Seandainya Mereka Bisa Berkisah

By , Jumat, 22 Juni 2012 | 10:24 WIB

José Antonio Tuki, seniman berusia 30 tahun dari Pulau Paskah, meninggalkan rumahnya di pantai barat daya dan berjalan ke utara melintasi pulau ke pantai Anakena. Menurut legenda, para penghuni awal Polinesia melabuhkan kano mereka di pantai Anakena sekitar seribu tahun yang lalu, setelah mengarungi Samudra Pasifik sejauh lebih dari dua ribu kilometer. Tuki du­duk di pantai dan menatap sejumlah patung ma­nusia raksasa di hadapannya—para moai. Patung-patung itu dipahat ratusan tahun yang lalu dari bebatuan vulkanis dan diyakini sebagai perwujudan roh para leluhur.

Dia seorang Rapanui, penduduk asli Poli­ne­sia di Rapa Nui, sebutan penduduk se­­tempat untuk Pulau Paskah. Leluhurnya mung­­kin membantu memahat ratusan patung yang menghiasi perbukitan padang rumput dan pantai bergerigi di pulau itu. Tujuh moai ber­perut buncit di Anakena berdiri tegap di atas platform batu sepanjang 16 meter—me­munggungi Samudra Pasifik, lengan di samping, kepala ditutup pukao tinggi yang dihiasi batu scoria merah, batu vulkanis juga. Saat Tuki me­­natap wajah mereka, dia merasakan adanya ikat­an batin yang menyeruak. “Sesuatu yang ganjil dan penuh energi,” ujarnya. “Sesuatu yang dihasilkan oleh masyarakat saya. Ini khas Rapanui.” Dia menggelengkan kepalanya. “Bagaimana cara mereka melakukannya?”

Luas Pulau Paskah hanya sekitar 164 kilo­meter persegi. Pulau ini terhampar 3.500 kilo­meter di sebelah barat Amerika Selatan dan 2.000 kilometer sebelah timur Kepulauan Pitcairn, pulau terdekat yang berpenghuni. Se­telah dihuni, pulau itu tetap terpencil selama beberapa abad. Semua tenaga kerja dan per­alatan yang digunakan untuk membangun moai ini—dengan tinggi berkisar antara 1 hingga 10 meter dan berat lebih dari 80 ton—berasal dari pulau itu sendiri. Namun, saat penjelajah Belanda mendarat di hari Minggu Paskah pada 1722, mereka menemukan kebudayaan Zaman Batu. Moai ini dipahat menggunakan alat batu, sebagian besar dilakukan di sebuah “tambang”, kemudian dipindahkan tanpa bantuan binatang atau kendaraan beroda menuju platform batu raksasa, atau ahu, yang berjarak sekitar 18 kilometer. Pertanyaan Tuki—bagaimana cara para leluhurnya melakukannya?—membuat be­gitu banyak pengunjung kebingungan.

Tetapi, akhir-akhir ini moai tersebut menim­bul­kan perdebatan yang lebih besar, yang mem­per­tentangkan dua visi yang sangat berbeda tentang masa lalu Pulau Paskah. Menurut pemenang Pulitzer, Jared Diamond, pulau itu me­rupakan contoh paling ekstrem tentang suatu masyarakat yang menghancurkan ke­hidupan­nya sendiri dengan merusak ling­kungan. Menurut pendapat yang lain, suku Rapa­nui purba melambangkan kegigihan dan kecerdikan manusia.

Saat para pemukim Polinesia tiba di Rapa Nui, mereka telah mengarungi lautan selama ber­minggu-minggu dengan kano. Mungkin hanya beberapa puluh orang yang tiba dengan selamat di pulau tersebut. Sekarang, 12 penerbangan tiba setiap minggu dari Cili, Peru, dan Tahiti, dan pada 2011 armada pesawat itu membawa 50.000 orang wisatawan, 10 kali lipat populasi pulau itu.!break!

Hanga Roa, satu-satunya kota, dipenuhi war­net, bar, dan klub malam, sementara mobil serta truk bak terbuka membuat jalanan macet setiap malam Minggu. “Sekarang pulau ini bukan lagi pulau sembarangan,” ujar Kara Pate, 40, pematung Rapanui. Cili menduduki Pulau Paskah pada 1888, te­tapi sampai 1953 mengizinkan perusahaan Skot­landia mengelola pulau itu sebagai peter­nakan domba berskala raksasa. Domba ber­keliaran bebas, sementara suku Rapanui ter­perangkap di Hanga Roa. Pada 1964, mereka memberontak, kemudian memperoleh kewar­ga­negaraan Cili.

Penduduk Pulau Paskah bergantung pada Cili untuk bahan bakar dan pengiriman bahan makanan lewat udara setiap hari. Bahasa Spa­nyol menjadi bahasa sehari-hari dan mereka pergi ke daratan untuk bersekolah. Sementara itu, kaum migran Cili, yang antara lain ter­buai oleh pembebasan pajak penghasilan di pulau itu, dengan senang hati menangani pekerjaan yang ditinggalkan suku Rapanui. Walaupun banyak orang Rapanui menikah dengan pen­duduk daratan, beberapa mengkhawatirkan ke­budayaan mereka yang kian luntur. Populasi pulau itu sekarang mencapai 5.000 orang, hampir dua kali lipat dari 20 tahun yang lalu, kurang dari setengahnya adalah orang Rapanui.

Hampir setiap pekerjaan di Pulau Paskah berkaitan dengan pariwisata. “Tanpa pari­wisata,” ujar Mahina Lucero Teao, kepala dinas pariwisata, “semua orang di pulau ini pasti kelaparan.” Wali Kota Luz Zasso Paoa berkata, “Warisan kami menjadi pijakan ekonomi pulau ini.” Maksudnya, moai.

Thor Heyerdahl, ahli etnografi dan petualang Norwegia, yang ekspedisinya di Pasifik memicu rasa penasaran dunia akan Pulau Paskah, men­duga bahwa patung-patung itu dibuat oleh pen­duduk pra-Inca dari Peru, bukan oleh orang Polinesia. Bukti dari segi bahasa, kepurbakalaan, dan genetika menunjukkan bahwa orang yang membuat moai adalah suku Polinesia, te­tapi masih belum tahu bagaimana mereka memindahkan karya ciptaan mereka itu.

Para peneliti menduga bahwa para leluhur me­nyeret patung-patung itu, entah bagaimana, dengan menggunakan sejumlah besar tali dan kayu. “Para pakar bisa mengatakan apa pun yang mereka ingin katakan,” kata Suri Tuki, 25, adik tiri José Tuki. “Tetapi, kami tahu apa yang sebenarnya terjadi. Patung-patung ini bisa berjalan.” Dalam dongeng Rapanui, moai dihidupkan oleh mana, kekuatan spiritual yang dipancarkan oleh para leluhur.!break!

Tidak ada laporan pembangunan moai se­telah bangsa Eropa tiba pada abad ke-18. Pada saat itu sudah tidak banyak pohon di Pulau Paskah. Namun, pada tahun 1970-an dan 1980-an, ahli biogeografi John Flenley dari Se­landia Baru menemukan bukti—serbuk sari yang terawetkan dalam endapan danau—bah­wa pulau itu pernah tertutupi hutan subur, ter­masuk jutaan pohon palem raksasa, selama ribuan tahun. Barulah setelah orang Polinesia tiba sekitar tahun 800 Masehi, hutan tersebut berubah menjadi padang rumput.

Jared Diamond sangat mengandalkan pe­ne­litian Flenley ini untuk mendukung teorinya dalam Collapse, bukunya yang berpengaruh yang terbit pada 2005, bahwa penduduk purba Pulau Paskah tanpa sengaja telah meng­hancurkan alam.

Saat penduduk pulau membuka hutan untuk memperoleh kayu bakar dan lahan pertanian, hutan tidak tumbuh kembali. Saat penduduk tidak bisa lagi membuat kano untuk menangkap ikan di lautan, mereka menyantap burung. Erosi tanah menurunkan hasil panen. Sebelum bangsa Eropa tiba, suku Rapanui terjebak dalam perang saudara dan kanibalisme. Run­tuh­nya peradaban mereka yang terasing, tulis Diamond, adalah “contoh paling jelas tentang masyarakat yang menghancurkan diri­nya sendiri dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.”

Dia menduga bahwa moai mempercepat peng­hancuran diri sendiri itu. Diamond me­nafsir­kannya sebagai ajang pamer kekuatan oleh para kepala suku yang bertikai. Mereka bersaing untuk membuat patung yang lebih besar. Diamond menduga mereka meletakkan moai pada usungan kayu, ditarik di atas jalur gelondongan kayu—teknik yang cukup sukses saat diuji oleh arkeolog UCLA, Jo Anne Van Tilburg—tetapi, hal itu membutuhkan se­jumlah besar kayu dan tenaga manusia. Untuk memberi makan mereka, semakin luas hutan yang harus dibabat. Saat kayu sudah habis dan perang saudara dimulai, penduduk pulau mulai merobohkan moai. Pada abad ke-19, tidak satu pun yang masih berdiri. Bentang alam Pulau Paskah menyimpan aura tragedi yang, di mata Diamond dan banyak orang, masih terlihat hingga sekarang.

dengan menata dan menafsirkan ulang semua kepingan fakta yang berserakan itu, kita mendapatkan gambaran yang lebih me­yakinkan tentang masa lalu Rapa Nui—yang selama satu dasawarsa terakhir dipelajari oleh arkeolog Terry Hunt dan Carl Lipo. Gambaran itu menampilkan suku asli pembuat moai yang cinta damai dan yang dengan cermat men­jaga pulau mereka.!break!

Hunt dan Lipo sepakat bahwa Pulau Paskah kehilangan hutannya yang subur dan hal itu merupakan “bencana ekologi”, tetapi pen­duduk pulau tidak patut dipersalahkan. Ber­dasarkan penelitian mereka dan orang lain, di­mulai dengan penggalian yang mereka laku­kan sendiri di pantai Anakena, me­reka menemukan bahwa orang Polinesia baru tiba se­­telah tahun 1200 Masehi, sehingga tidak mung­kin dalam waktu lima abad mereka da­pat menghancurkan bentang alam pulau itu. Lagi pula, mereka berhasil menemukan pembunuh-pohon yang lain. Saat para arkeolog menggali biji pohon palem yang sekarang sudah punah di Pulau Paskah, biji itu sering kali sudah rusak akibat lekukan kecil yang disebabkan oleh gigi tajam tikus Polinesia (Rattus exulans).

Kawanan tikus ini terdapat dalam kano yang digunakan para penduduk yang pertama kali tiba di situ. Penduduk pulau memakan bi­natang ini, tetapi binatang pengerat itu sen­diri tidak memiliki pemangsa alami. Hanya dalam waktu beberapa tahun saja, menurut per­hitungan Hunt dan Lipo, kawanan tikus itu mampu menghancurkan seluruh pulau. Binatang ini melahap biji palem sehingga tidak terjadi lagi pembenihan ulang pepohonan yang tumbuh lambat itu. Akibatnya, berakhirlah riwayat hutan Rapa Nui. Tidak diragukan lagi, kawanan tikus ini juga memangsa telur burung.

Tentu penduduk ber­tanggung jawab karena telah membawa tikus ini. Tetapi, seperti spe­sies penyerbu di zaman sekarang, tikus Poli­nesia menimbulkan kerugian yang lebih besar pada ekosistem dari­pada manusia yang membawanya. Hunt dan Lipo tidak melihat bukti runtuhnya peradaban Rapanui saat hutan palem lenyap; berdasarkan survei arkeologi atas pulau itu, mereka mem­perkirakan populasinya tumbuh pesat hingga mencapai 3.000 orang dan tetap stabil hingga datangnya bangsa Eropa.

Lahan kosong lebih berharga bagi suku Rapa­­nui daripada hutan palem. Tetapi, lahan di pulau ini adalah ladang tidak subur yang sering dilanda angin dan disiram hujan yang tidak menentu. Dalam pertanian, sebagaimana halnya memindahkan moai, penduduk pulau memindahkan batu dalam jumlah sangat besar—tetapi ke ladangnya, bukan dibawa keluar. Mereka membangun ribuan batu pe­nahan angin berbentuk lingkaran, disebut manavai, dan berkebun di dalam benteng batu itu. Mereka menutupi seluruh ladang dengan batu gunung berapi untuk menjaga kelembapan tanah dan memupuknya dengan zat hara yang tidak lagi ditebarkan gunung berapi. Singkat kata, Hunt, Lipo, dan sejumlah peneliti lain cukup puas dengan pendapat mereka bahwa penduduk Rapanui zaman prasejarah adalah pelopor pertanian berkelanjutan, bukan peng­hancur ekosistem secara tidak sengaja. “Alih-alih contoh kasus kegagalan yang hina, Rapa Nui adalah kisah sukses yang sukar dipercaya,” kata Hunt dan Lipo dalam buku mereka yang terbaru, The Statues That Walked.

Sergio Rapu, 63, arkeolog Rapanui dan man­tan gubernur Pulau Paskah yang meng­garap skripsinya bersama Hunt, mengajak rekan Amerika-nya itu ke tambang purba di Rano Raraku, gunung berapi di tenggara pulau itu. Rapu menjelaskan bagai­mana me­reka di­buat agar bisa “berjalan”: Perut yang buncit memiringkan patung itu ke depan, dan dasar patung berbentuk huruf D memungkinkannya meng­gelinding. Dalam percobaan yang di­danai National Geographic’s Expeditions Coun­cil, Hunt dan Lipo menunjukkan bahwa hanya 18 orang, dengan tiga tali yang kuat dan latihan yang cukup, dengan mudah dapat menggerakkan replika moai setinggi 3 meter, seberat 5 ton, sejauh beberapa ratus meter.!break!

Sebagaimana yang dikisahkan Hunt dan Lipo, cerita Pulau Paskah ibarat pemusnahan bangsa dan kebudayaan, bukan penghancuran ekosistem. Teman mereka, Sergio Rapu, me­mer­cayai beberapa pernyataan itu, tetapi tidak semuanya. “Saya tidak percaya per­alatan batu itu hanya digunakan untuk per­tanian,” ujarnya sambil tertawa. “Saya ingin per­caya bahwa bangsa saya tidak pernah saling memangsa. Tetapi, tampaknya memang demikian.”

Sekarang, penduduk pulau menghadapi tan­tangan baru: Populasi yang terus tumbuh dan ribuan wisatawan yang menguras persediaan air yang terbatas. “Jadi apa yang harus kami lakukan?” tanya Wali Kota Zasso Paoa. “Mem­batasi migrasi? Membatasi pariwisata? Itulah kondisi yang kami hadapi sekarang.”

Keinginan penduduk untuk mengembangkan lahan leluhur mereka mungkin menjadi an­caman yang lebih besar atas warisan pulau yang berlimpah itu: lebih dari 20.000 benda bersejarah, termasuk kebun berdinding dan kandang ayam dari batu, selain moai dan ahu. Lebih dari 40 persen pulau ini adalah taman nasional yang dlindungi, yang membatasi lahan yang tersedia. “Orang harus belajar bahwa arkeologi bukanlah musuh,” kata Rapu.

Puluhan tahun yang lalu, dia sendiri ikut membantu menegakkan kembali moai di Ana­kena. Saat melakukannya, dia dan rekan-rekannya pun menemukan bagaimana para pembuat moai mengembuskan ruh kepada patung raksasa setelah perjalanan panjang dari tambang: Sebagai sentuhan terakhir, mereka meletakkan mata dari batu karang putih dan biji mata dari batu obsidian atau scoria merah ke dalam rongga yang kosong.

Hutan nyiur, yang diimpor dari Tahiti, se­karang memenuhi pantai Anakena, meyakin­kan wisatawan yang berjemur dan para pe­ngantin baru Cili bahwa mereka benar-benar berada di Polinesia, meskipun jerit­an angin dan perbukitan padang rumput di belakang mereka lebih mirip Dataran Tinggi Skotlandia. Sekarang, para moai itu sudah tidak punya mata lagi dan tidak menceritakan—kepada wisatawan, José Tuki, atau siapa pun—bagai­mana mereka sampai ke situ atau kisah manakah yang benar tentang Pulau Paskah. Tuki sendiri mampu menerima kisah rancu itu. “Saya ingin tahu cerita yang sebenarnya,” ujarnya. “Tetapi, mungkin pulau ini tidak bersedia memberikan semua jawaban.”

Hannah Bloch adalah koresponden Pakistan untuk Time sebelum bergabung dengan Geographic sebagai editor. Randy Olson telah memotret 27 fitur, termasuk Sudan dan suku Pigmi Mbuti.