Membantah Sains

By , Kamis, 26 Februari 2015 | 11:30 WIB

Anggapan bahwa ratusan ilmuwan dari seluruh dunia bekerja sama dalam kebohongan besar sungguh menggelikan—ilmuwan lebih suka saling mematahkan teori sesamanya. Namun, sangat jelas bahwa berbagai organisasi yang sebagian dibiayai oleh industri bahan bakar fosil sengaja berusaha melemahkan pemahaman publik tentang konsensus ilmiah dengan mendukung beberapa orang skeptis.

Media berita memberi perhatian melimpah kepada orang-orang yang negatif seperti itu. Media juga ingin kita percaya bahwa sains dipenuhi penemuan mengejutkan oleh para genius yang berjuang sendirian. Padahal, tidak begitu. Pada kenyataannya (yang membosankan), biasanya ilmu pengetahuan maju perlahan-lahan, melalui pengumpulan data dan wawasan terus-menerus, dihimpun oleh banyak orang selama bertahun-tahun. Demikian pula halnya dengan konsensus tentang perubahan iklim. Konsensus ini tidak akan dapat dipatahkan hanya dengan membaca angka di termometer.

Namun, ulah humas industri, meskipun menyesatkan, belum sepenuhnya menjelaskan mengapa hanya 40 persen orang Amerika, menurut jajak pendapat terbaru dari Pew Research Center, percaya bahwa kegiatan manusia merupakan penyebab dominan pemanasan global.

!break!

“Masalah komunikasi sains,” itulah istilah hambar dari para ilmuwan yang mempelajarinya, telah menghasilkan banyak penelitian baru tentang cara orang memutuskan apa yang dipercaya—dan mengapa mereka begitu sering tidak mau menerima konsensus ilmiah. Bukan karena mereka tak mampu memahaminya, menurut Dan Kahan dari Yale University. Dalam suatu kajian, dia bertanya kepada 1.540 orang Amerika, sampel yang representatif, untuk menilai ancaman perubahan iklim. Lalu, dia mengaitkan jawabannya dengan kemelekan sains para subjek. Dia menemukan bahwa kemelekan sains lebih yang tinggi, berkaitan dengan pendapat yang lebih teguh—di kedua ujung spektrum. Menurut Kahan, itu karena orang cenderung menggunakan pengetahuan ilmiah untuk memperkuat keyakinan yang sudah dibentuk oleh sudut pandang mereka.

Orang Amerika terbagi menjadi dua kubu dasar, kata Kahan. Orang dengan pola pikir yang lebih “egaliter” dan “mengutamakan komunitas” pada umumnya curiga pada industri, dan cenderung menganggap industri sedang mengerjakan sesuatu yang berbahaya, yang perlu diatur oleh pemerintah. Mereka lebih mungkin melihat risiko perubahan iklim. Sebaliknya, orang-orang yang memiliki pola pikir “hierarkis” dan “individualistis” menghormati pemimpin industri dan tidak suka pemerintah mencampuri urusan mereka; mereka cenderung menolak peringatan tentang perubahan iklim, karena mereka tahu konsekuensinya jika menerima—semacam pajak atau peraturan untuk membatasi emisi.

Di Amerika, entah bagaimana, perubahan iklim menjadi alat uji yang mengidentifikasi Anda sebagai anggota salah satu dari dua suku antagonistis ini. Saat kita bertengkar tentang ini, kata Kahan, sebenarnya kita bertengkar tentang jati diri kita, tentang kelompok kita. Bagi seorang individualis hierarkis, menolak ilmu iklim yang sudah terbukti tidaklah menyalahi rasio: Menerimanya tidak akan mengubah dunia, tetapi malah dapat mengakibatkan dirinya terdepak dari sukunya.

Sains merangsang otak rasional kita, tetapi keyakinan kita terutama termotivasi oleh emosi, dan motivasi terbesar kita adalah menjaga hubungan dengan teman. “Kita semua masih seperti remaja,” kata Marcia McNutt. “Orang masih ingin merasa diterima oleh teman, dan keinginan itu begitu kuat sehingga nilai-nilai dan pendapat orang di sekitar kita selalu mengalahkan sains. Dan sains akan terus kalah, terutama jika kerugian akibat mengabaikan sains tidak terlihat jelas.”

Sementara itu, internet semakin memudahkan segala macam skeptis dan peragu iklim untuk menemukan informasi dan pakar yang sepaham. Sekarang sudah tidak zamannya lagi sejumlah kecil lembaga berpengaruh—universitas elite, ensiklopedia, organisasi berita besar, bahkan National Geographic—menjadi penjaga gerbang informasi ilmiah. Internet telah mendemokratisasi informasi, dan ini hal yang baik. Tetapi bersama TV kabel, internet memungkinkan orang hidup dalam “gelembung filter” yang hanya menerima informasi yang sudah kita sepakati.

Bagaimana caranya menembus gelembung itu? Bagaimana cara mengubah pendapat golongan skeptis terhadap iklim? Menyodorkan lebih banyak fakta kepada mereka, tidaklah ada gunanya. Liz Neeley, yang membantu melatih ilmuwan berkomunikasi lebih baik di organisasi bernama Compass, berkata bahwa orang perlu mendengar dari anggota kubu perubahan iklim yang mereka percayai, yang memiliki nilai-nilai dasar yang sama.

!break!

Jika Anda seorang rasionalis, semua hal ini agak melemahkan semangat. Dalam uraian Kahan tentang cara kita menentukan apa yang dipercaya, keputusan kita kadang terkesan tidak penting. Orang-orang dalam bidang komunikasi-sains juga memiliki rasa kesukuan, sama seperti orang lain, katanya. Kita meyakini gagasan ilmiah bukanlah karena telah benar-benar telah memeriksa semua bukti, tetapi karena adanya kedekatan dengan kalangan ilmuwan. Ketika saya menyatakan bahwa saya sepenuhnya menerima evolusi, Kahan berkata, “Percaya pada evolusi sebenarnya gambaran tentang diri Anda. Bukan cara pikir Anda.”

Mungkin memang begitu—tetapi ke­nyata­annya, evolusi memang terjadi. Biologi tak dapat dipahami tanpa evolusi. Sebenarnya tidak ada dua sisi dalam semua topik ini. Perubahan iklim memang sedang terjadi. Vaksin memang menyelamatkan nyawa. Kita harus tahu “sisi” mana yang benar—dan suku sains sudah memiliki rekam jejak panjang yang  berhasil menemukan kebenaran pada akhirnya. Masyarakat modern dibangun di atas kebenaran yang ditemukannya.

Meragukan sains juga memiliki kon­sekuen­si. Orang yang meyakini bahwa vaksin menyebabkan autisme—biasanya berpendidikan tinggi dan berada—sebenarnya sedang melemahkan “kekebalan bersama” terhadap penyakit seperti batuk rejan dan campak. Gerakan antivaksin memiliki banyak pendukung sejak jurnal kedokteran Inggris bergengsi, Lancet, menerbitkan sebuah kajian pada tahun 1998 yang mengaitkan vaksin biasa dengan autisme. Jurnal itu kemudian menarik kajian tersebut, yang telah dipatahkan sepenuhnya. Tetapi, pendapat yang mengaitkan vaksin dan autisme telah didukung oleh pesohor dan diperkuat melalui filter Internet.

Dalam perdebatan iklim, keraguan mungkin menimbulkan dampak global yang berkepanjangan. Di Amerika Serikat, golongan yang skeptis terhadap perubahan iklim telah mencapai tujuan dasar mereka, yaitu meng­hambat tindakan legislatif untuk melawan pe­manasan global.

!break!

Sebagian aktivis lingkungan ingin para ilmuwan lebih terlibat dalam pertempuran kebijakan. Ilmuwan yang melakukan itu harus berhati-hati, kata Liz Neeley. “Setelah melewati garis antara komunikasi sains dan advokasi, sulit sekali mundur lagi,” katanya. Dalam perdebatan soal perubahan iklim, argumen utama golongan skeptis adalah sains yang menyatakan bahwa iklim itu nyata dan ancaman besar sebenarnya diwarnai politik, didorong oleh aktivisme lingkungan dan bukan data nyata. Itu tidak benar, hanya memfitnah ilmuwan yang jujur. Tetapi, tuduhan ini akan terkesan benar jika ilmuwan keluar dari bidang keahliannya dan mulai mendukung kebijakan tertentu.

Justru karena mereka netral, sains menjadi begitu ampuh. Karena sains menyatakan kebenaran sesungguhnya, bukan kebenaran yang kita inginkan. Ilmuwan memang bisa dogmatis seperti orang lain—tetapi mereka mau melepaskan dogma jika ada penelitian baru. Dalam sains, kita tidak berdosa jika berubah pikiran saat dituntut oleh bukti. Bagi sebagian orang, suku lebih penting daripada kebenaran; bagi ilmuwan terbaik, kebenaran lebih penting daripada suku.

Pemikiran ilmiah harus diajarkan, tetapi kadang hal ini tidak diajarkan dengan baik, kata McNutt. Pada akhir pelajaran, banyak murid yang memiliki anggapan bahwa sains adalah kumpulan fakta, bukan metode. Penelitian Shtulman menunjukkan bahwa bahkan banyak mahasiswa tidak perlu paham apa itu bukti. Metode ilmiah bukanlah hal yang naluriah—tetapi kalau dipikirkan, demokrasi juga bukan. Hampir sepanjang sejarah manusia, kedua hal ini tidak ada.

Sekarang kita mengalami perubahan yang sangat cepat, dan kadang itu menakutkan. Tak semuanya berupa kemajuan. Ilmu menjadikan kita suatu organisme dominan, dan kita mengubah seluruh planet. Tentu kita sudah semestinya mempertanyakan beberapa hal yang dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. “Semua orang harus bertanya,” kata McNutt. “Itulah tanda seorang ilmuwan. Tetapi, mereka seyogianya menggunakan metode ilmiah, atau percaya pada orang-orang yang menggunakan metode ilmiah, untuk menentukan jawaban yang mereka yakini.”  Kita harus lebih pandai dalam mencari jawaban, karena jelas pertanyaan yang muncul tidak akan semakin sederhana.

---

Penulis sains Washington Post, Joel Achenbach, telah menulis artikel untuk National Geographic sejak 1998. Artikel terakhir fotografer Richard Barnes pada September 2014 tentang Nero.