Urat Nadi Kehidupan

By , Rabu, 30 September 2015 | 14:32 WIB

Fajar belum terbit, tetapi batu bara sudah dinyalakan dan beberapa penumpang perempuan menggoreng donat. Penumpang lain telah bangun dari kasur busanya dan mulai menghamparkan barang dagangan: sabun, baterai, ramuan herbal, sepatu, wiski tengik. Tak lama kemudian, para pengunjung dari balik semak mendayung sampan dan memanjat tongkang, membawa barang dagangannya sendiri untuk ditukar: pisang, ikan lele, ikan mas, ular boa, babun, bebek, buaya.

Pasar apung ini berlangsung sepanjang hari, dengan sekitar selusin sampan mendekati kapal pada saat yang bersamaan. Tak lama kemudian, jelas bagi kami bahwa interaksi ini benar-benar saling menguntungkan dan kedua pihak saling memerlukan. Jika pasar ini tidak ada, para penumpang tidak akan makan dan penduduk desa tidak memiliki obat untuk bayi yang terserang demam atau panci baru untuk menggantikan panci yang sudah berkarat.

Sang pengkhotbah, Simon, menjual celana jin dan kemeja bekas. Dia bepergian ke sebuah gereja di Lisala, tempat kelahiran mantan ditaktor Mobutu Sese Seko. “Di masa Mobutu, saya bisa memiliki ruangan yang bagus untuk saya sendiri,” keluhnya, membicarakan tongkang—tetapi mungkin juga merujuk ke kekacauan yang terjadi di bawah pimpinan presiden RDK saat ini, Joseph Kabila. “Sulit menikmati kondisi ini. Yang bisa kami lakukan adalah berdoa dan menitipkan perjalanan ini ke tangan Tuhan.”

Simon mengajak seorang teman, pria berbahu lebar bernama Celestin yang memiliki perkebunan karet dan kelapa sawit di Binga, desa di sisi Sungai Mongala. “Saya semalam bermimpi dua orang asing datang mengunjungi perkebunan saya,” kata Celestin. “Jadi, mungkin Tuhan mengirim Anda!”

Kami membalas senyumannya dan menggumamkan ucapan terima kasih atas undangannya. Namun, kami tidak menjanjikan apa pun. Hal pertama yang Anda pelajari ketika berada di Sungai Kongo adalah tidak ada yang bisa diatur, apalagi kecepatan. Sungai cukup dangkal, kapal berat oleh muatan, kapten menenggak wiski Kongo dari botolnya, sang pemilik kembali menekuni Alkitabnya. Di tempat ini keberuntungan dapat berubah dalam sekejap mata.

 !break!

Sungai ini menghubungkan sembilan negara Afrika di sepanjang bantarannya yang mengular sekitar 4.700 kilometer menuju Samudra Atlantik. Namun, identitasnya tidak terlepas dari Republik Demokratik Kongo.

“Sungai Kongo adalah tulang punggung negara kami,” kata Isidorus Ndaywel è Nziem, profesor sejarah di Universitas Kinshasa. “Tanpa tulang belakang, manusia tidak bisa berdiri.” Jika dilihat seperti itu, alur sungai tersebut terlihat bagaikan sosok petani yang gigih, tetapi sangat bongkok. Tidak adanya hukum yang berlaku di sungai ini menyebabkan derajat semua orang setara di Sungai Kongo. Hal ini juga sangat mengurangi nilai sungai sebagai sumber daya. Mengingat potensi tenaga air untuk pembangkit listrik dan pertanian seluas 3,9 juta kilometer persegi ini, seluruh benua Afrika sesungguhnya dapat bergantung padanya dan, dengan demikian, pada RDK. Namun, sungai ini dibiarkan liar dan RDK terhuyung-huyung dibebani populasi yang terus membengkak, kemiskinan, pelanggaran hukum, dan korupsi.

Sungai dan anak-anak sungainya ini telah menjadi jalur migrasi manusia dengan sejarah yang dapat dilacak hingga zaman pemukiman berbahasa Bantu pada tahun 400 SM. Untuk RDK di zaman sekarang, sungai ini berfungsi sebagai jaringan transportasi utama antara sejumlah pedesaan, kota, laut, dan dunia luar. Namun, fakta tersebut tidak sepenuhnya mengungkap betapa pentingnya sungai ini. Fakta bahwa Sungai Kongo sudah lama dipandang lebih dari sekadar sungai dengan volume air yang dahsyat, dan kenyataan bahwa sungai ini mungkin mengandung berlian atau mineral lain, sudah menjadi catatan sejarah.

Pada 1885, Raja Leopold II dari Belgia menjajah Negara Merdeka Kongo, negara yang berukuran hampir 80 kali negaranya sendiri, tanpa memedulikan semua biaya dan hak asasi manusia dalam misinya untuk mengeksploitasi perdagangan karet di lembah sungai itu. Novel klasik karya Joseph Conrad pada 1902, Heart of Darkness, mengisahkan kerakusan pedagang gading negara Barat yang menjarah lembah sungai kelam itu. Lebih dari satu abad kemudian, Kongo dalam bayangan kita masih belum berubah. Selama beberapa dekade, Office National des Transports milik pemerintah, atau ONATRA, memonopoli semua lalu lintas dan perdagangan sungai. Hal itu berubah pada 1990-an, di akhir masa kekuasaan rezim Mobutu. Sebagai pejabat tinggi ONATRA, Sylvestre Many Transer Naga Hamany mengakui, “Mesin kapal kami semakin tua dan sering rusak, menyebabkan penundaan yang lama dan hilangnya kredibilitas kami.”

Akibatnya, kata Thierry André Mayele dari otoritas manajemen sungai Regie des Voies Fluviales (RVF), “Politisi kami memutuskan untuk meliberalisasi navigasi sungai, terutama agar mereka sendiri dapat memperoleh keuntungan dari bisnis ini.”

Para pejabat Kongo menerbitkan peraturan dan hukum perpajakan yang dapat dielakkan dengan mudah. Gaji yang mereka bayarkan kepada komisaris pelabuhan sangat kecil sehingga penyuapan dan pemerasan merajalela. Mereka mencegah aliran sumber daya alam ke ONATRA, RVF, dan otoritas sungai lainnya. Hal itu masih terus terjadi hingga kini. Pemerintah memastikan bahwa harta karun alam terbesar RDK tidak dikelola dengan baik.