Menggali Dinosaurus Utah

By , Senin, 28 April 2014 | 10:27 WIB

Penampilan kakak-beradik Miller lebih mirip pencari emas daripada ahli paleobotani. Janggut mereka berlumuran tanah, sementara kacamata pengaman melindungi keduanya agar tidak kelilipan pasir yang diterbangkan angin gurun.  Keduanya ber­perawakan tinggi besar, hampir dua meter. Di punggung gunung yang curam di Utah selatan, mereka bergerak dengan ketangkasan orang yang terbiasa di alam bebas.

Sementara Ian mengayunkan beliung ke batu lumpur, Dane melinting rokok di tengah embusan angin.

Bersama Scott Sampson, kepala kurator di Denver Museum of Nature & Science, dan Joe Sertich, ahli paleontologi dinosaurus di museum yang sama, musim semi lalu kedua saudara ini mencari fosil di Monumen Nasional Grand Staircase–Escalante. Di kawasan yang sebagian besar berupa gurun tanpa akses jalan itu mereka mengeksplorasi daerah yang sangat terpencil, labirin jurang dan tebing terjal di utara Gunung Horse. Sementara anggota tim lain menggali lokasi fosil yang ditemukan tahun-tahun sebelumnya beberapa kilometer dari situ, Sampson, Sertich, dan Miller bersaudara mencari tempat fosil yang baru. Sampson terlihat sangat senang bisa berada “di tempat yang belum pernah didatangi ahli paleontologi”—dan berpeluang menemukan harta karun baru dari “benua hilang” Laramidia.

Lapisan batu lumpur yang digali Miller me­nutupi pantai timur pulau panjang tersebut, yang dahulu membentang 6.500 kilometer dari Samudra Arktika hingga Teluk Meksiko. Laramidia terbentuk 90 juta tahun lalu, selama Periode Kapur Akhir, ketika permukaan air laut yang naik membanjiri bagian tengah Amerika Utara dan membelahnya jadi dua. Kini, Laramidia terkubur di bawah beberapa negara bagian AS sebelah barat; lapisan tersebut hanya dapat diakses di tanah tandus yang tererosi seperti tempat ini, yang tergerus angin dan hujan sehingga simpanan fosilnya dapat digali dengan beliung dan sekop.

Sampson ikut memimpin ekspedisi pe­nelitian alam liar Laramidia sejak 2000. Dari formasi Kaiparowits, lapisan setebal 800 meter yang berumur 75 juta sampai 77 juta tahun lalu, mereka menemukan fosil ribuan tumbuhan dan hewan, dari buah runjung konifera hingga buaya, kura-kura, dan­—terutama—dinosaurus.

Selama sekitar 20 juta tahun keberadaannya, Laramidia sepertinya merupakan pabrik dino­saurus yang dahsyat, mencetak dinosaurus besar dan kecil dengan keragaman spesies yang luar biasa. Dengan mengungkap alasan dan proses terjadinya, kata para peneliti, kita bisa memahami sesuatu yang mendasar mengenai interaksi antara ekologi dan evolusi.

“Tempat ini penuh dengan tulang,” kata Sampson. “Saya menemukan beberapa potong fosil kura-kura saat mendaki bukit ini, sayang bagian tubuh lainnya tidak terlihat.” Dia meng­ambil sepotong benda kecil berwarna krem dan menjilatnya untuk mengetahui itu tulang yang berpori atau cuma batu. “Jika tulang, maka akan menempel ke lidah kita,” katanya. “Jika batu, tidak akan menempel.” Benda itu menempel.

Pencarian fosil masih tetap menggunakan teknologi rendah. Kalau menyangkut pekerjaan lapangan, tidak banyak yang berubah sejak “demam tulang” abad ke-19, ketika penemuan di bagian barat AS memicu upaya menggebu untuk mengeluarkan fosil dari dalam tanah, dan membawanya ke ruang pamer museum-museum. Kawanan ilmuwan, koboi, dan pe­tualang mengeluarkan tulang kaki raksasa dari tanah tandus, dengan menggunakan beliung, sekop, dan plester yang sama seperti yang di­gunakan oleh ahli paleontologi masa kini.

“Kami tetap menggunakan teknik ini, karena ini yang terbaik,” kata Ian Miller, yang mengepalai departemen ilmu kebumian di Denver Museum. Alat favoritnya: beliung seberat tiga kilogram dengan gagang kayu pecan. “Sulit mendapatkan beliung berkualitas baik pada masa sekarang,” katanya. “Namun, alat ini sangat awet.”

Salah satu penemuan besar pertama di formasi Kaiparowits terjadi pada 2002, ketika seorang relawan lapangan menemukan tulang rahang di tanah. Para peneliti kemudian me­nemukan bahwa tulang itu melekat pada tengkorak besar milik hewan Hadrosauridae, atau dinosaurus paruh-bebek, dengan panjang tubuh sembilan meter. Moncongnya memiliki jambul, sehingga fosil tersebut digolongkan dalam genus Gryposaurus (kadal hidung bengkok), yang pertama kali dideskripsikan seabad lalu. Namun, raksasa Utah ini jelas berbeda dengan saudaranya yang dari Kanada. Hewan ini seperti “menggunakan steroid”, kata Sampson, kemudian melontarkan metafora lain, “seperti Arnold Schwarzenegger-nya dinosaurus paruh bebek.” Dia dan Terry Gates menamai spesies baru itu G. monumentensis, dari nama tempat ditemukannya fosil itu.

Pada tahun yang sama, Mike Getty, sekarang kepala penyiapan spesimen di Denver Museum, menemukan spesies baru yang lain di sini, dino­saurus setinggi dua meter. Makhluk pemakan daging, berkaki dua, dan mungkin berbulunggas ini dinamai Hagryphus giganteus, atau griffin raksasa milik Ha, dewa gurun barat Mesir.

Kemudian menyusul berbagai spesies lainnya: dinosaurus kepala-kubah, dinosaurus lapis baja, keluarga Tyrannosaurus rex, kerabat Velociraptor yang bercakar melengkung, serta beberapa dino­­saurus bertanduk jenis baru, yang kian lama kian ajaib bentuknya. Bayangkan raksasa yang oleh Sampson dan rekannya diberi nama Kosmoceratops richardsoni tahun 2010: Kerabat Triceratops seukuran badak ini memegang rekor dengan 15 tanduk di kepalanya.

Spesimen yang berkerabat dengan sebagian besar hewan-hewan ini ditemukan di situs Periode Kapur Akhir di Alberta, Montana, dan Wyoming, tempat yang pada saat itu juga berada di pantai timur Laramidia.