Pasangan von Helversen melanjutkan pengamatan mereka dengan penelitian yang lebih luas mengenai gema bunga, menggunakan koloni kelelawar tangkaran di laboratorium mereka di Erlangen. Di bawah bimbingan mereka, Ralph Simon, mahasiswa S1 yang menjadi asisten penelitian, melatih kelelawar untuk minum dari tempat nektar yang diletakkan secara acak dan dipasangi berbagai bentuk penanda. Bentuk bulat cekung terbukti merupakan bentuk yang paling mudah ditemukan kelelawar.
Simon kemudian menemukan bentuk semacam itu pada berbagai bunga di alam, termasuk bunga bersuar-mangkuk yang pertama kali dilihatnya dalam foto sebuah majalah flora-fauna. Karena penasaran, dia melakukan perjalanan ke Kuba, tempat foto bunga itu diambil. Sambil berjongkok sendirian di hutan pada malam hari, sang ilmuwan kegirangan menyaksikan kelelawar minum nektar sementara bunga menaburkan serbuk sarinya, memastikan dugaannya sebelumnya.
Benarkah daun berbentuk mangkuk mempermudah kelelawar menemukan bunga? Di laboratorium, Simon menemukan bahwa replika daun berbentuk mangkuk di atas tempat makanan membuat kelelawar dua kali lebih cepat menemukannya. Sementara replika daun yang datar dan tidak dimodifikasi hampir tidak mempercepat waktu pencarian dibanding tempat makanan yang tidak bertanda.
"Daun normal yang datar hanya memantulkan suara sekali," Simon menjelaskan, "sementara daun berbentuk cekung memantulkan gema yang kuat beberapa kali, dari sudut yang cukup besar saat kelelawar mendekat. Ini seperti suar sungguhan, karena gema yang dipantulkan memiliki warna bunyi yang unik, sama mencoloknya dengan bunga warna-warni di tengah hijau dedaunan."
Simon, yang saat diwawancarai sudah menjadi mahasiswa pascasarjana, selanjutnya membuat robot kepala kelelawar yang dapat bergerak. Dia memasang satu pelantam ultrasonik kecil dan dua sensor suara dalam pola segitiga, sesuai posisi hidung dan telinga kelelawar. Dia memancarkan bunyi kompleks dengan modulasi frekuensi—seperti suara kelelawar nektar—melalui hidung robot ke arah bunga yang terpasang pada dudukan berputar dan mencatat gema yang ditangkap telinga kelelawar elektronik itu. Dia mengumpulkan karakteristik akustik-gema bunga dari 65 spesies tanaman berbunga yang diserbuki kelelawar. Setiap bunga yang diuji Simon memiliki karakteristik akustik yang unik dan mencolok.
Secara keseluruhan, Simon menemukan bahwa bunga-kelelawar memiliki beberapa adaptasi suara yang umum. Semuanya memiliki permukaan berlilin yang sangat reflektif, serta ukuran dan bentuknya sangat mirip antara satu bunga dengan yang lain. Dengan menggunakan karakteristik gema 36 bunga-kelelawar dari 12 spesies sebagai dasar perbandingan, Simon (sudah doktor sekarang) menulis program yang dapat mengklasifikasikan 130 bunga baru hingga ke tingkat spesies hanya dengan berdasarkan suara.
Tumbuhan berupaya keras untuk memikat kelelawar dan memenuhi keinginannya "karena kelelawar merupakan penyerbuk yang sangat efektif," ujar Simon. "Hasilnya sebanding."
Penelitian pada 2010 oleh ahli ekologi evolusi Nathan Muchhala, yang membandingkan kolibri dan kelelawar nektar di Ekuador, menemukan bahwa kelelawar rata-rata membawa serbuk sari sepuluh kali lebih banyak daripada burung. Selain itu, kelelawar juga membawa serbuk sari dalam jarak jauh. Kolibri diperkirakan menyebarkan serbuk sari dalam radius sekitar 200 meter. Penerbang jarak jauh di kalangan kelelawar nektar, Leptonycteris curasoae, mencari makan hingga sejauh 50 kilometer dari tempatnya bersarang. Bagi tanaman hutan tropis, yang biasanya tersebar luas dengan kepadatan rendah, luasnya kawasan jelajah kelelawar memberikan keuntungan besar.
Pada 1790-an, ahli biologi Italia Lazzaro Spallanzani diolok-olok karena mengajukan teori bahwa kelelawar menggunakan telinganya untuk melihat dalam gelap. Satu setengah abad kemudian, pada akhir 1930-an, para ilmuwan menemukan cara kelelawar melakukannya.
Hampir seabad kemudian, kita tahu bahwa tanaman juga membentuk bunganya agar lebih terdengar telinga kelelawar. Lewat interaksi nan rumit ini, alam menampakkan salah satu keajaibannya yang paling menakjubkan.