Hiu Kapal Karam

By , Rabu, 27 Juli 2016 | 14:00 WIB

Saat film dokumenter Blue Water, White Death diputar di bioskop AS pada 1971, adegan hiu putih yang menabrak kandang selam mendadak populer. Namun, 45 tahun kemudian, yang paling menarik perhatian adalah adegan hiu whitetip atau hiu koboi mengerubungi bangkai paus di lepas pantai Afrika Selatan.

Ada dua alasan peristiwa ini dianggap istimewa: pertama, karena para penyelam meninggalkan perlindungan kandang untuk mengabadikan hiu dengan film—diyakini inilah pertama kalinya ada orang yang melakukan teknik ini di tengah hiu yang sedang makan. Alasan kedua, karena adegan itu mungkin tidak dapat diulangi. “Kami tidak dapat menghitung jumlahnya, hiunya banyak sekali,” kata Valerie Taylor, salah satu penyelam. “Tidak akan ada lagi adegan seperti ini—tidak selama masa hidup saya. Entah nanti di masa depan, tetapi rasanya kecil kemungkinannya.”

Dahulu hiu koboi dianggap salah satu hiu pelagis (laut lepas) yang paling banyak. Sebuah buku babon terbitan 1969, The Natural History of Sharks, bahkan menyebutnya “mungkin hewan besar yang paling melimpah di muka bumi, dengan berat masing-masing lebih dari 45 kilogram.” Hiu ini kini hampir punah karena penangkapan ikan komersial dan perdagangan sirip hiu—tetapi kalangan ilmuwan tidak terlalu memberi perhatian, apalagi masyarakat umum.

“Kita benar-benar menghabisi spesies ini dalam skala global,” kata Demian Chapman, salah satu dari sedikit ilmuwan yang meneliti hiu. “Ironisnya, saat saya menyebut ‘hiu koboi’, tidak banyak orang yang tahu yang saya bicarakan.”

Jika Anda pernah menonton Jaws, pasti kenal hiu koboi ini. Spesies hiu inilah yang mungkin paling banyak menyerang awak kapal U.S.S. Indianapolis yang ditenggelamkan kapal selam Jepang menjelang akhir Perang Dunia II—peristiwa yang dikenal generasi sekarang karena monolog Kapten Quint tentang pengalamannya terkatung-katung di laut. Semua terangkum dalam kalimat terakhirnya: “Seribu seratus orang masuk ke air, 316 selamat, sisanya dimakan hiu.”

Masalahnya, dalam cerita Quint tersebut, meskipun faktanya cukup mendekati, cerita itu tidak menggambarkan pengalaman para awak kapal tersebut. Fakta berikut memang benar: Dari hampir 1.200 awak kapal Indianapolis, sekitar 900 berhasil terjun ke laut, dan sebagian besar dari mereka tewas akibat penderitaan lima hari selanjutnya. Hanya 317 yang selamat. Memang ada hiu—banyak jumlahnya—dan terjadi serangan hiu yang mengerikan.

Akan tetapi, ketika saya menanyai Cleatus Lebow, 92, yang menjadi awak di Indianapolis, apa hal tersulit selama terombang-ambing di lautan, bahkan sebelum saya selesai bertanya dia sudah menjawab, “Rasa haus. Saya rela memberikan apa saja demi secangkir air.” Bagaimana dengan hiu? “Terkadang ada hiu yang berenang di sekitar kami, tetapi tidak mengganggu.” Lyle Umenhoffer, 92, berkata kepada saya, “Kami harus waspada ketika ada hiu, dan jika terlalu dekat, kami menendangnya agar menjauh. Namun, rasanya saya tidak benar-benar takut pada hewan itu. Kami punya masalah lain.”

Harus dicatat bahwa saat mereka dise-lamatkan, para korban itu tersebar di area seluas lebih dari 250 kilometer persegi, dan pengalaman mereka beragam. Dan kita juga harus ingat bahwa awak yang tewas mungkin memiliki kisah yang berbeda. Namun, tidak seorang pun di antara orang yang saya ajak bicara pada reuni penyintas musim panas lalu—14 dari 31 korban yang masih hidup dapat hadir, dan saya mewawancarai sebagian besar dari mereka—yang mengkhawatirkan hiu selama masa penuh penderitaan itu. Secara teknis, Quint benar bahwa “sisanya”—yaitu orang yang tewas di laut— dimakan hiu, tetapi kebanyakan dari mereka sebetulnya meninggal karena penyebab lain: cedera, hipotermia, tenggelam, dehidrasi, dan keracunan air laut. “Saya melihat ada yang mati dimakan hiu—ada beberapa,” kata korban selamat Dick Thelen, 89. Namun, dia melihat dua atau tiga kali lipat orang yang mati akibat minum air laut. Dalam kata salah seorang peserta reuni itu kepada saya, “Quint tidak menyebut apa-apa soal haus.”

Sangat penting untuk meluruskan fakta karena penggambaran hiu koboi sebagai pembunuh rakus—dan karenanya tidak pantas dilindungi—mungkin berdampak buruk bagi spesies ini. Di darat, efek hilangnya predator dominan sudah dipahami: malapetaka ekologi.

Apa dampak hampir lenyapnya hiu koboi terhadap ekosistem laut tempat hewan ini dahulu berperan penting? Belum ada yang tahu sama sekali. Demikian sedikit penelitian yang dilakukan mengenai spesies ini sehingga untuk memahami riwayat penurunan populasinya pun—apalagi dampak penurunannya terhadap spesies lain—terasa seperti menyusun permainan bongkar pasang yang kurang kepingnya. Dan, jika kita salah mengira hiu ini sebagai penjahat, maka kita tidak akan merasakan urgensi untuk menemukan keping yang kurang tersebut. Jika kapal Indianapolis tenggelam pada masa sekarang, hampir dapat dipastikan bahwa awaknya tidak akan dirubung oleh kawanan hiu koboi.

perintis penyelaman scuba Jacques Cousteau pernah menyebut hiu koboi sebagai “hiu yang paling berbahaya”, tetapi penyelam yang sering berinteraksi dengan hiu cenderung memiliki penilaian yang berbeda. Stan Waterman, penyelam lain dari ekspedisi Blue Water, White Death, mengatakan bahwa penyelaman itu unik sebagian karena mereka akhirnya melihat perilaku hiu koboi yang sebenarnya, alih-alih yang selama ini kita bayangkan. “Itu adalah pengalaman belajar yang besar,” katanya, “karena kami tidak yakin apa yang akan terjadi ketika kami keluar dari kandang.”

Mereka menemukan hal yang sama dengan yang banyak dilaporkan korban Indianapolis: Hiu koboi tidak takut mendekati dan menubruk manusia, tetapi jika kita tetap berkelompok dan mengusirnya, hiu itu tidak akan menyerang. “Kami diperiksa ratusan kali,” kata Valerie Taylor, “dan akhirnya kawanan hiu itu memutuskan bahwa kami tidak menarik, lalu pergi.”

Dengan panjang dua setengah sampai empat meter saat dewasa, hiu koboi tentu cukup berbahaya, dan hewan ini berani serta gigih. Laut lepas merupakan gurun ekologi, dan hiu koboi beradaptasi untuk menghabiskan energi sekecil mungkin untuk menjelajahinya, dan waktu sebanyak mungkin untuk menyelidiki temuannya yang mungkin bisa dimakan. Jadi hiu ini meluncur di air dengan sirip dada panjang yang mirip sayap. Ketika menemukan potensi sumber makanan—pelaut yang panik di sekitar kapal karam, ikan paus mati, kawanan tuna—dia memeriksanya dengan sungguh-sungguh. Jika Anda satu-satunya makanan di situ, hiu koboi sangat berbahaya. Jika tidak, paling hanya menimbulkan rasa takut.