Candi-Candi yang Terpinggirkan

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 13:03 WIB

Dusun ini sunyi. Sengat mentari sudah tak lagi terasa di kulit. Mata saya mencari objek yang tertera di papan penunjuk tepi jalan. Namun di depan mata hanya ada rumah, sawah, dan rumah. Saya mulai terbiasa. Kali ini pasti sama seperti yang sebelumnya: ia bersembunyi di relung tanah entah di mana.

Saya turuti langkah Sri Muryantini Romawati, yang biasa dipanggil Anti, seorang staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY). Ia mengiringi saya menelusuri kala lampau di kota ini. Masa di mana para arsitek ulung piawai menyusun potongan batu yang saling mengunci satu sama lain dengan pahatan uniknya, menjadikannya tempat untuk melayangkan doa di tengah ancaman gempa dan gunung api.

Akhirnya saya melihatnya. Di balik sawah, berpagar kawat duri dan berpintu gerbang bergembok. Candi Gampingan yang terdiri dari delapan lapis batu putih ini tak lagi berbadan dan beratap. Di setiap sisi kaki candi yang tersisa, saya menikmati tiga adegan relief: dua relief katak, yang mengapit satu relief burung.

Sembilan tahun silam, Sarjono, warga Dusun Gampingan, menggali lahan ini. Niatnya adalah membuat batu bata. Namun, ia menemukan salah satu batuan candi. Walau kini hanya tampak tiga sisa struktur bangunan, sejatinya ada tujuh bangunan di situs itu. Bebatuan yang lain lari entah ke mana, dilahap lahar vulkanis yang menimbun sekitar 1,2 meter dalamnya.

Mengapa candi Buddha yang diperkirakan dibangun pada abad kesembilan Masehi diisi oleh relief satwa? Untuk apa candi ini didirikan? Di manakah sisa bebatuannya? Tentu saya tak mendapatkan semua jawabannya. Mereka ditelan waktu, setidaknya 1.200 tahun silam.!break!

Candi-candi berserakan di bawah lapisan tanah Yogyakarta dan sekitarnya, terkubur oleh rangkaian erupsi ancala nan megah yang menjulang di utara: sang Merapi.

Salah satu candi bersemayam sedalam delapan meter di Dusun Kedulan akibat letusannya yang terhebat pada sekitar tahun 1006. Persembunyian yang berjarak 25 kilometer dari gunung itu terkuak 21 tahun silam, saat penambang pasir melakukan penggalian. Ekskavasi pun dilakukan di warsa yang sama.

Tahun lalu, saat melewati pagar Candi Kedulan untuk pertama kalinya, saya menjumpai sebuah cekungan besar. Hampir seluas lapangan bola. Tiga orang penduduk terlihat sibuk dengan jorannya masing-masing. Di hadapan mereka terdapat gundukan tanah. Di sana, duduklah sisa-sisa candi induk yang sebagian kakinya terendam air. Saat musim hujan datang, air Sungai Werang yang mengalir di sebelah barat naik permukaannya, mengubah situs tersebut menjadi sebuah kolam pemancingan bagi warga.

Saat saya bertandang kembali awal Mei silam, airnya telah surut. Inilah salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh BPCB DIY dalam merawat benda cagar budaya: Saat batu candi terendam air, penggaraman meninggalkan endapan putih yang mengeras saat kemarau.

Upaya penyelamatan bangunan Candi Kedulan tentu dilakukan. Di bagian barat cekungan, jauh dari ancaman air, saya menjumpai beberapa kelompok batuan yang telah tersusun apik: badan serta beberapa lapis atap candi, di tempat yang berbeda-beda.

Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB DIY, Wahyu Astuti, berkisah di ruangannya yang dipenuhi foto candi. Situs Kedulan dengan keutuhan batuannya, menjadi tempat yang baik untuk mempelajari teknologi bangunan masa silam. “Batuan Kedulan itu semua masih orisinal,” ungkapnya. Berbeda dengan beberapa candi yang menggunakan batuan pengganti agar bisa tegak kembali menentang langit.

Tuti pernah menyelenggarakan program minat khusus bagi pelajar SMA di candi itu. Situs ini menjadi tempat pembelajaran, mulai dari ekskavasi, hingga anastilosis atau susun coba struktur bangunan. Kini, program bernama Kemah Budaya dijalankan setiap tahun, diikuti oleh pramuka. Salah satu kegiatannya adalah kegiatan konservasi benda cagar budaya.!break!

Ayam masih riuh berkokok, di sela cahaya yang jatuh miring menerobos sela-sela batang bambu. Udara masih segar. Beberapa orang bersepeda melewati jalanan dusun. Saya berdiri di pekarangan, yang dikelilingi rumah-rumah beranyam bambu di Dusun Palgading. Di depan sepatu saya, terdapat batu hijau berselimut lumut. Saya meraba daunnya, mencoba merasakan tekstur di bawahnya. Sebuah batu berpahat cantik membentuk zigzag sepanjang hampir tiga jengkal. Bagian dari candi.

“Bu, saya salah membuat rumah di tempat ini?” ujar Tuti menirukan pertanyaan seorang simbah, panggilan untuk pinisepuh, di dusun itu. Tepat di bawah rumah sang simbah yang diinapi oleh para peneliti saat melakukan ekskavasi, terserak situs Candi Palgading. Simbah merasa bersalah, karena mendirikan rumah di atas situs.

Di depan rumah simbah terdapat lahan yang dikelilingi pagar, yang lebih tinggi sedikit dari lelaki dewasa. Lahan yang sebagian areanya telah diekskavasi itu luasnya kira-kira setara dengan empat buah lapangan bulutangkis. Di dalamnya bergeletakan batuan candi di satu sisi, termasuk pucuk stupa yang kelilingnya hampir sepelukan dua orang dewasa.

Di sisi lainnya, terdapat susunan batu -batu percobaan yang membentuk pelataran candi. Di sana sini terdapat lubang-lubang penggalian yang menampakkan sebagian struktur kaki serta pagar candi.

Pembebasan lahan milik warga menjadi salah satu tantangan yang harus dijalankan oleh BPCB DIY dalam upaya mengonservasi candi secara maksimal. Tuti menjelaskan, bahwa penggalian di situs Palgading ini untuk sementara terpaksa dihentikan, karena sulitnya melakukan pembebasan tanah yang kepemilikannya berbeda-beda dalam lahan situs tersebut.

“Tanahnya itu belinya sedikit demi sedikit dan seringkali nilai jualnya mahal karena mereka mengira kita investor yang akan membangun sesuatu di situ,” ungkapnya. Persoalan pembebasan tanah itu pula yang menjadi salah satu kendala di Candi Ijo, candi tertinggi di Yogyakarta.!break!

Baru saja mendaki dan duduk di tangga candi induk yang menghadap ke barat, melindungi diri dari sinar mentari pagi yang menyorot amat kuat, saya tersihir pada lanskap yang hadir di hadapan. Bisa jadi hal yang sama ada di benak para penguasa pada zaman dahulu kala, saat memutuskan untuk membangun candi di sini.

Terletak 350 meter di atas permukaan laut, di depan candi induk, berdiri tiga candi perwara berlatar langit bertabur mega putih bergumpal gumpal. Nun jauh di bawah sana, di kaki cakrawala, terhampar lanskap kota Yogyakarta, dipagari pegunungan yang menjadi batas daerah di arah barat daya. Landasan Bandara Adisucipto terlihat amat jelas dari sini.

Bagai tak kenal takut, para staf BPCB DIY berdiri melakukan penilikan di atap candi. Mida, seorang ahli konservasi yang cekatan, sibuk hilir mudik di halaman candi yang hijau segar. Tangannya memegang lembaran catatan. Ia bertanggung jawab menentukan perawatan yang harus dilakukan terhadap kondisi yang kini dialami oleh candi.

“Candi ijo adalah candi paling tinggi. Candinya minimal ada 13,” ungkap Tuti. Semuanya tersebar di 11 teras yang tersusun menuruni bukit di Dusun Groyokan, Kabupaten Sleman. Baru ada lima candi yang utuh berdiri: Candi utama yang saya duduki tangganya, memiliki ketinggian 16 meter. Sedangkan tiga candi perwara di hadapan saya memiliki tinggi sekitar 6 meter. Batuan candi lainnya masih berserakan di teras, atau membentuk pelataran.

Candi yang terakhir didirikan, ada di teras yang lebih rendah dari kompleks candi utama. Di dekat candi berjendela ini, tanaman liar masih tumbuh lebat, bisa jadi menyembunyikan bebatuan lain di bawah permukaan tanahnya. Baru sebagian misteri nenek moyang ini yang berhasil dikuak, lagi-lagi karena terkait soal pembebasan tanah.

Candi Hindu yang diperkirakan dibangun pada 850-900 Masehi yaitu masa Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi ini memiliki perjalanan yang amat panjang dalam pendiriannya kembali. Menurut keterangan BPCB DIY, Dinas Purbakala memulai penelitian pada 1958. Tiga puluh sembilan tahun kemudian, pemugaran candi induk berhasil dilakukan. Sementara candi perwara dipugar tepat 10 tahun lalu.

Kecantikan pemandangan yang mengelilingi situs ini membuat saya betah berlama-lama berdiam diri. Saat senja, penduduk sekitar ramai mengunjungi tempat ini. Hanya untuk menunggui tenggelamnya sang mentari di batas langit. Kemolekan yang justru bisa berbalik mengancam keberadaan candi itu sendiri.!break!

Tuti berkisah kembali di ruang kerjanya. Nada bicaranya tinggi. Amat tinggi. “Besok gini ya, mas. Anda kan perencana. Besok gandeng arkeolog. Jadi tidak semena-mena!” ujarnya menirukan gaya bicaranya saat menghadapi sekelompok orang dengan seperangkat alat teodolit mereka, bersiap untuk membangun resor di dekat kompleks percandian Ratu Boko, yang juga terletak di perbukitan, menghadap lembah dengan pemandangan nan memukau.

“Ya kami marah. Itu tanah kami. Kami belum kasih kawat berduri karena permasalahan dana dan pembelian tanah. Tapi itu zona kami!” ungkapnya dengan amat tegas, mewakili pemerintah. “Lah, ini zona satu. Tidak tertulis memang di situ tapi semua ada undang-undangnya,” lanjutnya.

Ia semakin emosi saat si pengembang bertanya tentang manfaat candi. “Ini Keraton Ratu Boko lho! Arealnya memang luas. Tiap jengkal tanah itu pasti ada (peninggalan),” ungkapnya, masih berapi-api. Dia akhir perbincangan ia tertawa getir sambil berkata, “Apa manfaat candi? Orang ini terbuat dari apa, tho?”

Guna melindungi candi, ada peraturan sistem zonasi yang tertera jelas dalam Undang-Undang RI nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. “Jika dalam penggalian ada temuan yang signifikan, tanahnya langsung kami beli, atau akan kami sewa sebelum dibeli,” ujar Muhammad Taufik, Kepala kelompok Kerja Penyelamatan, Pengamanan, dan Zonasi BPCB DIY.

Ia menjelaskan, ada tiga zona mengiringi sebuah cagar budaya, yang jaraknya akan ditentukan seusai studi. Hal yang pertama adalah zona inti, yang jaraknya bisa mencapai pagar terluar candi, misalnya. Selanjutnya zona penyangga—hanya bangunan yang terkait pemanfaatan candi seperti pos keamanan yang boleh didirikan di sini, dan zona pengembangan. Salah satu peraturan yang ada di zona ini adalah, “tidak boleh ada bangunan yang lebih tinggi daripada benda cagar budaya,” papar Taufik.

Tuti menjelaskan bahwa lahan terkait zonasi adalah permasalahan panjang yang harus mereka hadapi. Belum lagi godaan para pengembang yang mampu menawarkan uang berjumlah besar kepada pemilik lahan. Janji pemilik pada pihak BPCB DIY bahwa tanah yang menyimpan harta nenek moyang tak akan dijual atau disewakan kepada pihak lain, bisa lenyap begitu saja. Hal ini juga bisa menaikkan harga tanah di sekitar mereka berkali-kali lipat, membuat pihak pemerintah sulit untuk mendapatnya kembali untuk mengungkap kekayaan masa lalu yang tak ternilai harganya.!break!

Mahakarya yang kini mulai terkuak secara perlahan tapi pasti, juga ada di kaki timur Gunung Sindoro. Jarum pendek di arloji saya berada di antara angka enam dan tujuh saat itu. Di bibir tebing yang berketinggian sekitar empat meter, para penambang pasir sudah ramai bergiat. Tangan mereka memegang linggis, mencacah ujung pasir bagian atas. Truk pasir berbadan warna warni—merah, kuning, ungu—berseliweran di bawah mereka.

Gunung Sindoro berdiri dengan megahnya di hadapan saya. Awalnya, tampak tak ada yang spesial dari situs Liyangan ini. Hanya ada sebuah pelataran dengan yoni di kejauhan. Penasaran, saya berjongkok saat kaki menyentuh bebatuan lonjong sebesar dua jejeran sepatu. Tersebar dan tersusun rapi ke arah gunung. Saat kembali berdiri dan melangkah mengikutinya, tiba-tiba sekujur tubuh saya merinding.

Di depan saya menghampar sebuah jalan terpagari dinding batu yang kekuningan disepuh cahaya pagi. Dua mobil cukup untuk saling berlalu di sini. Saya tersihir bagai terbawa ke masa lalu. Mungkin, dulu jalan ini ramai oleh penduduk desa yang berlalu-lalang. Ada yang hendak menuju pasar, ke pelataran doa, menuju sumber air yang dasarnya selalu bergolak. Jalan sebesar ini mungkin menghubungkan ujung kaki Gunung Sindoro dengan desa yang kini dihuni oleh penduduk masa kini. Sebuah temuan jalan yang membuat para arkeolog berdecak kagum.

Budiyono meletakkan bongkahan berwarna hitam di atas meja kayu di bangunan informasi. Kaus putihnya segera tersembunyi di balik baju kemeja hitam setelah ia membuka pintu dan jendela bilik informasi. Di dadanya tertera tulisan di atas secarik kain berbordir: Jupel (Juru Pelihara) PCB Jateng, Situs Liyangan. “Beras yang terbakar ini ditemukan di dalam guci,” ungkapnya sambil kembali menyimpan bukti bersejarah itu. Penemuan serupa sudah dibawa ke BPCB Jawa Tengah untuk diteliti.

Pria paruh baya ini mengantarkan saya naik ke ladang-ladang di atas gunung. Di tanah yang ia miliki, terdapat yoni yang kakinya ditenggelamkan oleh tanah. Ia mengaku menguburkan yoni lainnya di suatu tempat. “Biar tidak hilang,” ia beralasan. “Saya ingat sejak kecil sering menduduki yoni di ladang-ladang,” ungkapnya. Ia baru tahu apa nilai sejarahnya, sejak beberapa tahun silam.

Ia adalah salah satu penggiat tim relawan yang terdiri dari belasan orang, yang mengamankan benda-benda peninggalan yang ditemui di situs. Kini, ia sadar betul apa arti peninggalan yang berserakan di tanah kelahirannya, sekecil apa pun itu. Ia menceritakan soal karma yang datang dan pergi menghantui penduduk, karena menjual dan mengembalikan barang-barang yang mereka temui saat menggali pasir.

Sebagian peninggalan itu diletakkan di sebuah rumah di Dusun Liyangan. Untuk melihat peninggalan itu, kami harus berpanjang lebar menjelaskan siapa kami kepada Ari, salah seorang staf dari BCPB Jateng yang beraut muka tegas. Ia mengoperasikan ekskavator siang itu, membuang sisa tanah di dekat situs. Setelah memastikan bahwa kami sudah mendapatkan izin dari tempatnya bekerja, barulah ia bersedia menemani kami melihat peninggalan yang tersimpan rapi di balik kaca terkunci.

Kekhawatiran Ari, juga Budiyono, bukanlah tanpa alasan. Lingga yang terdapat di atas yoni yang kini terletak di atas salah satu dari tiga pelataran, hilang dalam hitungan hari setelah ditemukan. Hal yang membuat kedua orang itu—terutama Ari— sangat geram, dan mewaspadai setiap orang yang datang. Kini, petugas pengamanan berganti-ganti mengawasi aktivitas para penambang, juga pengunjung.!break!

Senja telah tiba. Saya berdiri di sebuah area di bukit nan tinggi, bernama Sumberwatu. Di utara, terhampar lanskap Yogyakarta yang disaput sinar senja. Candi Prambanan dan Candi Sojiwan dengan sosoknya yang kelam, muncul dari keriuhan permukiman kota.

“Dulu di sini kandang sapi,” kenang Dwi Oblo, sang fotografer yang juga lulusan bidang studi arkeologi, sambil menunjuk ke suatu arah. Ia akrab dengan daerah ini, tempat ke­gemarannya mengabadikan kedua candi ter­sebut dari ketinggian. Sebelumnya ia tak pernah tahu, bahwa di bawah tanah tempatnya memotret, terpendam bebatuan sebuah stupa, yang kini berdiri tegak di samping kami.

Namun tim BPCB DIY tahu. Mereka sengaja membiarkan situs itu tak tersentuh untuk sementara karena lahan itu merupakan tanah kas desa, yang dalam Permendagri tahun 2007, adalah tanah yang tak boleh dilepas hak kepemilikannya kepada pihak lain, kecuali untuk kepentingan umum.

Kini di area yang diapit jalan membentuk huruf U itu, suara lenguhan sapi telah digantikan oleh riuhnya pembangunan. Enam meter dari stupa, tanah dibiarkan begitu saja. Tetapi di belakang saya, sekitar 11 meter jaraknya, dibangun undakan yang rencananya akan dijadikan tempat duduk pengunjung. Mereka akan menonton pertunjukan yang nantinya akan dipentaskan di depan mereka, menurut keterangan salah seorang pekerja di sana.

Sebuah rumah santap telah berdiri tak jauh dari bangunan kuno itu. Sekitar 15 meter di sisi barat, menjulang dinding-dinding bangunan penginapan berlantai dua yang sedang dikerjakan, siap dibuka akhir tahun ini.

Tuti pernah berkata, “Menurut saya, saat ini persoalan cagar budaya lebih cenderung pada urusan perut.” Sementara itu, para ahli konservasi sendiri berlomba dengan para pengembang. Kini, semua akan kembali kepada penduduk yang hidup di atas peninggalan simbah mereka, simbah yang pernah hidup dalam kejayaan masa lalu, yang peninggalannya masih berserakan di dalam tanah dan menyimpan miliaran misteri.