Melihat Cahaya

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 09:00 WIB

Dia membuat simulasi yang diawali dengan sepetak kecil sel berpigmen peka-cahaya yang datar. Dengan setiap generasi yang berusia setahun, petak itu menebal sedikit. Perla­han melengkung menjadi mangkuk. Memperoleh lensa kasar yang berangsur-angsur semakin baik. Dalam kondisi paling pesimistis, dengan perbaikan mata 0,005 persen per gene­rasi, hanya diperlukan 364.000 tahun bagi lembar sederhana itu menjadi organ mirip-kamera berfungsi penuh. Dalam kerangka evolusi, itu sekejap mata.

Namun, mata sederhana sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai batu lompatan. Semua mata yang ada zaman sekarang ini sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Mata bintang laut—satu di ujung setiap lengan—tidak bisa melihat warna, detail halus, atau benda bergerak cepat; mata seperti ini bisa membuat elang menabrak pohon. Namun, bintang laut toh tak perlu melihat dan menyambar kelinci yang berlari. Hewan itu hanya perlu mencari terumbu karang—bongkah besar yang tak bergerak di lanskap—agar bisa beringsut pulang. Matanya mampu melakukan itu; tidak perlu berevolusi menjadi lebih baik.

“Evolusi mata tidak berlangsung dari buruk ke sempurna,” kata Nilsson. “Evolusinya dimulai dari melakukan beberapa tugas sederhana dengan sempurna ke melakukan banyak tugas rumit dengan unggul.”

Beberapa tahun lalu dia mengabadikan konsep ini dalam suatu model yang menunjukkan perjalanan evolusi mata dalam empat tahap, masing-masing bukan didefinisikan oleh struktur fisik, melainkan oleh hal-hal yang dapat dilakukan hewan dengan keberadaannya. Tahap pertama melibatkan pemantauan intensitas cahaya sekitar, untuk mengetahui waktu siang atau malam, atau kedalaman hewan di air. Tidak perlu mata sejati untuk ini; cukup satu fotoreseptor. Hydra, kerabat ubur-ubur berukuran kecil, tidak punya mata, tetapi memiliki fotoreseptor pada tubuhnya. Todd Oakley dan David Plachetzki dari University of California, Santa Barbara, menunjukkan bahwa reseptor ini mengendalikan sel penyengat hydra, agar lebih mudah diaktifkan dalam gelap. Mungkin, dengan demikian, makhluk ini dapat beraksi terhadap bayangan korban yang lewat atau mencadangkan sengatan untuk malam hari saja, saat mangsa lebih banyak.

Dalam tahap kedua pada model Nilsson, hewan dapat membedakan arah datangnya cahaya, karena fotoreseptornya sudah memiliki perisai—biasanya pigmen gelap—yang menghalangi cahaya dari arah tertentu. Reseptor seperti ini memberi pemiliknya pemandangan satu piksel—belum cukup untuk disebut penglihatan sejati, tetapi cukup untuk mendekati sumber cahaya atau menjauhinya ke tempat perlindungan yang gelap.

Pada tahap ketiga, fotoreseptor berperisai itu mengelompok, masing-masing menghadap ke arah agak berbeda. Kini pemiliknya bisa menggabungkan informasi cahaya yang berasal dari beberapa arah, menghasilkan gambaran tentang dunianya. Ini menandai tahap ketika deteksi cahaya menjadi penglihatan sejati dan ketika kumpulan fotoreseptor menjadi mata sungguhan. Hewan dengan mata tahap tiga dapat menemukan tempat tinggal yang pantas, seperti bintang laut, atau menghindari rintangan, seperti ubur-ubur kotak.

Pada tahap empatlah evolusi mata—dan pemiliknya—benar-benar melesat. Dengan penambahan lensa untuk memfokuskan cahaya, penglihatan menjadi tajam dan mendetail. “Ketika sampai ke tahap empat, daftar kemampuan pun tak terbatas,” kata Nilsson. Mungkin fleksibilitas inilah salah satu bunga api yang menyulut ledakan Kambrium. Tiba-tiba persaingan antara pemangsa dan mangsa, yang sebelumnya terbatas pada mengendus, mencicip, dan meraba pada jarak dekat, dapat terjadi pada jarak jauh. Lomba senjata pun dimulai, dan hewan menanggapinya dengan menjadi lebih besar,  lebih lincah, dan berevolusi membentuk cangkang, duri, dan zirah perlindungan.

Ketika hewan berevolusi, demikian pula matanya. Semua struktur visual dasar yang ada sekarang sudah muncul pada periode Kambrium, tetapi telah berkembang dalam beraneka ragam cara. Pada lalat capung jantan, seolah ada mata majemuk besar yang menempel di atas mata majemuk lain yang lebih kecil,  khusus untuk memandangi langit guna mencari siluet betina yang terbang. Ikan bermata empat (nama yang pas) membagi kedua mata kameranya menjadi dua, sehingga setengah berada di atas permukaan air dan mengamati langit sementara setengah lagi mewaspadai ancaman dan mangsa di dalam air. Mata manusia cukup cepat, mahir mendeteksi kontras, dan resolusinya hanya kalah dari burung pemangsa—mata serbaguna yang bagus bagi makhluk yang paling multifungsi.

Bukannya rintangan bagi teori seleksi alam, evolusi mata yang kompleks adalah salah satu contoh seleksi alam terhebat. “Ada keagungan dalam teori kehidupan ini,” tulis Darwin pada akhir karya besarnya. Berkat mata tahap empatnya itulah, ia dapat melihat keagungan itu. 

!break!

Model Nilsson memberi penjelasan baru dalam perdebatan lama: apakah mata berevolusi satu kali atau berkali-kali. Ahli biologi evolusi Jerman legendaris, Ernst Mayr, menyatakan bahwa mata memiliki antara 40 dan 65 asal-usul yang terpisah-pisah, karena bentuknya begitu berbeda-beda. Mendiang Walter Gehring, ahli biologi perkembangan Swiss, berargumen bahwa mata berevolusi hanya sekali, setelah dia menemukan bahwa gen induk yang sama—dinamai Pax6—mengendalikan perkembangan mata pada hampir setiap makhluk yang bermata. Mereka berdua benar. Mata tahap-tiga sejati memang hasil evolusi dari pendahulunya, mata tahap-dua yang sederhana, melalui beberapa jalur. Misalnya, mata ubur-ubur kotak berkembang di jalur terpisah dengan moluska, vertebrata, dan artropoda. Namun, mata semua organisme itu adalah pengembangan dari detektor cahaya tahap-satu dasar.

Kita tahu ini karena semua mata terbuat dari unsur penyusun yang sama. Semua mata melihat dengan protein yang bernama opsin—dasar molekul bagi semua mata. Opsin bekerja dengan mengikat kromofor, molekul yang dapat menyerap energi dari foton yang datang. Energi itu langsung memicu kromofor berubah bentuk, memaksa mitra opsin-nya berubah bentuk pula. Perubahan ini memicu serangkaian reaksi kimia yang akhirnya menghasilkan sinyal listrik.

Ada ribuan macam opsin, tetapi semuanya berkerabat. Beberapa tahun yang lalu, Megan Porter, kini di University of Hawaii at Manoa, membandingkan urutan hampir 900 gen, kode untuk protein opsin dari seluruh kerajaan hewan, dan mengonfirmasi bahwa semuanya memiliki satu leluhur. Semuanya muncul satu kali, lalu terjadi diversifikasi yang membentuk satu pohon keluarga raksasa.