Mengarungi Lautan Masalah di Negeri Belia

By , Jumat, 19 September 2014 | 15:52 WIB

Kami menyajikan kisah pasangan muda asal Amerika, Helen dan Frank Schreider, yang bertualang ke Republik Indonesia tatkala negeri ini dalam gejolak remaja. Kisah tersebut pernah diterbitkan dalam National Geographic edisi Mei 1961 dan Agustus 1962. Pasangan itu memulai penjelajahan dunia pada 1954. Mereka berkesempatan juga menyusuri Sumatra, Jawa, Bali hingga Timor; melintasi daerah pemberontak yang berkecamuk pascakemerdekaan. Uniknya, mereka menggunakan mobil Jeep amfibi, yang mampu menjejaki daratan dan menyeberangi perairan selat di kawasan timur. Semangat mereka mengingatkan kita tentang negeri maritim, betapa pembangunan angkutan laut sama pentingnya dengan pembangunan angkutan darat.

Harapan tertuju kepada kepemimpinan baru Indonesia, yang bergemuruh di seantero negeri pada Oktober ini. Rakyat berharap, sang pemimpin mampu menggenjot berbagai potensi, juga menyelesaikan dera perkara di negeri yang telah berusia 69 tahun. Setengah abad silam, Helen dan Frank menjulukinya sebagai negeri kepulauan muda yang sarat perkara. Apakah kita masih bergelut dengan perkara yang sama tatkala mereka berjejak di negeri ini?

!break!

Keriuhan lalu lintas Kota Jakarta mengepung kami; saya berbelok dengan lebih hati-hati daripada biasanya. Dor! Ledakan senapan terdengar di dekat kami, dan sekelompok prajurit muncul. Beberapa menit kemudian kami telah berdiri di kantor seorang komandan angkatan bersenjata.

Sang komandan tersenyum. Menyesal.

"Maafkan kami," katanya, "tetapi Indonesia sedang dalam keadaan darurat. Bahkan di ibu kota ini pun aparat kadang-kadang menembak dahulu sebelum bertanya."

Dia mempersilakan kami duduk. "Saya lega kalian baik-baik saja, begitu pula mobil kalian." Dia ragu-ragu. "Itu mobil, bukan?"

Helen, istri saya, tertawa. "Setengahnya iya. Ini Jeep amfibi. Kami menyebutnya Tortuga—bahasa Spanyol untuk 'kura-kura'—karena mobil ini bisa digunakan di darat maupun air."

"Tortuga I rusak setelah digunakan me­nempuh perjalanan dari Arktika ke Amerika Selatan. Ini Tortuga II."

Sang komandan mengangguk-angguk. "Semoga kalian dan kura-kura kalian menikmati kepulauan kami, dan saya minta maaf atas sambutan buruk ini. Tetapi, barangkali lebih baik Anda tahu sejak awal: Indonesia adalah negeri yang sarat masalah."

Tortuga II dan pendahulunya, Tortuga I, telah membawa kami ratusan kilometer dengan selamat me­nyusuri pantai Amerika Tengah, menghiliri Sungai Gangga India, dan melintasi selat nan deras yang memisahkan Jawa dan Bali.

Tortuga II sepanjang 4,5 meter yang dirancang khusus untuk perjalanan kami di Indonesia ini menerapkan pelajaran yang dipetik dari semua perjalanan kami sebelumnya. Kendaraan ini memiliki mesin yang lebih kuat, sistem pen­dingin ganda untuk perjalanan laut, kompas yang terkalibrasi, dan meja peta untuk navigasi. Dapurnya dilengkapi kompor berbahan bakar alkohol. Lemarinya memuat makanan kaleng untuk dua bulan, tangki bahan bakarnya terisi bensin untuk 150 kilometer perjalanan laut atau 750 kilometer perjalanan darat.

Selagi berkendara melewati Lapangan Merdeka di Jakarta, saya merenungkan kata-kata sang komandan. Negerinya memang sarat masalah. Tetapi, negeri ini beruntung karena telah berdaulat. Sejarah modern Indonesia dimulai dengan ber­akhirnya Perang Dunia II dan masa pen­jajahan Jepang. Berlandaskan tekad untuk merdeka dari pengaruh asing, bekas koloni Belanda ini memproklamasikan kedaulatannya sebagai republik pada 17 Agustus 1945, dan bertahan dari usaha pendudukan ulang oleh Belanda.

Empat tahun negosiasi alot dan konflik ber­darah menyusul. Tidak ada yang tahu berapa korban jiwa saat itu, namun Indonesia mem­perkirakan jumlahnya sekitar ratusan ribu. Akhirnya, pada Desember 1949, Belanda me­narik seluruh pasukannya dari negara ke­pulauan itu kecuali di setengah bagian Papua Nugini.