Jauh dari Rumah

By , Rabu, 18 Desember 2013 | 13:33 WIB

Tengah hari di Uni Emirat Arab adalah pukul empat sore di Filipina; artinya, kedua anak Teresa Cruz yang sudah besar seharusnya sudah pulang dari sekolah, dan berada di dalam apartemen bibi mereka yang membesarkan keduanya.

Teresa tinggal di Dubai, kota terpadat di UEA, 6.900 kilometer dari Filipina. Teresa adalah pramuniaga berusia 39 tahun di toko pakaian salah satu sayap mal mewah bertingkat di Dubai. Tugasnya me­rapikan pakaian, menjadi kasir, menyimpan kuitansi, dan tersenyum setiap kali pelanggan me­langkah masuk. Dia bekerja enam hari se­minggu dengan libur pada hari Jumat. Oleh karena itu, Jumat tengah hari ada­lah waktu yang dijadwalkannya untuk meng­hubungi anak perempuannya, 11 tahun, dan anak laki-lakinya, 8 tahun.

Dia merupakan salah satu dari sekian juta orang dewasa yang menempuh perjalanan ribuan kilometer dari kampung halamannya untuk menggarap pekerjaan yang membuat mereka mampu me­ngirim uang kepada keluarga. Untuk itu, dia me­lakukannya dengan cara modern yang biasa dilakukan para pekerja di luar negeri: Menuju ke depan komputer yang diletakkan di kamar tidur yang dihuninya bersama empat orang lainnya. Dia log on ke Facebook, meng-klik tombol video-chat, mencondongkan tubuh ke depan, dan menunggu.

Saat pertama kali menemaninya menunggu, pada tengah hari, Teresa masih mengenakan piyama dan sandal berbentuk satwa. Dia tinggal di sebuah kamar tidur bersama suaminya, Luis, yang seperti dirinya meninggalkan Filipina sekian tahun yang lalu; beserta kedua anaknya yang masih kecil, seorang bayi dan seorang anak berusia tiga tahun; dan dengan siapa pun yang dapat mereka bujuk untuk mengasuh kedua anak itu pada saat mereka bekerja. (Semua nama telah diubah untuk melindungi keluarga ini dari kemungkinan dideportasi.)

Bulan ini, mereka tinggal bersama seorang gadis Filipina yang melarikan diri dari pe­kerjaannya sebagai pembantu karena diper­lakukan buruk oleh sebuah keluarga Emirat. Sekarang gadis itu secara ilegal menempati tempat tidur besi yang terjepit di antara matras keluarga Cruz dan pintu kamar tidur. Si bayi sedang tumbuh gigi dan rewel. Teresa membuainya agar terdiam sambil me­mangkunya di pinggulnya. Matanya terus menatap komputer.

Akhirnya sebuah wajah muncul di layar. Namun, ternyata adiknya, bibi kedua anaknya. Anak-anak belum pulang, katanya. Dia tidak tahu di mana mereka. "Kamu telepon lagi setelah makan malam," katanya dalam bahasa Tagalog, lalu mematikan saluran komunikasi.Bahu Teresa terkulai. Dia beralih ke halaman Facebook putrinya yang dibacanya dengan terkejut, "Berpacaran." Dia menatap layar. "Mungkin dia hanya main-main," kata Teresa. Justin Bieber berada pada daftar like putrinya, begitu pula halnya dengan acara televisi Glee. Selain itu, putrinya juga mengikuti halaman Facebook beranggotakan banyak orang dengan atribut yang sama. Mereka adalah orang tua yang meninggalkan keluarga dan mencari pekerjaan di tempat yang sangat jauh.

Dalam beberapa minggu setelah mengenalnya di Dubai, saya hanya sekali saja melihat emosi Teresa meluap-luap. Dia sedang membicarakan suatu malam di Filipina lebih dari satu dasa­warsa yang lalu, ketika dia berdiri di luar rumah keluarganya dan melihat bahwa semua rumah di jalanannya dihiasi lampu Natal, semua rumah, kecuali rumahnya. "Rumah kami," katanya, "tidak dihiasi apa pun." Wajahnya tiba-tiba meringis dan dia mulai menangis."Saya telah mendengar banyak cerita tentang 'Luar Negeri,'" ujar Teresa kepada saya. "Saya mendengar bahwa kita bisa membeli apa pun di luar negeri."!break!

Luar Negeri bagaikan sebuah negara yang berbeda, tempat asal-muasal berbagai hal yang mengesankan. Di kota tempat Teresa dan sepuluh adiknya dibesarkan, yang berjarak satu jam dari Manila, rumah berdinding tembok dibangun dengan uang yang diperoleh dari Luar Negeri. "Rumah kami terbuat dari kayu dan sudah sangat tua," kata Teresa. Pada suatu musim hujan, kamar tempat Teresa dan adiknya tidur tiba-tiba runtuh. "Kejadiannya pada hari Natal," katanya, "Saya sedang di depan rumah. Dan saya berkata, 'Aku akan membeli lampu Natal dengan gaji pertamaku.'"

Gaji pertamanya diperoleh dari pekerjaan lokal menjual sepatu olahraga. Teresa, yang baru lulus SMA, tidak mampu mengganti rumahnya yang berdinding kayu dengan dinding tembok yang lebih kokoh. Namun, dia bisa membeli serangkaian lampu berwarna. Dia memasang rangkaian lampu itu di rumahnya, membentuk pohon Natal. "Saya memasangnya sendiri," katanya. "Saya berjalan ke depan rumah, melihat rangkaian lampu itu menyala. Lalu, saya berkata, aku bisa melakukannya."

Bermigrasi untuk mencari kesempatan yang lebih baik sudah terjadi sejak zaman dahulu. Namun, pada zaman sekarang, semakin banyak orang yang tinggal di luar negara kelahirannya. Setiap jam, setiap hari, sekian banyak orang dan uang terus bergerak, peredaran global yang terus berubah dan sama rumitnya seperti cuaca. Sejumlah negara yang sumber daya alamnya terbatas mengirimkan para pekerja yang ambisius dan miskin, lalu mengandalkan uang yang dikirimkan pulang ke kampung halaman sebagai pengganti kehadiran mereka.

"Remitansi," adalah sebutan para ekonom untuk transfer uang yang dilakukan seseorang kepada keluarganya, dikirimkan ke kampung halaman oleh layanan perbankan elektronik, atau disampaikan secara langsung oleh kurir. Walaupun kenaikan jumlah transfer oleh setiap orang cukup kecil, remitansi yang digabungkan sekarang menjadi komponen arus modal yang besar ke sejumlah negara berkembang. Dari sekian banyak tempat asal pengiriman uang ini, Amerika Serikat berada di puncak daftar.

Namun, tidak ada kota lain di dunia ini, yang menjejalkan para pekerja internasional abad ke-21 ke sebuah tempat mewah, selain Dubai. Jika Anda tiba ke kota itu dengan cara lazim, mendarat di bandara internasional yang luas, Anda pasti akan berpapasan dengan ratusan pekerja asing seperti Teresa dan Luis sebelum mencapai tempat taksi di tepi jalan. Gadis yang menuangkan espresso Starbucks berasal dari Filipina atau mungkin Nigeria. Pembersih toilet dari Nepal atau mungkin Sudan. Sopir taksi, yang melesat di jalan bebas hambatan menuju pusat kota Dubai, berasal dari Pakistan utara atau Srilangka atau negara bagian India selatan.

Bagaimana dengan gedung pencakar langit di luar jendela taksi? Semuanya dibangun oleh pekerja asing—terutama dari Asia Selatan, India, Nepal, Pakistan, dan Banglades. Pada siang hari, deretan bus diparkir di bawah gedung pencakar langit yang masih dalam pembangunan. Deretan bus itu menunggu kepulangan para pekerja pada sore harinya. Mereka pulang menuju unit tempat tinggal sebagian besar pekerja ini, yang sama padatnya seperti barak penjara.

Kondisi kehidupan yang sulit bagi para pekerja asing dapat ditemukan di mana-mana di dunia. Namun, segala sesuatu tentang Dubai selalu berlebihan. Sejarah modern kota ini dimulai lebih dari setengah abad yang lalu, dengan ditemukannya minyak di dekat Abu Dhabi yang saat itu merupakan kerajaan ter­sendiri dan merdeka, yang dipimpin seorang Syekh. Uni Emirat Arab didirikan pada 1971 sebagai federasi nasional yang mencakup enam kerajaan—kerajaan ketujuh bergabung pada tahun berikutnya. Mengingat Dubai memiliki minyak yang relatif sedikit, keluarga kerajaan di kota itu memanfaatkan porsi kekayaan baru dari negaranya untuk mengubah kota dagang kecil menjadi ibu kota komersial yang me­mukau dunia. Lereng ski dalam-ruang yang ter­kenal hanyalah salah satu sayap dari pusat per­belanjaan Dubai, dan mal ini bahkan bukan yang terbesar dari sekian banyak mal di kota ini; mal yang terbesar dilengkapi dengan akuarium tiga lantai dan arena hoki es berukuran sebesar lapangan hoki. Ke mana pun mata memandang, semuanya terlihat mewah dan baru.!break!

Dubai kontemporer dibangun dan dipelihara oleh pekerja dari negara lain. Warga keemiran itu terlalu sedikit jumlahnya untuk melakukan tugas tersebut, dan mengapa pula bangsa kaya baru ini mengharapkan warganya menjadi pe­layan atau menuangkan semen pada suhu 48 derajat Celsius? Dari 2,1 juta penduduk Dubai, hanya sekitar satu dari sepuluh orang merupakan warga Emirat. Sisanya pekerja pinjaman global, bekerja atas kontrak se­mentara, dan mereka tidak akan pernah ditawari kewarganegaraan Emirat.

Komunitas mereka, seperti sebagian besar negara Teluk yang mengandalkan pekerja asing, memiliki lapisan sosial yang sama kakunya seperti Amerika pada abad ke-19. Ke­miripan itu terletak pada ras, jenis kelamin, kelas, negara asal, kefasihan berbahasa Inggris. Di Dubai, sebagian besar profesional dan manajer adalah orang Eropa, Amerika, Australia, Selandia Baru, dan Kanada—orang kulit putih yang sebagian besar memperoleh terlalu banyak uang untuk dianggap sebagai buruh devisa. Gaji mereka membuat mereka dapat membawa keluarga ke Dubai, mengendarai mobil Range Rovers, dan menempati apartemen di bangunan pencakar langit atau vila berpemandangan indah. Para buruh devisa-lah yang memasak dan menjaga anak-anak mereka, yang membersihkan jalanan, menjadi pramuniaga di pusat perbelanjaan, menangani resep di apotek, dan membangun pencakar langit di bawah terik matahari. Dengan kata lain, orang-orang yang menghidupkan Dubai itu bekerja sambil mengirimkan upah mereka ke kampung halaman nun jauh di sana.

Namun, kisah ini bukanlah cerita tentang pekerjaan, upah, dan PDB. Ini adalah kisah cinta: tentang ikatan keluarga, aneka tugas yang berbenturan, dan kesetiaan, serta hambatan raksasa dalam upaya menyediakan kebutuhan lahir dan batin bagi orang-orang tersayang dalam ekonomi global yang kadang terlihat terstruktur begitu sempurna untuk mencerai-beraikan keluarga.

Sebagian besar pekerja luar negeri terjebak dalam beraneka ragam kisah cinta. Teresa dan Luis Cruz menghargai aspek kehidupan sehari-hari yang membuat mereka termasuk salah satu keluarga yang beruntung: Mereka dapat hidup bersama, sebagai suami-istri, di tempat yang sama. Untuk beberapa lama, mereka sempat hidup bersama dengan semua anak mereka, anugerah langka bagi buruh devisa. Namun, lahirnya bayi keempat—keluarga Cruz adalah penganut Katolik Roma yang taat—membuat mereka kewalahan.

Luis, yang telah menikah sebelumnya dan sudah punya satu anak di Filipina, membawa pulang kedua anaknya yang lebih besar. Setiap kali bertanya kepada Teresa bagaimana rasanya kehilangan kontak fisik dengan putrinya dan putra sulungnya, wajahnya langsung muram dan kaku. "Sangat sulit," jawabnya. Dan: "Kurasa mereka menjalani hidup berkeluarga dengan baik bersama adikku." Dan: "Mereka akan belajar menjadi orang Filipina di sana."

Di Gereja Katolik St. Mary di kota ini, misa Jumat sore disampaikan dalam bahasa Tagalog. Jemaat berbahasa Inggris menghadiri misa pada hari lain, seperti halnya jemaat berbahasa Sinhala, Prancis, Tamil, Arab, Malayalam, dan Konkani. Dua bahasa terakhir adalah bahasa dari India. Pada suatu hari Jumat, Teresa dan Luis mendengarkan suara Tomasito Veneracion, pastor keturunan Filipina. Belum lama ini saya mempelajari kata baru, kata Pastor Tom dalam bahasa Tagalog: "gamofobia," rasa takut menjalani kehidupan monogami.

Kalian tidak boleh menjadi pengidap gamofobik, demikian Pastor Tom berkhotbah. Kalian tidak boleh berkata bahwa keluarga OFW (Tenaga Kerja Filipina) adalah keluarga kuat, tetapi kalian, para pekerja di luar negeri, adalah orang lemah. Hampir setiap orang Filipina di UEA punya teman atau kerabat di Filipina, dan di negara Teluk mereka menjalani pernikahan jarak jauh sambil berselingkuh, sementara pe­ngiriman uang terus mengalir. "Jangan lupakan orang-orang yang kalian tinggalkan," ujar Pastor Tom mengingatkan. "Jangan lupakan alasan keberadaan kalian di sini."

Di kota yang sarat pekerja asing, beberapa kalimat berikut sering muncul dalam obrolan: alasan keberadaan kita di sini, orang-orang yang kita tinggalkan. Sering kali, ceritanya sama. Anak saya, suami saya, orang tua saya, dan adik saya yang masih berada di desa dan, saya takut mereka sekarang kecanduan narkoba. Karena saya ingin adik saya bersekolah di SMA. Karena meskipun kami berdelapan tinggal di sebuah ruangan yang diperuntukkan bagi empat orang saja dan harus merendam pakaian kerja kami yang kotor dalam ember sabun untuk menghilangkan baunya, majikanlah yang mem­bayar penginapan ini, sehingga saya dapat mengirim lebih banyak uang ke kampung halaman. Karena meskipun majikan saya tidak membayar penginapan, saya bisa mengurangi biaya sewa tidak hanya dengan berbagi kamar, tetapi juga berbagi tempat tidur.!break!

Orang yang mendapatkan giliran kerja malam atau siang hari bergantian menempati tempat tidur yang sama. Karena istri saya sedang hamil dan kami mengkhawatirkan masa depan bayi kami. Karena ini adalah cara yang diajarkan ayah saya untuk menghidupi keluarga—ketika dia meninggalkan kami, 30 tahun yang lalu, untuk melipatgandakan upahnya dan mengirim uang ke rumah.

Di Manila, terdapat sebuah blok yang hampir setiap jendela etalasenya ditempeli brosur bujukan untuk bekerja di luar negeri. KERAJAAN ARAB SAUDI, 30 Pembuat Roti Lapis. HONG KONG, 150 Pembantu Rumah Tangga. DUBAI, Penjaga Taman Bermain, Pengepak Sayuran. Pemasang Ubin, Ahli Beras, Penjaga WC Wanita (Berwajah Menarik), Pengukir Es/Buah. Tawaran pekerjaan yang memikat warga Filipina untuk bekerja di ber­bagai tempat di seluruh dunia. Namun, iklan yang paling menonjol adalah janji bekerja di negara-negara Teluk, terutama untuk orang yang berpendidikan rendah.

Ketika Luis masih kecil, ayahnya mengerjakan hal seperti itu, melamar sebagai tukang las di Dubai. Luis senior sekarang hanya sesekali kembali ke kampung halamannya, untuk me­nemui wanita yang masih berstatus istrinya—hukum Filipina tidak mengizinkan perceraian. Luis dan keempat saudaranya dibesarkan tanpa kehadiran ayah, dan mereka tidak menyukai keadaan itu. "Kami semua mengantarkannya ke bandara," kata Luis. "Semua harus memeluk dan menciumnya. Itu hal yang paling tidak kami sukai. Semua menangis."

Seperti banyak negara yang tingkat ke­miskinan­nya relatif stabil, Filipina mulai ber­gantung pada pekerja luar negeri ini. Ada akronim resmi, sering disertai pujian untuk pengorbanan heroik demi bangsa dan keluarga: OFW atau overseas Filipino workers (pekerja Filipina di luar negeri). Sebuah pusat OFW khusus terdapat di bandara internasional Manila dan beberapa agensi publik lainnya hadir untuk memenuhi kebutuhan mereka di seluruh negeri.

Saat Luis berusia 22 tahun, dia sudah me­nikah dan memiliki seorang anak, tinggal di kota Filipina kumuh tempatnya dibesarkan, di selatan Manila. Dia bekerja di bidang kon­s­truksi, mendapatkan upah sekitar Rp40.000 sehari, yang hanya cukup untuk bertahan hidup. Namun, tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, tidak seperti cara ayahnya meng­hidupi keluarganya. Dalam bahasa Tagalog ada ungkapan, "katas ng Saudi", berarti "jus yang diperas dari Saudi". Itu adalah judul film populer pada 2007 tentang penderitaan seorang pekerja Filipina yang kembali dari Arab Saudi. Sampai sekarang pun warga Filipina masih menggunakannya untuk menggambarkan anugerah berkat uang dari luar negeri.

Kompleks keluarga Cruz, yang dapat dicapai melalui lorong sempit di samping jalanan komersial ramai yang berbatasan dengan lautan, kini menjadi permukiman kaya-raya berkat katas ng Saudi: sofa berbantal empuk, kamar yang luas, pemutar DVD di rak buku mewah, dermaga menghadap jala ikan bawah air permanen milik sepupunya. Dua adik perempuan Luis kini kuliah di perguruan tinggi. Salah satunya sedang mempersiapkan diri untuk menjadi dokter gigi.

Luis Senior langsung menyarankan agar putranya itu mencari pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik di Dubai, saat me­ngetahui kehidupan putra­­nya. Saran itu juga di­sampaikannya saat meng­amati istri pertama pemuda itu kelihatannya mulai menyesali per­nikah­annya. "Dia tahu situasi saya," kata Luis. "Lalu, Ibu me­ngajak saya ke agen tenaga kerja."!break!

Luis masih ingat jumlah uang yang pertama kali dikirimkannya ke Filipina, setelah bekerja selama beberapa minggu di Dubai: sekitar Rp3.500.000, hampir setara dengan upah tiga bulan yang diterimanya di pekerjaan lamanya. Dia langsung mengirimkan uang itu kepada ibunya, untuk menghidupi ibunya itu, putrinya, dan adik-adik perempuannya. Penghasilannya sangat besar, namun dia sangat kesepian. Di Dubai, dia ditemani ayahnya. Beberapa waktu kemudian, adiknya, Tomas, yang juga telah menikah, menyerah hidup di Filipina dan juga datang ke Dubai, meninggalkan istrinya dan seorang putri di kampung halamannya

Namun, kisah ini tetap tergolong cerita cinta, dan ceritanya cukup bahagia, di­bandingkan dengan kisah buruh devisa lain­nya. Sementara Luis bekerja di Teluk, Teresa men­dapatkan nilai bagus dalam wawancara dengan agen tenaga kerja di Manila. Di Dubai, tempat kerjanya ber-AC dan, pada bulan-bulan pertama, dia tinggal di perumahan bersama seorang rekan kerjanya. Asrama itu adalah ruang tidur terbaik yang pernah dimilikinya.

Dia senang tidak terjebak dalam kehidupan sebagai pembantu rumah tangga yang kesepian akibat terisolasi dari dunia luar. Orang Fili­pina, dengan bahasa Inggris yang baik dan ter­kenal sebagai bangsa yang ramah dan dapat diandalkan, sangat diminati untuk dijadikan pengasuh, dan bukan hanya di negara-negara Teluk; hampir separuh buruh devisa yang meninggalkan Filipina adalah kaum wanita, sering direnggut dari keluarga mereka sendiri oleh permintaan menjadi pengasuh anak, suster, dan perawat orang tua di dunia internasional.

Namun, Teresa sudah sering mendengar cerita tentang kehidupan rumah tangga di luar negeri. Mereka yang beruntung akan men­dapatkan majikan manusiawi yang mem­perlakukan mereka dengan hormat, tetapi sering kali ceritanya sungguh menyedihkan; tidak ada waktu istirahat, isolasi berlebihan, pelecehan lisan dari majikan wanita, pelecehan seksual dari majikan lelaki.

Teresa juga memiliki ponsel sendiri—sering terdengar cerita bahwa majikan menyita ponsel pembantunya untuk memaksa mereka lebih perhatian dan bergantung pada majikannya. Setiap kali mengirimkan gajinya dalam dirham Emirat untuk diterima di kampung halamannya, dia menyimpan sebagian kecil untuk membeli makanan dan kebutuhan lainnya. Dan, pada akhirnya, perhiasan emas kecil pun terbeli.

Dan, karena begitu banyak lelaki dan wanita Filipina bekerja di Dubai, Teresa menemukan teman-teman sebaya, anak-anak muda yang, seperti dirinya, pindah dari asrama pekerja ke apartemen yang dihuni lelaki dan wanita; apartemen yang padat, tetapi lebih menyenangkan. Hubungan romantis merebak dengan subur. Hubungan asmara yang terjadi memang rumit; sebagian besar lelaki masih terikat secara hukum dengan wanita yang mereka tinggalkan.

Ketika Teresa berkenalan dengan Luis di sebuah pesta ulang tahun, pemuda itu masih beristri. Namun, dia adalah lelaki tampan dan tinggi, dengan senyum manis dan rambut panjang hingga ke mata. Meski negaranya tidak mengizinkan perceraian, pembatalan bisa terjadi untuk orang yang gigih memperjuangkannya. (Ketika saya bertanya kepada Pastor Tom, berapa banyak permintaan pembatalan yang diterimanya di St. Mary, dia menarik napas panjang. "Banyak sekali," keluhnya.)!break!

Jadi, inilah kisah Teresa, yang berada pada empat zona waktu dari kampung halamannya sehingga keluarganya dapat memiliki rumah. Dia menikah dengan seorang lelaki yang bisa menceritakan seperti apa rasanya bertemu ayahnya sendiri hanya setiap dua tahun sekali. Namun, Luis dapat beradaptasi. Ia juga seorang pria tangguh, begitu pula Teresa, dan sekarang Luis bekerja di dalam ruangan, di pabrik industri sebagai tukang las.

Sambil berjalan membisu di antara lorong toko, Teresa mulai bisa mengenali pembantu rumah tangga Filipina yang tidak bahagia. Pem­bantu itu mengurus anak orang lain sementara majikan wanitanya yang angkuh berjalan di depan melihat-lihat pakaian. Kadang-kadang, dia mendekat dan berbisik kepada pembantu itu dalam bahasa Tagalog di belakang majikannya: "Hai kabayan. Hai, teman setanah air." Apa kau baik-baik saja? Mengapa tidak pulang? "Mereka menjawab, 'Tidak bisa. Kebutuhan keluarga.'"

Kebutuhan seperti apa, dan apakah ke­butuhan keluarganya itu lebih besar dibanding­kan dengan kehadirannya di tengah mereka? Namun, semua buruh devisa tahu bahwa ke­butuhan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang rumit dan makin lama makin banyak. Makanan, sekolah, obat-obatan, dan dinding kokoh adalah hal-hal yang dibutuhkan keluarga; begitu pula dengan kebanggaan. Renovasi rumah keluarga bukan proyek yang dapat dihentikan di tengah jalan begitu saja. Anak yang bersekolah di sekolah swasta yang mahal pasti membutuhkan biaya besar selama bertahun-tahun; anak perempuan atau adik yang bertunangan akan membutuhkan uang untuk melangsungkan pernikahan yang layak.

Kelompok wartawan dan hak asasi manusia secara berkala mendokumentasikan keluhan buruh devisa: upah tidak dibayar, lokasi kerja berbahaya, kondisi hidup buruk, paspor disita secara ilegal. Namun, UEA tidak memudahkan pendokumentasian itu. Beberapa organisasi non-pemerintah dilarang bekerja di negara itu dan pers nasional sangat berhati-hati agar tidak menyinggung pejabat pemerintah. Pihak yang membela UEA menunjukkan bahwa negara itu tetap menjadi salah satu negara Teluk yang paling terbuka; wanita diizinkan ber­busana sesuka hati, rumah ibadah non-Islam berkembang tanpa gangguan, dan jalanan aman.

Kekuatan yang paling diandalkan UEA untuk memastikan kepatuhan tenaga kerja kontrak adalah ancaman deportasi: Jika kalian, pekerja asing yang tidak tahu berterima kasih, berani membuat onar di sini, kami akan segera mengirimkan kalian kembali ke kehidupan menyedihkan di kampung halaman. Baik di Dubai maupun Filipina, orang terus mengingat­kan saya bahwa buruh devisa pergi ke luar negeri karena merekalah yang memutuskan untuk pergi.

Coba bayangkan, kita berada di bandara Manila: di terminal kedatangan yang ramai, puluhan orang berkumpul, semuanya saling dorong untuk melihat penumpang yang pulang ke kampung halamannya. Hal ini terjadi sekitar 13 tahun yang lalu, saat Teresa pertama kali pulang kampung setelah pergi selama tiga tahun.

Ketika mengenali salah satu saudara laki-lakinya, kemudian saudaranya yang lain, lalu adik dan beberapa keponakannya, dia merasa kaget: Setiap kerabat yang mengabaikannya ketika dia meninggalkan Filipina, kini justru ber­desakan dalam mobil yang dipinjam untuk me­nyambut kepulangannya. Di atas troli bagasi yang didorongnya ke arah mereka, tampak kardus berat berisi televisi warna baru—ber­ukuran besar.

Ruang tempat penyimpanan televisi itu—sala, ruang keluarga berukuran besar—tahun demi tahun akhirnya seluruhnya berhasil diperkokoh. Pembangunan dilakukan sedikit demi sedikit; setiap beberapa bulan sekali uang kiriman Teresa digunakan untuk perbaikan itu. Pertama-tama, sala. Kemudian, dapur. Lalu, kamar tidur. "Sedikit demi sedikit," kata Teresa, "mereka merenovasinya menjadi rumah tembok."!break!

Dalam bahasa tagalog, ada lagu populer tentang buruh devisa, direkam seperempat abad yang lalu oleh Roel Cortez, judulnya "Napakasakit Kuya Eddie". Teresa berlari menghampiri komputernya untuk memasang YouTube ketika saya berkata belum pernah mendengar lagu itu. Di layar komputer, tampak siluet sebuah perahu kecil, berlayar mengarungi lautan keemasan.

"Saya akan me­nerjemah­kannya," kata Teresa. Musik terdengar semakin nyaring. Liriknya bergulir. "Aku di sini di tengah negara Arab dan bekerja begitu keras," ujar Teresa, saat suara merdu Cortez mulai terdengar. "Di tempat yang sangat panas... tangan akan mengeras, warna kulit menjadi hitam."

Teresa terbuai oleh lagu itu. Dia ikut ber­nyanyi dan menerjemahkan, dan berusaha untuk tidak ketinggalan lagu. "Ketika tidur, dia selalu membayangkan saat-saat setelah masa kerjanya usai, sehingga dia bisa pulang ke kampung halaman," katanya. "Dan dia sangat senang ketika anaknya menulis surat, tetapi terkejut dan air matanya mengalir—'Ayah! Cepat pulang! Ibu punya pacar!'"

"Sungguh sulit, saudara Eddie," Teresa bernyanyi begitu nyaring, dengan lutut me­lambungkan bayinya yang sedang tumbuh gigi. "Apa yang terjadi dengan hidupku?"

Bayi itu sudah tenang kembali dan Teresa menyerahkannya kepada Luis. Anak tiga tahun itu duduk di kasur keluarga. Dalam beberapa tahun ke depan, kedua anaknya pun akan dikirimkan pulang ke Filipina. Tentu saja Teresa dan Luis Cruz memiliki alat komunikasi menakjubkan yang tidak dimiliki para pekerja dari generasi orang tua mereka: ponsel dengan SMS, Facebook, aplikasi dengan jangkauan internasional, dan komputer yang kini ditatap lekat-lekat oleh Teresa dan Luis.

Namun, saat anak perempuan dan anak lelaki mereka akhirnya muncul di layar video, saya merasa bahwa orang tua mereka pasti merasa bahagia, di tengah tawa, candaan, dan lambaian tangan, karena masih memiliki dua bocah kecil yang masih bisa mereka rangkul.