Jagat Rahasia dalam Perang Akbar

By , Jumat, 25 Juli 2014 | 14:52 WIB

Pintu masuknya berupa lubang basah di tanah, sedikit lebih besar daripada liang binatang, terhalangi semak berduri di hutan terpencil di Prancis timur laut. Saya sedang mengekor Jeff Gusky, fotografer dan dokter dari Texas yang sudah menjelajahi puluhan tempat bawah tanah seperti ini. Bersama-sama, kami merayap lewat lubang berlumpur itu dan memasuki kegelapan di bawah. Tak lama kemudian lorong itu melebar, dan kami merangkak maju. Sinar dari lampu kepala kami kelap-kelip pada tembok kapur berdebu di terowongan berusia seabad ini, yang melandai turun menjauhi kami, dan masuk ke dalam bayangan. Setelah seratus meter, terowongan itu berujung di ruangan kecil yang dipahat dari batu kapur, mirip kios telepon umum.

Di sini, tidak lama setelah pecahnya Perang Dunia Pertama—yang dimulai seratus tahun silam musim panas ini—para insinyur militer Jerman bergiliran duduk tanpa suara, memasang telinga kalau-kalau ada suara penggali terowongan yang berasal dari pihak musuh. Suara teredam atau garukan pacul berarti tim ranjau musuh mungkin hanya berjarak beberapa meter, menggali terowongan lurus ke arahnya. Bahaya semakin besar apabila penggalian itu berhenti dan dia mendengar suara karung atau kaleng ditumpuk diam-diam. Itu menandakan bahwa musuh sedang menyusun bom di ujung terowongan. Yang paling menyeramkan adalah keheningan setelah itu. Bom itu dapat meledak kapan saja, menghancurkan atau menguburnya hidup-hidup.

Di dekat situ, pada salah satu dinding terowongan, lampu kepala kami menerangi corat-coret yang ditinggalkan para insinyur Jerman yang bertugas di pos dengar ini. Nama dan resimen yang mereka ukir itu dihasi dengan motto: “Gott für Kaiser! (Tuhan untuk Kaiser!).” Gurat pensil itu tampak baru, seolah ditulis kemarin. Sebenarnya, batuan dasar gamping dan kapur lunak di wilayah Picardy di Prancis ini tak hanya ideal untuk operasi penggalian, tetapi juga untuk tentara Perang Dunia I yang merekam kehadiran mereka dalam bentuk tanda tangan, sketsa, dan karikatur pensil, ukiran, bahkan pahatan relief yang rumit. Seni bawah tanah ini relatif tidak dikenal di luar kalangan cendekiawan dan peminat Perang Dunia I, mau­pun kepala desa dan tuan tanah, yang se­bagian besar diakrabi Gusky selama bertahun-tahun.

Foto-fotonya menyingkapkan keadaan dunia bawah tanah yang dialami tentara saat ber­lindung dari bombardir peluru yang tiada henti. Mereka meninggalkan nama, gambar perempuan, simbol agama, kartun, dan lain-lain. Jejak ini, kata Gusky, menyingkapkan dunia terlupakan dalam Perang Dunia I, meng­hubungkan kita dengan tiap-tiap tentara, yang banyak di antaranya tidak selamat dari mimpi buruk peperangan parit ini.!break!

Konflik ini diawali dengan kavaleri berkuda dan keyakinan pada semua pihak bahwa perang akan selesai sebelum hari Natal. Pada akhir 1914, kemajuan Jerman telah berhenti, pasukan telah meneguhkan posisi masing-masing, dan jaringan luas parit membentang dari pesisir Laut Utara hingga perbatasan Swiss. Lomba senjata meng­hasilkan penggunaan pertama gas beracun secara massal, perang udara, dan tank. Di garis depan, jutaan prajurit gugur dalam serangan dan balasan yang sebagian besar sia-sia.

Dalam cengkeraman kebuntuan maut ini, bangsa Jerman dan musuhnya, Prancis dan Inggris, kembali menggunakan teknik pe­perangan pengepungan yang tidak banyak ber­ubah selama berabad-abad. Tujuannya adalah menggali ke bawah titik-titik kuat musuh yang penting dan meledakkannya; serangan balasan dicegah dengan cara meledakkan bom untuk meng­hancurkan terowongan mereka sendiri.

Pada puncak perang bawah tanah ini, pada 1916, unit penggali terowongan Inggris me­ledakkan sekitar 750 ranjau di sektor garis depan mereka sepanjang 160 kilometer; bangsa Jerman membalas dengan hampir 700 bom. Bukit dan gigir gunung yang menyediakan tempat mengintai penting pun menjadi ber­lubang-lubang, sementara ranjau-ranjau ter­besar meledakkan kawah-kawah raksasa yang masih mencoreng pemandangan hingga kini. Satu ranjau kecil pun dapat sangat merusak: Di dalam kompleks terowongan yang kami masuki, bom yang diledakkan oleh tentara Jerman pada 26 Januari 1915 menewaskan 26 tentara infanteri Prancis dan mencederai 22 orang.

Namun, perang bawah tanah tidak terbatas pada terowongan sempit saja. Di bawah ladang dan hutan Picardy, terdapat tambang-tambang batu terbengkalai berusia ratusan tahun, yang sebagian dapat menampung ribuan prajurit. Pada suatu pagi berkabut, kami menjelajahi salah satunya, yang terletak di tepi tebing yang menghadap ke Lembah Aisne. Kami diantar ke sana oleh pemilik tanah leluhur ini. Kami sepakat tak akan menyebut namanya untuk melindungi tambang batu itu dari vandalisme.

Dengan bangga dia menunjukkan ukiran Marianne yang monumental, simbol ke­merdeka­an klasik Prancis, menjaga pintu masuk tambang batu itu. Di dalam, di kekelaman gua buatan manusia, kami mengamati deret­an lencana dan kenangan yang terukir elok, menyatakan berbagai resimen Prancis yang pernah berlindung di sini. Dan, kami me­nemukan beberapa kapel yang diukir dan dicat indah dengan simbol agama, lencana tentara, dan nama berbagai kemenangan Prancis yang penting. Si tuan tanah memperlihatkan tangga batu yang berpangkal di salah satu kapel ke garis depan di atas. “Hati saya tersentuh kala mengenang semua orang yang mendaki tangga ini dan tak pernah kembali,” katanya.

Kehidupan di tambang batu jauh lebih baik daripada neraka parit berlumpur di atas. Se­orang wartawan yang mengunjungi salah satu gua ini pada 1915 mencatat bahwa “tempat berlindung yang kering, jerami, perabot, api unggun, merupakan kemewahan besar bagi orang-orang yang kembali dari parit.” Tetapi, seperti yang ditulis seorang prajurit Prancis dalam suratnya ke rumah, “binatang kecil merongrong kami, penuh kutu rambut, kutu hewan, celurut, dan tikus. Selain itu, udara sangat lembap dan banyak orang jatuh sakit.” Gambar perempuan bertebaran di dinding tambang batu, termasuk banyak gambar wajah yang sentimental dan ideal.

Kedua pihak mengubah tambang-tambang batu terbesar menjadi kota bawah tanah, banyak di antaranya masih utuh hingga kini. Tidak jauh dari lahan si tuan tanah, kami melintasi ladang kentang di pertanian milik sepupunya. Pemuda berusia 20-an ini membuka lahan dengan turun tangan langsung mengumpulkan puluhan mortir, granat, dan peluru yang belum meledak.!break!

Di bawah ladang kentangnya, kami menemu­kan labirin yang mencengangkan, tambang batu abad pertengahan yang merentang lebih dari sebelas kilometer, dengan lorong berkelok-kelok dan langit-langit tinggi. Pada 1915, tentara Jerman menghubungkan sarang luas ini dengan parit garis depan. Mereka memasang lampu listrik dan telepon, pos komando, toko roti dan toko jagal, bengkel mesin, rumah sakit, dan kapel. Meski berkarat tebal, generator diesel dan pertahanan kawat duri yang asli masih ada. Demikian pula puluhan rambu jalan yang distensil rapi di setiap belokan, titik rujukan penting dalam labirin lorong yang me­nyesatkan. Pada dinding gua, prajurit Jerman mengguratkan nama dan resimen mereka, ikon agama dan militer, gambar dan karikatur yang dipahat indah, dan sketsa anjing dan kartun lain.

Di antara dekorator paling produktif di kota-kota bawah tanah ini adalah Divisi “Yankee” ke-26, salah satu unit AS pertama yang sampai ke garis depan setelah Amerika terjun ke dalam perang pada April 1917. Untuk mengunjungi tambang batu yang menjadi barak mereka di Chemin des Dames, kami menuruni dua tangga reyot ke sebuah gua sembilan meter di bawah tanah. Kami menjelajahi kompleks 40 hektare itu selama berjam-jam. Lampu kepala kami memperlihatkan kapsul-waktu yang luar biasa untuk perang ini: lorong-lorong yang diseraki botol, sepatu, selongsong peluru, helm, tempat tidur dari pagar kawat berkarat, bahkan kompor utuh dengan panci dan penggorengan.