Pemburu Paus Terakhir

By , Rabu, 22 Mei 2013 | 15:00 WIB

Ketika akhirnya merambah Norwegia, perburuan paus komersial langsung meledak—dalam arti sesungguhnya. Pada 1860-an, seorang pelaku bisnis perkapalan dan perburuan paus asal Norwegia bernama Svend Foyn merancang harpun berujung granat. Alat itu mengubah keadaan, mengantarkan Norwegia menjadi negara pemburu paus terdepan di dunia.  

Para nelayan Norwegia pun menyalahkan industri baru ini. Hasil tangkapan mereka ber­kurang selama kurun 1870-an, lantaran paus dipercaya menggiring gerombolan ikan mendekat ke pantai, tempat nelayan berperahu kecil bisa menangkapnya.

Setelah serangkaian perseteruan pahit antara nelayan dan pemburu paus, Norwegia menjadi negara pertama yang melarang perburuan paus di perairannya. Negara ini mengumumkan sebuah moratorium yang berlaku selama sepuluh tahun pada 1904. Sejak saat itu, para pemburu paus komersial Norwegia mencari mangsa di Atlantik Utara yang lebih luas dan perairan Antartika yang kaya.

Kira-kira pada saat yang sama, armada nelayan Lofoten mulai beralih dari layar ke mesin. Dengan mobilitas baru mereka, sebagian nelayan memburu paus untuk memperoleh tambahan penghasilan.

Tahun 1959 menjadi masa kejayaan bagi pemburu paus Lofoten, ketika 192 kapal berhasil menangkap 4.714 paus minke. Pada 1973, ketika Kristiansen membeli kapalnya, jumlah pemburu paus sudah berkurang hingga hampir setengah. Sejak saat itu jumlahnya terus menurun.Alasannya, lebih ke masalah ekonomi dan sosial ketimbang ekologi. Perburuan paus memakan biaya tinggi, namun keuntungannya kecil. Restoran-restoran trendi di Oslo masih menawarkan menu steik paus.

Namun, sebagian besar penduduk Norwe­gia menganggap daging merah paus itu sebagai makanan ala Depresi Besar. Mereka meng­anggap makanan itu tidak ramah lingkungan. Meskipun pemerintah Norwegia menetapkan kuota tangkap tahunan sebanyak 1.286 ekor paus minke, kenyataannya pemburu paus me­nangkap jauh lebih sedikit daripada angka itu (hanya 533 ekor pada 2001).!break!

Beberapa kelompok pecinta lingkungan Norwegia, bahkan akhir-akhir ini cukup puas hanya dengan mengamati semakin ber­kurangnya gaya hidup, yang mereka harap akan punah dalam satu generasi. Mereka bersedia menunggu. Dengan populasi paus minke Atlantik Utara yang berjumlah sekitar 130.000 ekor, hasil tangkapan rata-rata Norwegia masih dianggap wajar. Justru para pemburu paus yang terancam punah.

Kehancuran pemburu paus dan konsolidasi industri ikan kod mengubah wajah Lofoten, dan hal itu paling terasa di Skrova. Satu generasi lalu, tempat ini merupakan pelabuhan nelayan sibuk dengan tidak kurang dari delapan pabrik yang bekerja tanpa henti mengolah ikan kod, herring, dan ikan-ikan lainnya. Ketika itu, memancing ikan dan berburu paus sedang naik daun, dan Skrova menjadi primadona. Pada awal 1980-an, komunitas mungil ini memiliki persentase jutawan tertinggi di seluruh penjuru Norwegia.   

Sebagian besar jutawan yang dulu duduk di sana sudah lama bangkrut akibat perusahaan-perusahaan makanan laut di selatan dan armada kapal pabrik mereka. Semua kecuali satu pabrik ikan Skrova sudah tutup, yang terakhir pada 2000. Bersama menghilangnya lapangan kerja, populasi pulau menurun hingga hanya 150 orang penduduk tetap.

Hanya Engllisen’s, sebuah perusahaan makanan laut lama, yang tersisa dalam bisnis ini. Perusahaan itu masih makmur, sekarang menghasilkan 12.000 ton salmon lokal per tahun, dan beberapa minggu setiap musim panas, membeli daging paus dari beberapa pemburu yang masih melaut di perairan ini.

“Sejujurnya, daging paus sudah tidak komersial lagi untuk siapa pun,” kata Ulf Christian Ellingsen, 42, generasi ketiga dalam keluarganya yang kini mengelola perusahaan. “Kami terus membelinya untuk menghormati tradisi dan sejarah kami. Kakek saya memulai bisnis ini pada 1947 sebagai pembeli daging paus. Kami ingin mempertahankannya.”

Saat ini, ekspor terbesar Skrova bukan salmon maupun paus, melainkan muatan berharga yang diangkut kapal feri menuju Svolvær setiap musim gugur. Muatan itu adalah sejumlah anak yang sudah terlalu besar untuk dididik di sekolah komunitas kecil di pulau itu. Mereka wajib mengemas barang, lalu meninggalkan rumah untuk memasuki sekolah tinggi regional. Bagi sebagian besar dari mereka, perkenalan dengan dunia yang lebih besar ini merupakan awal dari sebuah kehidupan baru, kehidupan yang menjauhkan mereka dari Skrova.

“Saya ingin kembali dan menghabiskan masa pensiun di sini saat tua nanti,” kata June Kristin Hauvik, 17 tahun. Ibunya sudah be­kerja di pabrik ikan Ellingsen selama tiga puluh lima tahun. Namun, kini June mengikuti jejak ke­dua kakak perempuannya yang hidup sukses di kota. Salah satunya menjadi dokter dan yang lain peng­acara. Pada sore musim gugur yang cerah, June Kristin dan para remaja lain akan me­numpang kapal feri dan berangkat menyongsong masa depan. Mereka melampaui semenanjung dan menuju perairan terbuka yang luas, di mana semua hal seakan mungkin terjadi.