Denali

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 09:00 WIB

Jagawana di sini menyebut musim sibuk—dari Juni sampai awal September, saat Taman Nasional dan Cagar Alam Denali menerima sebagian besar dari 500.000 pengunjung tahunannya—sebagai “seratus hari kekacauan”. Memang, pagi pada pertengahan musim panas di Wilderness Access Center yang terletak di pangkal Park Road sepanjang 148 kilometer nan kondang itu, suasananya mirip terminal bus. Pengeras suara mengumumkan waktu naik ke bus, dan antrean pengunjung dari berbagai negara memadati loket karcis.

Sebagian besar pengunjung Denali adalah penumpang kapal pesiar yang umumnya melihat taman dan berbagai margasatwanya cukup dari bus. “Namun, jika Anda tidak suka keramaian, itu soal gampang,” kata jagawana Sarah Hayes. “Taman ini luasnya sekitar 2,4 juta hektare, sebagian besar tanpa akses jalan, tempat binatang liar berkeliaran tak terganggu. Dan itu terbuka bagi siapa saja, tinggal turun dari bus.”

Saat bus mulai berangkat, penumpang dalam setengah lusin bahasa, riuh membahas margasatwa yang akan dilihatnya. Saya menanyai beberapa penumpang soal hewan yang ingin dilihat. “Moose!” “Beruang cokelat!” “Karibu!” “Serigala!”

Melewati kilometer 24, jalan berubah menjadi jalan tanah dan kepadatan mobil pun berkurang. Beberapa kilometer kemudian pepohonan pun menghilang. Saat puncak Pegunungan Alaska mulai tampak di kejauhan, terasalah betapa besarnya kawasan alami ini. Sopir melambatkan kendaraan.

“Sudah dua minggu tidak terlihat. Namun, rasanya hari ini kita beruntung...” Saat gunung yang menjulang tinggi muncul di balik kabut, terdengar banyak yang berteriak, “Denali!”

Dengan ketinggian 6.190 meter di atas permukaan laut, puncak tertinggi di Amerika Utara itu merupakan pemandangan menakjubkan, meskipun saat cuaca hangat, lerengnya se­ring terbungkus awan. Gunung ini adalah bagian penting legenda dan pengetahuan orang Athabaskan yang memberinya nama Denali, berarti Nan Tinggi. Pada 1896 pencari emas William Dickey menamainya McKinley untuk menghormati politikus Ohio William McKinley, presiden ke-25 negara itu. Musim panas lalu, Pemerintahan Obama menggunakan kekuasaan eksekutif untuk mengembalikan nama aslinya.

Gunung Denali, beruang cokelat, dan serigala merupakan tiga alasan utama orang berkunjung ke taman nasional ini. Sampai 2010, pengunjung lebih mungkin melihat serigala di alam liar daripada melihat Denali, yang hanya terlihat tiga hari sekali selama musim panas. Sayangnya sejak 2010 jumlah penampakan serigala menurun drastis. Ahli biologi taman melaporkan bahwa jumlah serigala di dalam taman itu anjlok dari lebih dari 100 ekor satu dekade lalu hingga kurang dari 50 ekor tahun lalu. Salah satu alasan saya datang ke Denali adalah untuk mengetahui penyebabnya.

“Tak mungkin suhu di bawah sana minus 34 derajat Celsius,” kata pilot Dennis Miller, saat pesawat ski kami mengangkasa dari lapangan terbang bersalju di kantor pusat taman. Saya yang terbungkus pakaian dan berimpitan di belakangnya, dalam kokpit kecil itu, menyaksikan Miller menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rasanya tidak mungkin bisa sehangat itu sepanjang hari ini,” katanya.

Beberapa menit kemudian headphone kiri berbunyi, saat antena di sisi kiri pesawat menangkap sinyal dari serigala berkalung-radio pertama kami hari itu. Miller membelokkan pesawat dan bunyi itu kini terdengar seimbang, kiri dan kanan. Bunyinya menjadi lebih keras saat kami melintasi batas taman dan terbang di atas koridor Stampede, celah yang melintasi tanah negara bagian, wilayah khusus, dan lahan pribadi yang dikenal sebagai Wolf Township.

“Itu kemungkinan betina kawanan East Fork,” kata Miller. “November lalu kami menghitung setidaknya ada 15 serigala. Tetapi kami menemukan jantan berkalung, yang mati dua minggu lalu, pada tanggal enam Maret. Sejak itu hanya terlihat satu jejak.”

Dengan mengikuti sinyal itu, Miller turun dan terbang zig-zag melalui lembah sungai tempat jejak serigala tunggal itu menghilang di antara pepohonan. Dia memiringkan pesawat ke kiri dan memandang ke bawah. “Saya hanya akan terbang melintas sekali,” katanya, sambil menambah kemiringan pesawat dan mengawasi permukaan di bawahnya. “Jika warga sini melihat pesawat saya berputar-putar, mereka akan keluar dan mencari serigala yang hendak saya temukan dan menembaknya.”

Empat hari sebelumnya saya terbang bersama Miller dan tim ahli biologi National Park Service, yang mengalihkan fokusnya pada serigala di bulan Maret. Setiap kali mereka menemukan serigala di dalam taman yang hendak dipasangi kalung radio, mereka memanggil tim helikopter untuk membiusnya. Setelah hewan itu terbius, ahli biologi memasang kalungnya. Mereka juga mengambil sampel darah dan bulu, berharap dapat menambah pengetahuan kita mengenai kesehatan, perilaku, dan genetika salah satu hewan yang paling disalahpahami di dunia ini.

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari rintisan ahli ekologi Adolph Murie, salah satu ilmuwan pertama yang meneliti serigala Denali di alam liar. Pada 1939, ketika Murie melakukan ekspedisi perdananya ke Taman Nasional Gunung McKinley, demikian sebutannya saat itu, serigala dianggap hama, dan jagawana Park Service biasa melakukan tembak di tempat. Penelitian Murie menunjukkan bahwa serigala dan predator puncak lainnya memegang peran penting dalam habitat yang sehat, dan menurutnya pengelola taman harus melindungi seluruh ekosistem alih-alih spesies tertentu saja.