Muslihat Rio

By , Rabu, 26 September 2012 | 17:30 WIB

Sekarang ini polisi lebih diterima, bahkan mungkin dicintai, di Cantagalo, sebagian karena upaya publisitas yang besar. Ini strategi yang sama tuanya dengan pendudukan mili­ter, demikian menurut Kapten Leonardo Nogueira, yang memimpin unit pengamanan setempat. Dia sedang melemparkan permen ke luar jendela di markas polisi kepada sekawanan anak kecil sementara kru TV setempat merekamnya.

“Anak-anak yang tinggal di sini tanpa pengaruh narkoba akan menjadi orang yang berbeda. Kami berharap saat kembali ke sini 20 tahun lagi, mereka tidak seperti orang tua mereka,” kata Nogueira.!break!

Boleh dibilang, tanpa geng, setiap orang harus berjuang sendiri untuk mengais rezeki. Dulu listrik di Santa Marta bisa diperoleh gratis dengan mencantol. Sekarang semua orang harus membayar tagihan. Harga properti juga me­lambung.

Di daerah Botafogo yang lebih mewah di dekatnya, yang dulu diteror oleh peluru liar, harga apartemen naik lebih dari dua kali lipat. Mahasiswa dan orang asing di sana ingin tinggal di rumah murah berpemandangan bagus.Meskipun rencana pengamanan itu suk­ses pada tahap awal ini, kaum miskin Rio men­curigai berbagai upaya pemerintah untuk me­ngubah kota itu.

Sesekali amarah meledak, se­perti ketika para buruh mulai membangun tembok plastik dan beton senilai jutaan dolar di sepanjang jalan raya Linha Vermelha beberapa tahun yang lalu. Para pejabat menyebutnya peredam bising, tetapi para pengkritik me­ngecamnya sebagai tabir kosmetik untuk me­nyembunyikan kali jorok di Complexo da Maré, perumahan yang dibangun di tanah rawa.

Keraguan serupa merundungi pertunjukan Olimpiade mendatang. Setengah arena dan fasi­litas baru akan dibangun di Barra da Tijuca, tempat peristirahatan kelas menengah mirip Miami yang dipenuhi mobil dan mal sekitar 30 kilometer dari pusat kota. Di sini kaum miskin tidak terlalu terlihat. Anehnya, pesona cidade maravilhosa, “kota indah” yang menciptakan merek-merek bernuansa tropis dunia—penyanyi Carmen Miranda, lagu “The Girl From Ipanema”—juga tak tampak.

Seorang akademikus Spanyol bernama Jordi Borja, yang mempelajari mega-peristiwa dan pernah menjadi penasihat pemerintah kota Rio berkata, “Sebaiknya Anda memanfaatkan Olimpiade untuk memperbaiki mutu pusat kota, bukan pinggiran kota, untuk mem­per­sempit kesenjangan di kota, dan untuk me­ngembangkan urbanisme yang me­nguntungkan kaum papa.”

Memang, cukup banyak uang yang men­jangkau daerah miskin, dan berdampak posi­tif. Di Cantagalo, dua lift menjulang yang di­bungkus tabung baja warna-warni kini meng­hubungkan bagian tinggi daerah kumuh ke jalan. Dan Complexo do Alemão, gabungan beberapa favela campur-aduk yang menjadi benteng utama Red Command, geng terbesar Rio, baru-baru ini diramaikan oleh buruh yang didanai oleh program federal.

Mereka mendirikan beberapa ribu apartemen baru dan gelanggang olahraga. Pembangunan sistem kereta kabel luas yang mencakup seluruh per­bukitan, berdasarkan sistem di Medellín, Kolombia, juga telah rampung.!break!

Sebagian orang berharap struktur seperti itu akan menyerupai London Tube atau Brooklyn Bridge: melambangkan nilai-nilai madani, terbukanya daerah kumuh, dan kembalinya hak-hak sipil bagi semua Carioca, demikian sebutan warga Rio untuk diri mereka. Tetapi, sebagian merasa bahwa orang terlalu meremehkan Rio, jika berharap bahwa struktur buatan manusia dapat mewakili aspirasi warga kota.

Selain itu, orang yakin uang itu akan dikorupsi: City of Arts adalah contohnya. Kota yang menjadikan samba sebagai pertunjukan ini membangun kesia-siaan senilai 2,5 miliar rupiah, berupa balai musik raksasa dari beton yang suram di Barra da Tijuca. Setelah sepuluh tahun di­bangun, gedung itu belum melantunkan satu nada pun.

Kota yang damai mungkin menjadi warisan terbaik Olimpiade. Dan Carnival adalah jawaban­­nya. Carnival adalah saat untuk jungkir-balik. “Ini kota perayaan,” kata Wali Kota Eduardo Paes, “tapi kami harus mengaturnya. Carnival melambangkan kekacauan yang teratur, dan inilah yang ingin kami tiru.”

Selama pawai-pawai besar Carnival, kaum miskin berpakaian seperti raja, sosialita pantai merobek pakaian dan berpawai sebagai pengemis, serta 60.000 peserta menari samba sampai fajar. Namun, Carnival hanya setahun sekali. Lalu masa depan favela mungkin berada di tangan orang-orang seperti Frater Fabio, dengan pesannya tentang penebusan pribadi.

“Badan itu lemah, dan ruh itu kuat,” katanya. Inilah pawainya bagi manusia jelata, impiannya untuk favela yang membentuk dirinya.