Pada suatu pagi di Mitchell County, Iowa, Christina Dreier mengantarkan anaknya, Keagan, ke sekolah, tanpa sarapan. Biasanya, ia menolak makanan gratis yang berhak didapatkannya di sekolah. Dreier mencoba bersikap tegas pada anaknya: Jika Keagan ke sekolah dengan perut kosong, mungkin dia mau menyantap sarapan gratis itu, sehingga menghemat makanan di rumah.
Keagan tetap tidak mengacuhkan sarapan yang ditawarkan sekolah. Ia sangat kelaparan saat makan siang, sehingga Dreier harus mengais-ngais isi lemari es agar dapat memberi makan putranya dan adik perempuannya. Dia menjatuhkan tujuh nugget ayam terakhir ke loyang yang sudah rusak, menambahkan remah-remah Tater Tots, dan dua hotdog dari lemari es, lalu memasukkan semuanya ke dalam oven. Sebagian besar makanan yang didapatkannya minggu lalu dari dapur umum lokal sudah habis; makan siangnya sendiri hanya potongan kentang yang tersisa di piring anak-anaknya. “Saya baru makan siang jika masih ada sisa makanan,” katanya. “Tapi, anak-anak yang paling penting. Merekalah yang harus makan.”
Selalu begitu setiap bulan, kata Dreier. Banyak tagihan yang tidak terbayar, karena urusan makanan harus didahulukan. “Kami harus makan, bukan?” katanya, hanya menunjukkan sedikit kepasrahan dalam suaranya. “Kami tidak boleh sampai kelaparan.”!break!
Sulit membayangkan bahwa kelaparan terjadi pada orang seperti Christina Dreier: berkulit putih, berkeluarga, berpakaian, dan memiliki rumah, bahkan agak gemuk. Gambaran kelaparan di Amerika saat ini sangat berbeda dengan gambaran pengangguran berwajah suram di zaman Depresi. “Ini bukan gambaran kelaparan di zaman nenek kita,” kata Janet Poppendieck, sosiolog di City University of New York. “Dewasa ini semakin banyak pekerja dan keluarganya kelaparan karena upah menyusut.”
Jumlah orang yang kelaparan di AS telah meningkat secara dramatis, naik menjadi 48 juta pada 2012—melonjak lima kali lipat sejak akhir 1960-an. Berbagai program yang dijalankan oleh swasta, seperti dapur umum dan dapur sup, juga terus menjamur. Mencari makanan menjadi hal terpenting bagi jutaan orang warga AS. Satu dari enam keluarga melaporkan kehabisan makanan setidaknya sekali setiap tahun. Sebaliknya, di banyak negara Eropa, jumlahnya mendekati satu dari dua puluh keluarga.
Menyaksikan kelaparan di AS saat ini bagaikan memasuki dunia khayali. Makan malam adalah campuran makaroni dan keju serta bahan olahan lainnya yang diperoleh dari dapur umum. Buah dan sayuran segar hanya ada pada hari-hari pertama setelah tunjangan dari program bantuan nutrisi tambahan (SNAP) tiba. Di sini, kita akan mendapati buruh tani dan pensiunan guru yang sama-sama kelaparan, keluarga imigran kelaparan yang tinggal di AS tanpa izin, dan keluarga kelaparan yang telah tinggal di negara ini sejak sekian ratus tahun yang lalu. Di sini, mengantongi makanan dari tempat kerja dan melewatkan waktu makan untuk menghemat makanan sudah sangat biasa, sehingga hal tersebut tidak lagi dipandang sebagai cara untuk mengatasi kelaparan.
Kita pasti tergoda untuk bertanya kepada keluarga penerima bantuan pangan, Jika Anda benar-benar lapar, bagaimana mungkin Anda gemuk—karena banyak dari mereka yang seperti itu. Jawabannya adalah “Paradoks bahwa kelaparan dan obesitas adalah dua sisi dari mata uang yang sama,” kata Melissa Boteach, wakil presiden Poverty and Prosperity Program of the Center for American Progress. “Banyak orang memilih makanan yang mengenyangkan, tetapi tidak bergizi sehingga sesungguhnya menyebabkan obesitas.”!break!
Saat harga perumahan di perkotaan semakin mahal, pekerja kalangan bawah didorong keluar. Pada zaman sekarang, kelaparan di pinggiran kota tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan di perkotaan, meningkat dua kali lipat sejak 2007.
Namun, di daerah pinggiran kota, warga AS yang kelaparan pun tidak terlihat seperti orang kelaparan. Mereka mengendarai mobil, yang merupakan kebutuhan, bukan kemewahan. Barang elektronik bisa dibeli dengan cara mencicil, sehingga orang yang kelaparan jarang tidak memiliki telepon atau televisi.
Houston barat laut adalah salah satu tempat terbaik untuk melihat bagaimana orang hidup dengan diet upah minimum. Jacqueline Christian bekerja purnawaktu, mengendarai sedan yang nyaman, dan memakai pakaian mencolok. Putranya, Ja’Zarrian yang berusia 15 tahun, mengenakan sepatu olahraga Air Jordan berwarna jingga terang. Penampilannya tidak menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga yang mengalami kesulitan, sampai Anda mengetahui bahwa pakaian mereka sebagian besar berasal dari toko diskon, bahwa Ja’Zarrian harus memangkas rumput sepanjang musim panas untuk membeli sepatunya, bahwa mereka tinggal di tempat penampungan tunawisma, dan, meskipun menerima kupon makanan bulanan sebesar 325 dolar (sekitar Rp3.250.000), Christian “hampir sepanjang waktu” selalu khawatir tidak punya makanan yang cukup.
Christian bekerja sebagai perawat pribadi, berpenghasilan Rp77.500 per jam dari pekerjaan yang mengharuskannya merambah kota Houston untuk menemui klien. Jadwalnya, sebagaimana upahnya, menentukan apa yang dimakannya. Untuk menghemat waktu, dia sering membeli makanan matang.
Pada hari ketika dia harus menyelesaikan belasan tugas dan membujuk petugas pemberi pinjaman untuk memperpanjang tenggat pelunasan, Christian menjemput Ja’Zarrian dan adiknya yang berusia tujuh tahun, Jerimiah, dari sekolah. Saat senja, Jerimiah mulai mengeluh kelaparan. Pendaran lampu neon Hartz Chicken Buffet muncul di jalanan dan anaknya mulai merengek minta dibelikan ampela.
Christian mengemudikan mobilnya ke drive-through dan memesan ampela goreng dan okra seharga Rp81.100. Setelah ketiga kartu kreditnya ditolak, dia terpaksa meminjam dana darurat dari ibunya yang tinggal di dekat restoran itu, dan barulah dia bisa membeli makanan itu. Ketika pesanan akhirnya tiba, memenuhi mobil dengan keharuman lemak panas, semua merasa lega. Dalam perjalanan pulang ke tempat penampungan, anak-anak menyantap ampela hingga tandas, kemudian tertidur pulas.
Christian mengatakan dia tahu dirinya tidak mampu makan di luar, dan makanan cepat saji bukanlah makanan yang sehat. Namun, dia merasa terlalu stres—dikejar waktu, mendengar rengekan Jerimiah, betapa sedikit uangnya—sehingga akhirnya menyerah.!break!
Sungguh ironi yang kejam. Orang di pedesaan Iowa mengalami kekurangan gizi di tengah hutan jagung yang terhampar sejauh mata memandang. Tanah Iowa adalah lahan paling subur di negara ini, bahkan hingga membangkitkan jiwa penyair di kalangan pakar agronomi, yang menggambarkannya sebagai “emas hitam”. Pada 2007, lahan pertanian Iowa memproduksi sekitar seperenam produksi jagung dan kedelai di AS.
Ini adalah jenis tanaman yang muncul di meja dapur Christina Dreier dalam bentuk hotdog, yang terbuat dari daging sapi yang diberi pakan jagung, minuman Mountain Dew dengan pemanis sirup jagung, dan nugget ayam goreng yang digoreng dengan minyak kedelai. Semua itu adalah jenis komoditas yang mendapat dukungan paling besar dari pemerintah AS.
Pada 2012, pemerintah menghabiskan dana Rp110 triliun untuk menyubsidi dan mengasuransi tanaman komoditas seperti jagung dan kedelai, dengan Iowa menjadi salah satu negara bagian penerima subsidi terbesar. Pemerintah tidak begitu banyak mengeluarkan dana untuk meningkatkan produksi buah dan sayuran. Pedoman gizi menyatakan buah dan sayuran seharusnya mencakup separuh porsi menu makanan kita. Pada 2011, pemerintah hanya menghabiskan Rp16 triliun untuk menyubsidi dan mengasuransi “tanaman istimewa”—istilah birokrat untuk buah dan sayuran.
Prioritas pemerintah tecermin pada toko bahan pangan; harga makanan segar semakin mahal, sementara makanan manis seperti soda semakin murah. Sejak awal 1980-an, biaya riil buah dan sayuran meningkat 24 persen. Sementara itu, biaya minuman non-alkohol—terutama soda, sebagian besar menggunakan pemanis sirup jagung—menurun 27 persen.
“Kita telah menciptakan sistem yang bertujuan menjaga harga pangan secara keseluruhan tetap rendah, tetapi tidak banyak mendukung makanan sehat bermutu tinggi,” kata ahli pangan global, Raj Patel. “Masalahnya tidak bisa diperbaiki hanya dengan memberi tahu orang untuk makan buah dan sayuran. Inti persoalannya adalah upah, kemiskinan.”
Ketika lemari Christina Dreier mulai kosong, dia berusaha membujuk anak-anaknya untuk tidak mengemil. “Tetapi, kadang mereka makan biskuit asin, karena kami bisa mendapatkannya dari dapur umum,” katanya, mendesah. “Makanan itu tidak sehat untuk mereka, tetapi saya tidak akan melarang mereka memakannya jika mereka kelaparan.”
Keluarga Dreier terus berusaha makan dengan baik. Seperti keluarga lainnya, mereka menanam sepetak sayuran dan deretan pokok jagung manis di halaman besar yang dicomot dari ladang jagung luas di belakang rumah mereka. Namun, ketika masa panen usai, Christina mengalami pergulatan dalam hatinya setiap kali pergi ke supermarket atau dapur umum. Di kedua tempat itu, makanan sehat hampir selalu berada di luar jangkauannya.
Ketika kupon makanan datang, dia menghabiskannya untuk membeli persediaan makanan bulanan, termasuk sekantong anggur organik dan sekantong apel. “Mereka gemar makan buah,” katanya dengan rasa bangga yang terlihat jelas. Namun, sebagian besar uang belanja dibelikan daging, telur, dan susu yang tidak disediakan dapur umum; dengan mi dan saus dari dapur umum, ia hanya perlu membeli daging untuk campuran saus spageti dengan uang setara Rp38.800.
Yang saat ini dimilikinya, menurut Christina, adalah sebuah dapur dengan makanan yang hampir cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Hanya pada saat-saat gentinglah, yaitu saat tagihan baru tiba, atau saat dia harus membeli bensin untuk mengantarkan anak-anak ke kota, yang membuat hidupnya cukup sulit. “Kami tidak kelaparan,” katanya pada suatu pagi sambil mengaduk susu bubuk untuk putrinya. “Tetapi, ada kalanya, kami agak kelaparan.”
—Tracie McMillan adalah penulis The American Way of Eating. Fotografer Kitra Cahana, Stephanie Sinclair, dan Amy Toensing dikenal karena sering menampilkan manusia yang sensitif dan intim.