Kemungkinan besar Cina—dan negara lain di dunia—akan memperbanyak penggunaan nitrogen dalam tahun-tahun mendatang, bukan mengurangi. Populasi terus berkembang, dan daging semakin populer. Produksi pertanian yang diperlukan untuk memberi makan babi atau sapi beberapa kali lipat daripada jumlah yang diperlukan jika biji-bijian itu digunakan langsung sebagai makanan manusia.
“Jika orang Cina mengubah pola makan sehingga lebih mirip pola makan Anda [di Barat], tekanan terhadap lingkungan pasti sangat tinggi,” kata Xiaotang.
Kita dapat mengintip salah satu solusinya di sebuah pertanian di luar kota kecil Harlan di Iowa barat, Amerika Serikat. Di sini, 90 ekor sapi merumput di penggembalaan hijau. Beberapa ratus ekor babi menggali-gali di tumpukan jerami, dikelilingi ladang alfalfa, jagung, kacang kedelai, gandum, dan jelai.!break!
Ron dan Maria Rosmann tidak memberi pupuk nitrogen untuk ladang ini. Alih-alih, nitrogen ditambahkan secara biologis, oleh bakteri pengikat nitrogen yang hidup dalam nodulus pada akar tanaman kacang-kacangan seperti kacang kedelai dan alfalfa. Juga tanaman penutup tanah berupa semanggi yang ditanam Ron Rosmann pada musim gugur, tetapi dibalik ke dalam tanah sebelum dia menanam jagung pada musim semi.
Sebagian nitrogen itu tertangkap dalam jagung, yang dijadikan pakan untuk babinya. Sebagian besar nitrogen itu keluar lewat kotoran, yang dikembalikan ke ladang, dan daur itu dimulai lagi dari awal. “Salah satu sasaran kami sejak awal adalah memiliki sistem tertutup,” katanya. “Kami adalah model pertanian organik yang semestinya.”
Kami berjalan kaki ke salah satu ladang jagung. Pohon-pohonnya menjulang melebihi kepala. “Lihat jagung ini,” kata Rosmann gembira. “Di sini dapat menghasilkan lima ton jagung. Banyak orang pesimis akan berkata, Kalian petani organik tak akan mampu memberi makan dunia. Saya berkata, itu tidak benar. Lihatlah tanaman ini!”
Namun, bertani seperti ini membutuhkan lebih banyak pekerjaan. Dan, biologi bekerja lebih lambat daripada pabrik nitrogen. Tanaman yang menambah persediaan nitrogen tanah, seperti alfalfa, tidak menghasilkan uang, atau menyediakan makanan, sebanyak yang dihasilkan jagung yang haus nitrogen.
Itu belum tentu menjadi masalah bagi Amerika Utara. Amerika Serikat, dengan luas lahan tani per orang enam kali lipat Cina, dapat bermewah-mewah menanam tanaman yang kurang produktif yang melindungi lingkungan, jika orang bersedia membayarnya. Pengaturan seperti itu cocok bagi Rosmann; dia menjual tanaman organiknya dengan harga premium.
Tetapi, apakah semua orang mau membayar harga setinggi itu? Mampukah metodenya itu memberi makan negara yang berpenduduk terbanyak di dunia? Zhu Zhaoliang tertawa mendengar pertanyaan itu. “Pertanian organik bukan solusi bagi Cina,” katanya.
Namun, mungkin ada kompromi—panen melimpah dengan polusi nitrogen lebih rendah—dan beberapa ladang yang paling intensif dipelajari di dunia menunjuk ke arah sana. Ladang itu, yang masing-masing berukuran tepat satu hektare, adalah bagian dari Kellogg Biological Station dari Michigan State University, di dekat Kalamazoo.!break!
Selama 20 tahun, ladang ini ditanami jagung, kacang kedelai, dan gandum, dan menyediakan perbandingan empat cara bertani, mulai dari yang umum hingga organik. Segala sesuatu yang masuk atau keluar dari ladang ini diukur dengan cermat: curah hujan, pupuk, dinitrogen oksida yang dilepaskan dari tanah, air yang meresap ke air tanah, dan akhirnya hasil panen.
Phil Robertson, yang turut memulai eksperimen jangka panjang ini, mengajak saya berkeliling ladang. Dia tak sabar menyampaikan beberapa data baru. Setiap ladang yang ditanam menurut rekomendasi pembajakan dan pemupukan standar melepaskan 680 kilogram nitrogen per hektare ke dalam air tanah Michigan selama 11 tahun terakhir.