Menjejak Dunia tak Bertuan

By , Jumat, 21 Desember 2012 | 13:13 WIB

Mawson mendengar dengking anjing yang lirih di belakangnya. Pikirnya, itu pasti salah seekor anjing husky di antara enam anjing penghela kereta salju di belakang.

Akan tetapi, Mertz, yang sepagian ini berski mendahului untuk memeriksa situasi di depan, berhenti dan berbalik. Mawson melihat raut wajahnya yang cemas. Dia berputar dan melihat ke belakang. Dataran salju dan es yang datar membentang sampai jauh, hanya ditandai oleh jejak yang ditinggalkan kereta salju Mawson. Di manakah kereta yang satu lagi?

Mawson berlari mengikuti jejak itu ke belakang. Tiba-tiba dia sampai ke tepi lubang selebar 3,5 meter yang menganga di permukaan. Di seberang, tampak dua jejak kereta menuju lubang. Di sisi sini, hanya satu jejak yang meninggalkan lubang.

Hari itu 14 Desember 1912. Douglas Mawson yang sudah menjadi penjelajah kawakan pada usia tiga puluh tahun, adalah pemimpin Australasian Antarctic Expedition (AAE).

Inilah tim 31 orang yang melakukan penjelajahan paling ambisius saat itu di benua selatan. Mawson bertekad menekuni sebuah wilayah sepanjang 3.000 kilometer di Antartika yang belum terjelajahi, untuk memperoleh hasil penelitian ilmiah terbaik yang pernah diperoleh dalam perjalanan kutub.

Setelah membangun pondok di pesisir teluk yang mereka namai Teluk Commonwealth, anggota AAE melewatkan musim dingin di tempat yang di kemudian hari terbukti sebagai tempat paling berangin di bumi (setidaknya di level permukaan laut), dengan embusan angin hingga 320 km/jam.

Regu kereta salju Mawson yang berangkat pada November 1912 adalah salah satu dari delapan tim beranggota tiga orang yang me­nempuh perjalanan ke semua arah yang memungkinkan. Untuk Regu Timur Jauh-nya sendiri, dia memilih Xavier Mertz, jua­ra ski Swiss yang berusia 29 tahun, dan Bel­grave Ninnis, orang Inggris 25 tahun yang ber­semangat dan menyenangkan.

Pada tanggal 14 Desember, setelah 35 hari perjalanan, trio itu telah mencapai titik hampir 480 kilometer dari pondok. Mereka telah menyeberangi dua gletser besar dan puluhan ceruk es tersembunyi—retakan dalam di es yang tersamarkan oleh jembatan salju tipis. Baru saja pada hari itu, lewat tengah hari, Mertz mengacungkan tongkat ski menandakan adanya retakan lagi.!break!

Mawson menilai retakan itu hanya gangguan kecil, karena keretanya meluncur mulus di atas jembatan. Dia menyerukan peringatan biasa kepada Ninnis, dan saat menoleh sekali lagi, ia melihat bahwa teman seregunya itu telah mengoreksi jalur agar menyeberangi retakan secara tegak lurus, tidak miring.

Sekarang Mawson dan Mertz memotong bagian bibir yang rapuh dari retakan yang terbuka itu, memasang tali pada tubuh, dan bergiliran memiringkan tubuh di atas jurang.  Lima puluh meter di bawah, seekor husky terkapar di tonjolan salju, mengerang-erang. Punggungnya patah.

Di sampingnya tergeletak seekor anjing lain, tampaknya sudah mati. Beberapa buah peralatan tersebar di tonjolan itu.Tak ada tanda-tanda Ninnis atau kereta salju.

Selama tiga jam Mawson dan Mertz berseru ke kedalaman. Tali mereka tak cukup untuk menurunkan tubuh ke dalam guna mencari Ninnis. Mereka pun menerima kenyataan yang tak terelakkan. Ninnis sudah tewas. Bersamanya hilang pula peralatan regu yang paling berharga termasuk tenda untuk tiga orang, enam ekor husky terbaik, semua makanan untuk anjing itu, dan hampir semua makanan bagi mereka.

Dengan suhu udara hampir -10°C, mereka mendirikan atap tenda cadangan pada rangka yang dibuat dari kereta salju dan ski Mertz. Di dalam gua yang suram, mereka menghamparkan kantong tidur kulit rusa kutub tepat di atas salju.