Orang Amerika Pertama

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:54 WIB

Kita dapat melihat wajah penduduk awal Amerika berkat rekonstruksi jasad seorang gadis remaja malang yang tewas terjatuh dalam sebuah gua di Yucatán, sekitar 12.000 sampai 13.000 tahun lalu. Nasib apesnya menjadi berkah bagi ilmu pengetahuan. Kisah penemuannya dimulai pada 2007, ketika tim penyelam Meksiko yang dipimpin Alberto Nava membuat penemuan mengejutkan: gua besar bawah air yang mereka beri nama Hoyo Negro, ‘lubang hitam’. Di dasar lubang itu, cahaya lampu mereka menunjukkan tumpukan tulang prasejarah, termasuk setidak­nya satu kerangka manusia yang nyaris lengkap.

Nava melaporkan penemuan itu ke Instituto Nacional de Antropología e Historia Meksiko, yang kemudian membentuk tim internasional beranggotakan ahli arkeologi dan bidang ilmu lainnya guna meneliti gua tersebut beserta isinya. Kerangka itu—dinamai Naia, dari nama peri air dalam mitologi Yunani—ternyata me­rupakan salah satu jasad tertua yang pernah ditemukan di benua Amerika, dan cukup utuh sehingga dapat dijadikan dasar untuk rekonstruksi wajah. Ahli genetika bahkan ber­hasil mengambil sampel DNA.

Tumpukan tulang tersebut dapat membantu meng­ungkap misteri asal-usul penduduk Ame­rika: Jika pribumi Amerika modern adalah ke­turunan penjelajah Asia yang bermigrasi ke Amerika di akhir zaman es terakhir, mengapa mereka tak mirip dengan moyangnya?

Berdasarkan semua data yang kita peroleh, penduduk awal Amerika merupakan orang yang keras. Penelitian kerangka Paleo-Amerika mengungkapkan bahwa lebih dari setengah lelakinya memiliki luka akibat kekerasan, dan empat dari sepuluh individu mengalami retak atau patah tulang tengkorak. Luka tersebut seperti­nya tidak berasal dari kecelakaan ber­buru, dan tidak pula mirip dengan luka perang. Sepertinya mereka sering kali baku hantam.

Kaum perempuannya tidak mengidap cedera semacam itu, tetapi perawakan mereka jauh lebih kecil daripada lelaki, serta memiliki indikasi kekurangan gizi dan kekerasan dalam rumah tangga.

Bagi arkeolog Jim Chatters, salah satu pemimpin tim peneliti Hoyo Negro, ini semua menunjukkan bahwa penduduk awal Amerika merupakan populasi yang disebutnya “tipe liar belahan utara”: berani dan agresif, lelakinya kelewat maskulin sementara perempuannya kecil dan penurut. Dan inilah, menurutnya, yang menyebabkan wajah penduduk awal benua ini terlihat begitu berbeda dengan pribumi Amerika di kemudian hari. Mereka pelopor yang biasa mengadu nasib, dan lelaki yang terkuat mendapatkan harta dan wanita. Akibatnya, sifat dan ciri mereka yang keraslah yang berkembang, mengalahkan sifat lunak dan jinak yang baru terlihat dalam populasi setelahnya yang lebih mapan.

Naia memiliki wajah khas penduduk awal Amerika serta ciri genetis yang umum ditemui pada pribumi Amerika modern. Ini menandakan bahwa perbedaan penampilan kedua kelompok itu bukan karena populasi awal digantikan oleh kelompok belakangan yang bermigrasi dari Asia, sebagaimana pendapat sebagian ahli antropologi. Namun, mereka terlihat berbeda karena penduduk awal Amerika berubah setelah mereka sampai ke benua itu.

Riset Chatters merupakan salah satu perkembangan menarik. Temuan mutakhir arkeologi, hipotesis baru, dan himpunan data genetika mengungkapkan informasi anyar me­ngenai penduduk awal Amerika serta kemungkinan cara mereka mencapai benua itu. Akan tetapi, penduduk awal benua Amerika masih terbungkus kabut misteri.

!break!

HAMPIR SEPANJANG ABAD KE-20, kita beranggapan bahwa misteri itu telah ter­pecahkan. Pada 1908, seorang koboi di Folsom, New Mexico, menemukan fosil subspesies bison raksasa yang telah punah, yang hidup di daerah itu lebih dari 10.000 tahun lalu. Kemudian, para peneliti di museum menemukan mata tombak di antara tulangnya—bukti nyata bahwa manusia telah mendiami Amerika Utara jauh lebih awal daripada yang diduga sebelumnya. Tak lama kemudian, mata tombak berusia 13.000 tahun ditemukan di dekat Clovis, New Mexico. Benda yang dikenal sebagai “mata Clovis” ini juga ditemukan di puluhan lokasi di Amerika Utara.

Asia dan Amerika Utara terhubung oleh daratan luas, yang disebut Beringia selama zaman es terakhir. Penduduk awal Amerika juga sepertinya kaum pemburu hewan besar yang selalu berpindah. Berdasarkan kedua hal tersebut, mudah untuk menyimpulkan bahwa mereka mengikuti mamut dan hewan buruan lainnya dari Asia, melintasi Beringia, dan kemudian ke selatan melalui celah yang terbuka di antara dua lapisan es besar Kanada. Dan, mengingat bahwa tidak ada bukti yang meyakinkan tentang adanya penduduk Amerika sebelum pemburu Clovis, berkembanglah ortodoksi baru: Pemburu Clovislah yang merupakan penduduk awal Amerika. Beres.

Keadaan berubah pada 1997 ketika sebuah tim arkeolog terpandang mengunjungi situs di Cili selatan yang bernama Monte Verde. Di situs itu Tom Dillehay dari Vanderbilt University mengaku menemukan bukti keberadaan manusia yang berasal lebih dari 14.000 tahun yang lalu—seribu tahun sebelum pemburu Clovis muncul di Amerika Utara. Sebagaimana halnya semua klaim pra-Clovis, klaim yang satu juga menimbulkan kontroversi, bahkan Dillehay dituduh merekayasa artefak dan memalsukan data. Namun, setelah memeriksa bukti yang ada, tim pakar tersebut menyimpulkan bahwa penemuan itu sah.

Bagaimana cara mereka sampai ke Cili sebelum lapisan es di Kanada menyusut sehingga dapat dilalui para pejalan? Apakah mereka datang pada awal Zaman Es, ketika koridor ini belum tertutup es? Atau apakah mereka sampai ke pantai Pasifik dengan perahu, sama seperti cara manusia sampai ke Australia sekitar 50.000 tahun yang lalu?

Dalam 18 tahun sejak penemuan Monte Verde, belum ada yang bisa menjawab per­tanyaan ini. Namun, pertanyaan awal—Apa­kah penduduk Clovis merupakan yang terawal?—telah terjawab berulang kali, seiring ditemukannya beberapa situs di Amerika Utara yang diduga sebagai permukiman pra-Clovis. Salah satu di antaranya, situs Debra L. Friedkin di Texas tengah, bahkan mungkin menjadi lokasi awal tempat tinggal manusia di belahan bumi barat yang dapat dibuktikan.