Warna-Warni Bunglon

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 14:59 WIB

Dalam hal keanehan anatomi, tidak banyak yang dapat menandingi bunglon. Lidah yang jauh lebih panjang daripada tubuhnya, melesat untuk menangkap serangga dalam sepersekian detik. Mata tajam yang dapat berputar secara terpisah dalam kubah matanya. Kaki dengan jemari menyatu, membentuk capit yang mirip sarung tangan. Cula tumbuh di alis dan moncongnya. Ornamen hidung yang berbintil. Kelepak kulit melingkari lehernya seperti kerah renda bangsawan Eropa.

Dari semua ciri fisiknya, ada satu yang paling khas, tercatat sejak zaman Aristoteles: kulit yang bisa berubah warna. Banyak yang percaya bahwa bunglon bersalin warna sesuai benda yang disentuhnya. Meskipun sebagian perubahan warna memang membantunya membaur dengan lingkungan, perubahan warna kulit ter­nyata merupakan reaksi fisiologis yang fungsi utama­nya adalah komunikasi. Ini cara kelelesa menggunakan bahasa warna, mengungkapkan perasaannya dalam berbagai hal: mencari pasangan, persaingan, tekanan lingkungan.

“Meskipun sudah berabad-abad bunglon menarik perhatian kita, masih banyak misteri yang menyelimutinya,” kata Christopher Anderson, pakar bunglon dan peneliti pasca­doktoral biologi di Brown University.

Baru-baru ini ilmuwan membuat penemuan penting soal fisiologi bunglon dengan mengamati hewan di penangkaran. Sayangnya, masa depannya di alam liar masih tak pasti.

!break!

Dalam daftar merah bunglon yang dikeluarkan International Union for Con­servation of Nature (IUCN) November lalu, setidaknya setengah spesies ini dinyatakan terancam atau hampir terancam. Anderson adalah anggota IUCN Chameleon Specialist Group, sebagaimana halnya ahli biologi Krystal Tolley, penerima hibah National Geo­graphic yang ekspedisinya di Afrika Selatan mendokumentasikan beberapa spesies bunglon baru serta habitatnya yang menyusut.

Di Afrika, kata Tolley, bunglon memiliki dua nama umum. Yang satu verkleurmannetjies, berarti “si kecil warna-warni”. Yang lainnya, trapsuutjies, artinya “jalan hati-hati”. Nama itu mengacu pada cara jalan yang aneh dan lambat—bisa juga dipandang sebagai permohonan melestarikan spesies eksotis ini dan tempat tinggalnya.

Sekitar 40 persen dari 200 lebih spesies bunglon yang diketahui ditemukan di Pulau Madagaskar. Yang lainnya kebanyakan hidup di Afrika benua. Melalui tes DNA, terungkap bahwa beberapa bunglon yang terlihat hampir identik ternyata berbeda secara genetis. Dari semua spesies yang diketahui, lebih dari 20 persennya ditemukan dalam 15 tahun terakhir.

Karena memiliki banyak ciri aneh, bunglon “selalu menarik perhatian para naturalis,” kata Anderson. Karena bunglon biasanya mati dalam perjalanan dari Madagaskar atau Afrika ke laboratorium di Barat, ahli herpetologi zaman dahulu hanya bisa menebak cara hidupnya. Hal ini mengakibatkan munculnya beberapa teori: “Ada yang berpendapat bahwa lidah bunglon bisa terjulur cepat karena terisi udara atau darah, seperti organ tubuh yang bisa ereksi.”

Anderson meneliti proses makan bunglon secara sangat saksama. Dengan menggunakan kamera yang merekam 3.000 gambar per detik, ia mengubah proses bunglon makan jangkrik selama 0,56 detik menjadi 28 detik video pengetahuan soal mekanika pelontaran lidah.

!break!

Di kantong tenggorokan bunglon terdapat tulang lidah terbungkus selubung jaringan kolagen elastis dalam otot pemercepat tubular. Saat bunglon menemukan serangga, dia menjulurkan lidah. Otot berkontraksi, menekan selubung, meluncur keluar laksana pegas. Ujung lidahnya berbentuk sedemikian rupa sehingga menjadi alat tempel biologis untuk menangkap mangsanya. Goyang lidah, perut pun kenyang.

Masih banyak yang belum kita ketahui soal pelontaran lidah, ujar Anderson. Penelitiannya menunjukkan bahwa pada beberapa bunglon, lidahnya dapat bergerak lebih jauh dan lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Pemahaman soal warna bunglon juga berubah dari masa ke masa—dan perubahan besar terjadi awal tahun ini, saat penelitian Michel Milinkovitch diterbitkan. Selama ini ilmuwan berpendapat, bunglon berubah warna saat pigmen sel kulit menyebar di sel yang bersulur seperti bintang laut. Milinkovitch, ahli biofisika dan genetika evolusi, mengatakan bahwa teori itu tak dapat diterima, karena ada banyak bunglon hijau tapi tidak ada pigmen hijau di sel kulitnya.

Milinkovitch dan koleganya di Université de Genève mulai “melakukan penelitian gabungan fisika dan biologi”. Di bawah lapisan sel kulit pigmen, mereka menemukan lapisan sel kulit lain yang mengandung kristal nano yang tersusun membentuk kisi-kisi segitiga.

!break!

Dengan menguji sampel kulit bunglon pada berbagai tekanan dan zat kimia, peneliti mene­mukan, jarak antara kristal ini dapat “disetel”. Perubahan itu memengaruhi warna cahaya yang dipantulkan kisi kristal tersebut. Semakin jauh jarak antara kristal, warna yang dipantulkan bergeser dari biru ke hijau ke kuning ke oranye ke merah—peristiwa yang umum terlihat di antara sebagian bunglon panther saat dia berubah dari santai menjadi gelisah atau berahi.

Nick Henn mendapat bunglon pertama saat berusia tujuh tahun. Dua puluh tahun kemudian ia memiliki 200 ekor bunglon di ruang bawah tanah tokonya di Reading, Pennsylvania.

Deretan kandang kawat diisi tanaman untuk dipanjat dan alas pasir tempat bertelur. Lampu dan pembuat kabut diatur menirukan iklim tempat asal. Agar hewan ini tidak gaduh, Henn menempatkan betina di tempat dia tak bisa melihat jantan, dan jantan di tempat dia tidak dapat melihat betina—atau jantan saingannya.

Ember, bunglon panther jantan muda, adalah varietas asal distrik Ambilobe di Madagaskar utara, biasa disebut “garis merah”. Tubuhnya memiliki belang merah dan hijau serta garis biru muda memanjang di kedua sisi. Saat Henn membuka kandang Ember dan menyuruhnya naik ke tongkat panjang, dia terlihat “mendongkol”, yang diketahui Henn dari garis merahnya yang menjadi sedikit lebih terang.

!break!

Henn membawa Ember dengan tongkat ke kandang yang dihuni Bolt, bunglon panther jantan dewasa dari jenis “garis biru” dan yang terbesar dalam koleksi Henn. Ketika Henn membuka pintu, dan Bolt melihat Ember, tanggapannya langsung terlihat. Saat Bolt maju beberapa sentimeter, garis hijaunya berubah menjadi kuning menyala, sementara kelopak mata, tenggorokan, dan tulang belakang berdurinya berubah dari hijau menjadi oranye merah. Ember menjadi lebih merah—tetapi dalam hal penampilan, Bolt jauh lebih flamboyan. Selain itu, saat Bolt merayap mendekat, mulutnya menganga lebar, memperlihatkan gusinya yang kuning terang.

Henn mundur dan mengembalikan Ember ke kandangnya. Kalau tidak, katanya, Bolt mungkin akan menyeruduk atau menggigit Ember, yang kulitnya hampir pasti akan berubah menjadi cokelat­­—pertanda takluk. (Penelitian 2014 menyimpulkan bahwa bunglon mengembangkan kemampuan tunduk dengan menyuramkan warna karena “gerakan yang lambat sangat membatasi kemampuannya untuk kabur secara cepat dan aman dari individu dominan.”)

Meskipun semua bunglon dapat berubah warna, beberapa spesies tidak berubah cukup drastis dalam waktu cepat. Namun, hampir semua bunglon memiliki teknik lain untuk intimidasi fisik: Hewan ini dapat membuat dirinya terlihat lebih besar. Dia memipihkan dan meninggikan tubuhnya dengan menguncupkan rusuk berbentuk V-nya yang bersendi untuk menaikkan tulang belakangnya. Hewan ini juga dapat memperbesar sosoknya dengan melingkarkan ekornya erat-erat dan menggunakan organ lidahnya untuk menggembungkan tenggorokannya. Dengan menggembungkan leher, bunglon terlihat jauh lebih besar di mata lawannya.

Di kandang tempat Henn memelihara bunglon betina, ada satu yang diberi nama Katy Perry—berwarna merah salem menandakan siap kawin—bersebelahan dengan Peanut, beti­na merah muda bergaris gelap yang menunjukkan dia sudah kawin dan hamil, siap bertelur. Jika ada jantan yang warna dan joget lambatnya menarik hatinya, Katy mungkin membiarkan sang jantan me­ngawininya. Namun, jika jantan itu mendekati Peanut, betina itu akan menjadi sangat gelap dengan bintik-bintik terang dan membuka mulutnya, mengancam. Jika sang jantan tak mundur, Peanut akan mendesis atau menggigitnya.

!break!

Baik bunglon jantan maupun betina melakukan poligami. Kebanyakan berkembang biak dengan bertelur, tetapi ada pula yang melahirkan anaknya di kantong mirip kepompong transparan.

Untuk menghindari ancaman burung dan ular, bunglon menciptakan berbagai cara bersembunyi baru. Kebanyakan spesiesnya tinggal di pohon; dengan memipihkan tubuh, dia bersembunyi di balik ranting. Jika bunglon yang tinggal di tanah melihat pemangsa, menurut Tolley, ada yang “berpura-pura menjadi daun.”

Bunglon dapat bersembunyi dari banyak ancaman, tetapi tidak dari per­tanian tebang-bakar yang meng­hancur­kan habitatnya. IUCN menyatakan sembilan spesies bunglon berstatus kritis, 37 genting, 20 rentan, dan 35 spesies lainnya hampir terancam.

Tolley dan timnya telah mengidentifikasi 11 spesies bunglon baru sejak 2006, di Afrika Selatan, Mozambik, Tanzania, dan Republik Demokratik Kongo. Profesor kelahiran Massachusetts ini meneliti bung­lon di Afrika sejak 2001 dan kini bekerja di South African National Biodiversity Institute di Cape Town. Ketika kajian genetis mengonfirmasi bahwa suatu bunglon memang spesies baru, “rasanya kami bukan sekadar menulis makalah ilmiah yang tak akan dibaca,” kata Tolley. “Kami benar-benar menghasilkan sesuatu yang akan dikenang orang.”

Namun, pada kalimat berikutnya dia mencatat situasi mengenaskan. “Saya terus terbayang, bunglon-bunglon kecil menempel di cabang saat hutan dibabat.”

Saat menggambarkannya, suaranya tercekat. “Kadang saya terpikir, mungkin lebih baik andai kita tidak pernah me­nemukan spesies baru tersebut,” katanya. “Karena kalau terus begini, bunglon akan segera punah.”

---

Christian Ziegler tinggal di Panama, kuliah di bidang ekologi tropis. Fotonya tentang sejarah alam, konservasi, dan sains memperoleh penghargaan World Press Photo dan lain-lain.