Gunarso dan dua rekannya warga Kampung Klampok, Purwosari, Gunung Kidul, menapakkan kaki di bambu yang tersusun di antara dua tali tambang plastik berwarna biru. Berjangkar pada sebuah pohon sebesar lengan orang dewasa serta sela bebatuan, tangga tali ini berusaha mengikuti liuk tubuh sang tebing walau kadang harus mengalah dan menggantung di beberapa tempat.
Seolah tak lagi peduli dengan kencangnya terpaan angin laut yang siap merenggut tubuh dari tali, para pemburu ini pun turun. Tujuan mereka hanya satu: sebuah mulut gua di kaki tebing bernama Kayuwalang yang dihuni oleh ribuan kelelawar. Saya dan fotografer Dwi Oblo pun mengikuti mereka menuruni tebing dengan menggunakan single rope technique.
Di bawah sana, setelah melewati bongkahan karang raksasa dan menerabas jalan air laut setinggi pinggang yang semakin lama semakin naik, kekelaman pun dalam sekejap menyergap. Angin laut segar tergantikan oleh bau kotoran kelelawar (guano) serta udara lembap yang terperangkap di dalam gua. Suara cericit kelelawar riuh tertangkap telinga. Sepatu saya menyentuh dasar yang halus: pasir putih menghampar di dasar gua.!break!
Dalam bulat sorot sinar senter yang diarahkan Gunarso ke langit-langit, puluhan kelelawar terbang ke segala arah. Martono, rekan Gunarso, mengangkat dua bilah bambu berjaring setinggi sekitar sepuluh meter, tegak lurus ke atas langit-langit gua. Sambil menjunjungnya tinggi-tinggi di atas kepala, ia pun lari berkeliling.
Dalam tiga jam mereka berhasil mengumpulkan 300 kelelawar. Ketiga orang itu pun kembali ke arah karang raksasa di tepi laut lepas: Kembali mempertaruhkan nyawa mereka di ketinggian, di antara runcingnya karang serta hempasan air yang membentuk tirai raksasa, di atas tali yang sama yang telah mereka gunakan sejak delapan belas tahun yang lalu.
Sukarwanti, seorang wanita paruh baya yang mengelola sebuah warung makan di Kecamatan Panggang, sekitar 45 menit berkendara dari tebing itu, berseri-seri saat melihat sekarung kelelawar yang dibawa oleh Gunarso.
Saya baru saja duduk di sebuah kursi panjang dari kayu di dalam warung, saat sebuah piring makanan berisi dua puluh kelelawar bacem disodorkan tepat di muka saya. Dengan spontan, saya menggelengkan kepala. Sukarwanti pun berkisah tentang pelanggannya, seorang lelaki yang menderita sakit jantung. Saat pertama membeli kelelawar olahan darinya, lelaki itu harus dipapah saat berjalan. Keluarganya pun rutin membeli kelelawar. “Sekali beli, lima belas ekor,” kenangnya. “Dari mulai seminggu sekali, lama-lama menjadi dua minggu sekali, hingga akhirnya dua bulan sekali. Bapak itu kini sudah bisa ambil pensiun sendiri,” tuturnya bangga. “Saya lebih suka codot dari tepi laut, karena kalau dari gua di darat, biasanya apek,” imbuhnya. Sukarwanti yang meneruskan tradisi ini dari sang ibunda dan buyutnya, juga didatangi para pelanggan dari Pulau Sumatra dan Kalimantan.
Keadaan medan karst Gunung Kidul yang tandus membuat warga yang bermukim di atasnya tidak memiliki banyak pilihan. Saat melihat kelelawar yang warnanya sudah berubah menjadi hitam di atas meja hidang, terngiang kata-kata Gunarso saat saya sedang menunggu giliran untuk menuruni tebing: “Di sini hidup itu keras, mbak.” Ya, selain menggembalakan ternak di musim hujan, lahan Gunung Kidul yang kering membuat dirinya memilih untuk mengambil kelelawar khususnya di musim panas, agar bisa menghidupi anak cucunya.!break!
Sementara di Kolaka, Sulawesi Tenggara, perburuan kelelawar tidaklah mengenal musim. Pemburu liar sering datang dan pergi dari daerah itu dengan mobil bak terbuka yang penuh dijejali oleh kalong. Mereka pergi melewati jalan trans-Sulawesi, menuju utara,” papar Amran, Kepala Resor Kolaka 2, Polhut Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara.
Ada saatnya pemburu tak perlu bersusah payah menempuh medan yang sulit untuk mengumpulkan kelelawar. Pada April 2011, sekitar 25 kilometer dari Kolaka tepatnya di Desa Tondowatu, belasan kalong bergelayut membebani setiap pelepah pohon kelapa yang ada di sana. Lima ratus pohon kelapa milik penduduk pun tak lagi mampu berproduksi. Sigit Wiantoro, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Biologi LIPI), menduga hal ini terkait dengan lenyapnya hutan di area Pegunungan Mekongga, tempat dia dan timnya mengadakan ekspedisi beberapa tahun belakangan ini. Pemburu pun datang untuk menangkap kalong yang dianggap menjadi hama oleh masyarakat.
Di daerah padat pemukim, kelelawar justru memenuhi relung-relung kelam yang ada di gedung bahkan bangunan sekolah. Manusia pun terganggu dengan aroma serta suara mereka. Bagi masyarakat, kelelawar bisa jadi merupakan hewan buruan atau justru dianggap sebagai hama. Tetapi di mata para peneliti, kelelawar yang juga berfungsi sebagi penyerbuk ini memiliki daya pikat tersendiri.