Makan Bersama

By , Kamis, 20 November 2014 | 16:05 WIB

Jumat tiba, dan fermín mengikat pinggang­nya dengan sabuk kulit tebal untuk menyangga punggungnya yang nyeri. Api menyala, ratusan relawan membanting tulang. Salah satu ke­ajaib­an yang terlihat di sini adalah semua orang sepertinya sudah mengetahui perannya. Tidak ada yang saling bertubrukan, walaupun tempat kerja mereka penuh sesak. Salah seorang letnan kuliner Doña Cata dengan serius menyampaikan kepada para wanita yang bertugas membuat tamale bahwa banyak saus cabai yang bocor.

Proses memasak sudah hampir usai, namun Fermín baru saja selesai berhitung. Mereka perlu lebih banyak tamale. Pasukan ber­kumpul kembali. María yang berpita ungu men­celupkan sudipnya ke campuran kental dari tepung jagung, mengaduknya dengan cepat untuk menambahkan udara. Perlahan-lahan gumpalan-gumpalan lenyap, dan campuran itu berubah menjadi adonan. Doña Cata men­cicipinya. Tambah minyak babinya, ujarnya tanpa ragu. Tambah garamnya.

Setiap sendok bumbu yang ditambahkan seolah-olah menjadi bagian dari ritual untuk menghasilkan rahmat, ajang pengabdian kepada Tuhan dan umat manusia. Para wanita membungkus adon­an dengan daun jagung dan mengangkut tamale menuruni bukit menggunakan keranjang untuk diberikan kepada para pria yang akan me­masaknya di bekas tong minyak. Azimat jerami ber­bentuk manusia ranting dipasang di setiap tong. Para pria itu menuangkan tequila atau minum­an keras lainnya untuk memastikan hasil yang bagus.

Pada Minggu pagi, semua juru masak ber­wajah kusut, walaupun tidak seorang pun mau mengaku lelah. Mereka bahkan ber­se­sumbar bahwa keimanan telah memberi mereka energi untuk terjaga semalam suntuk. Major­domo Virginia berkeras bahwa dia baik-baik saja, walaupun jelas terlihat bahwa dia letih, kemeja putihnya acak-acakan, wajahnya tegang dan muram saat dia melemparkan kayu bakar ke bawah tong berisi tamale. Ketika waktu penyajian tiba, para pria berbaris bagai­kan prajurit dan menghitung tamale, mencocokkannya dengan jumlah uang yang diberikan oleh masing-masing donatur. Hal yang sama juga diberlakukan pada atole, yang oleh Doña Cata telah diaduk semalaman untuk menghindari gumpalan. Tugas yang mengeritingkan lidah.

Selagi para wanita minum dan anak-anak bersorak sorai riang, Doña Cata membiarkan senyum di wajahnya melebar. Namun sejenak kemudian dia kembali berkonsentrasi. Ada ribuan cangkir atole lagi yang harus disajikan. Dan hanya beberapa hari lagi sejumlah piñata harus diisi dengan gula-gula untuk Las Posadas, perayaan sembilan hari sebelum Malam Natal. Terpal-terpal baru akan mewarnai kota, dan penduduk Milpa Alta akan kembali menyerahkan diri pada kekuatan makanan, keluarga, dan iman.

---

Victoria Pope adalah mantan deputi editor majalah ini. Carolyn Drake pernah memotret etnik Uygur di Tiongkok untuk National Geographic.

---

Kami berterima kasih pada The Rockefeller Foundation dan para anggota National Geographic Society atas dukungan besar mereka untuk rangkaian artikel ini.