Pendekar Delapan Tangan

By , Jumat, 18 November 2016 | 13:45 WIB

Anda sedang duduk di dasar laut, di lepas pantai Pulau Lembeh, Indonesia. Lautnya tidak dalam—hanya sekitar lima meter—dan bermandi cahaya. Seperti yang dibayangkan orang tentang tempat tropis, airnya hangat. Di sekeliling Anda terlihat pasir halus berwarna hitam kelabu yang bergelombang, di beberapa tempat tertutup oleh lapisan kehijauan. Saat Anda menjelajah, terlihat ada kulit kerang. Cangkang keras itu memiliki enam duri besar. Mungkin pembuatnya masih ada di dalam. Atau mungkin pembuatnya sudah lama mati, dan cangkang itu kini dihuni umang-umang. Penasaran, Anda membalik cangkang itu. Terlihat deretan pengisap. Sepasang mata.

Seekor gurita. Tepatnya Amphioctopus marginatus yang juga dikenal sebagai gurita kelapa. Nama ini berasal dari kebiasaannya bersembunyi di tempurung kelapa (kadang kala hewan ini bahkan memilih batok dan membawanya). Sebenarnya, cangkang besar mana pun bisa digunakan—seperti sangka keong.

Dengan menggunakan pengisapnya, gurita ini bisa menutupkan kedua keping cangkang kerang. Saat Anda tengah mengamati, sang gurita melepas cangkangnya dan beringsut naik. Sepertinya dia tengah mengawasi situasi. Anda diam mematung. Setelah beberapa saat, sang gurita keluar dari cangkang tersebut. Badannya seukuran jempol, panjang lengannya sekitar tiga kalinya. Saat bergerak ke pasir, warnanya berubah kelabu tua. Dia mengulurkan beberapa lengannya ke atas pasir, sisanya di dalam cangkang. Dengan sekali angkat, dia membalik cangkang itu dan kembali masuk ke cangkang.

Anda memutuskan untuk pergi, tetapi tiba-tiba melihat gerakan kecil. Hewan itu menyemburkan air, membersihkan cangkang dari pasir. Sekarang ada celah kecil antara cangkang dan dasar laut. Di celah itu, sepasang mata kembali mengintai. Anda mendekatkan masker selam, dan untuk sesaat, beradu pandang. Di antara semua invertebrata—hewan tidak bertulang belakang—gurita yang paling mirip dengan manusia. Sebagian karena cara hewan ini menatap kita, seolah-olah sedang mengamati dengan teliti. Ini juga membedakannya dari banyak vertebrata: Kebanyakan ikan tidak memelototi manusia. Sebab lainnya adalah ketangkasannya. Kedelapan lengannya dilengkapi ratusan pengisap; sehingga dia mampu mengerjakan berbagai hal, dari membuka cangkang kerang, membongkar filter tangki akuarium, hingga membuka tutup stoples. Ini membedakannya dari mamalia seperti lumba-lumba, yang, meskipun dikenal cerdas, dibatasi oleh anatominya.

Pada saat bersamaan, gurita sama anehnya dengan sosok makhluk asing yang dapat kita bayangkan. Misalnya, hewan ini memiliki tiga jantung dan berdarah biru. Ketika merasa terancam, dia dapat menyemprotkan cairan tinta dan meluncur ke arah lain. Gurita tidak bertulang. Satu-satunya bagian keras pada tubuhnya adalah paruh mirip beo dan tulang rawan di sekeliling otaknya. Ini memudahkannya menyelinap di antara celah kecil—kemampuan yang membuatnya dapat meloloskan diri, seperti Houdini, dari semua akuarium kecuali yang dibuat khusus untuk gurita. Pengisapnya tidak hanya dapat bergerak secara terpisah; masing-masing memiliki sensor rasa—bayangkan tubuh kita dipenuhi ratusan lidah. Kulitnya memiliki sel yang mendeteksi cahaya. Hal yang paling menakjubkan adalah—tetapi mari kita bahas yang lain dulu. Pertama, kita jumpai seekor gurita lain.

Anda sekarang berdiri di kantor kecil di Natural History Museum di London. Di depan kita, di meja, ada lempengan batu berwarna pucat. Di samping kita, Jakob Vinther, menunjuk batu ini. “Benda yang di sana itu kantong tinta,” kata Vinther, ahli fosil invertebrata di University of Bristol, Inggris. “Itu sebenarnya pigmen—melanin yang terawetkan secara kimia.”

Anda mencondongkan diri untuk melihat lebih jelas. Di batu itu jelas terbayang sosok gurita. Gurita itu tidak besar: Panjang satwa itu saat hidupnya mungkin 25 sentimeter. Anda masih bisa merunut mantelnya—struktur mirip kantong berisi insang, jantung, dan organ vital lainnya. Ah, itu dia. Noda gelap di tengah—itu kantong tinta. Lengannya menjuntai ke bawah, masing-masing ditandai deretan lingkaran. “Dan struktur bulat kecil itu,” kata Vinther, “adalah pengisap.”

Fosil gurita jarang ditemukan; hewan dengan tubuh lunak biasanya tidak meninggalkan jejak. Fosil ini berusia sekitar 90 juta tahun, yang menjadikannya salah satu gurita tertua. Hewan ini hidup 25 juta tahun sebelum dinosaurus punah.

Dalam taksonomi, manusia termasuk dalam kelas mamalia, sementara gurita kelas sefalopoda. Kata itu berasal dari bahasa Yunani yang berarti “kaki-kepala” dan mengacu pada anatomi anehnya, yaitu tentakel melekat langsung ke salah satu sisi kepala sementara badannya—mantel mirip kantong—berada di sisi lainnya. Sefalopoda adalah bagian dari moluska—filum yang mencakup keong, kelinci laut, kerang, dan tiram.

Sefalopoda merupakan salah satu hewan pemangsa pertama yang berburu di laut purba. Makhluk ini berkembang lebih dari 500 juta tahun lalu—jauh sebelum ikan berevolusi. Bahkan, jika kita mundur ke 450 juta tahun lalu, sebagian predator paling ganas di lautan adalah sefalopoda bercangkang. Beberapa di antaranya sangat besar: Cangkang Endoceras giganteum yang telah lama punah bisa mencapai lebih dari lima meter.

Saat ini ada lebih dari 750 spesies sefalopoda hidup yang kita ketahui. Di samping sekitar 300 spesies gurita, ada berbagai jenis cumi-cumi dan sotong (keduanya bertangan 10) serta beberapa spesies nautilus—hewan aneh yang memiliki 90 tentakel dan hidup dalam cangkang.

Di antara semua hewan yang tidak bertulang belakang, guritalah yang paling mirip dengan manusia. Sebagian karena cara hewan ini menatap kita, seolah-olah sedang mengamati dengan teliti.

Gurita modern sangat banyak jenisnya. Raksasa gurita Pasifik, Enteroctopus dofleini, seperti namanya, berukuran raksasa. Panjang lengan makhluk besar ini bisa mencapai dua meter, dan berat keseluruhannya lebih dari 100 kilogram. Gurita lain, seperti gurita pigmi, Octopus wolfi, yang amat mungil, beratnya tidak sampai 30 gram. Ada gurita yang memiliki mantel kecil dan lengan sangat panjang; ada pula yang lebih proporsional ukurannya. Kebanyakan merayap di karang, lumpur, atau pasir, berenang hanya untuk berpindah tempat atau melarikan diri dari pemangsa, ada pula yang meredah lautan. Anda bisa menemukan gurita dari daerah tropis hingga kutub, dari terumbu karang hingga hamparan pasir, dari kolam air pasang hingga palung. Itu kalau Anda mampu melihatnya.

Kembali ke Lembeh, pada pagi yang cerah. Anda berenang di atas karang dangkal. Sang pemandu—Amba—memberi isyarat tangan yang menandakan dia melihat gurita. Di mana? Anda mencari-cari. Tidak ada gurita. Hanya batu, yang ditutupi karang dan spons. Gerakan Amba masih sama: gurita besar! Kita melihat arah yang ditunjuknya. Tetap tidak ada. Tunggu. Lihat lagi. Bagian gelap di karang yang di sana. Itu bukan karang. Itu gurita Octopus cyanea. Gurita itu sebesar piring.

Gurita dan sotong yang hidup di air dangkal dan berburu pada siang hari sangat ahli menyamar. Tentu saja, penyamaran bukanlah hal istimewa: Banyak makhluk berevolusi agar terlihat seperti makhluk yang lain. Spons jingga di sana, misalnya, bukanlah spons tetapi ikan lepu, mendekam menunggu ikan yang lengah. Daun yang Anda lihat melayang di atas pasir bukanlah daun; itu ikan yang berevolusi agar terlihat seperti daun. Daun itu—yang di sana, berlari di pasir—memang benar daun, tetapi juga benar-benar berlari. Seekor kepiting mengambil daun itu dan menyematkannya ke cangkangnya. Anemon kecil itu sebenarnya siput laut yang berevolusi menyamar menjadi anemon. Dan ke mana pun Anda melihat, ada pasir yang tiba-tiba berdiri dan berjalan (kepiting kecil dengan cangkang sewarna pasir) atau berenang (ikan sebelah).

Hal yang membedakan gurita dan sotong (serta cumi-cumi, dalam kadar tertentu) adalah bahwa hewan itu mampu menyamarkan diri dengan cepat sambil bergerak. Seolah-olah hewan ini menggunakan kulitnya untuk membuat gambar tiga-dimensi objek di sekelilingnya. Bagaimana caranya?

Penyamaran gurita memiliki tiga unsur utama. Hal yang pertama, warna. Gurita menghasilkan warna melalui sistem pigmen dan reflektor. Pigmen tersimpan dalam ribuan kantong kecil di lapisan atas kulit. Ketika kantong tertutup, hanya terlihat seperti bercak kecil. Untuk memperlihatkan pigmennya, gurita mengontraksikan otot di sekitar kantong, sehingga terbuka dan memperlihatkan warnanya. Cara ini langsung menghasilkan pola seperti lingkaran, garis, atau bintik, bergantung pada kantong yang membuka atau menutup. Sel reflektor ada dua jenis. Jenis pertama memantulkan cahaya datang—sehingga menyebabkan kulit tampak putih dalam cahaya putih, merah dalam cahaya merah, dan sebagainya. Jenis kedua seperti gelembung sabun hayati yang menampilkan warna yang berbeda jika dilihat dari sudut yang lain. Gabungan reflektor serta organ pigmen memungkinkan gurita membuat berbagai macam warna dan pola.

Unsur kedua penyamaran adalah tekstur kulit. Dengan kontraksi otot khusus, gurita bisa mengubah kulitnya dari halus menjadi berduri-duri. Efeknya bisa sangat ekstrem. Gurita ganggang, Abdopus aculeatus, menghasilkan struktur berjumbai, membuatnya terlihat seperti rumput laut. Gurita berbulu, hewan yang belum ada nama ilmiahnya, menciptakan penampilan gondrong permanen dan sulit dibedakan dengan ganggang merah.

Unsur ketiga penyamaran adalah sikap. Cara gurita bergerak dapat membuatnya lebih mencolok atau tidak. Beberapa gurita menggulung diri seperti karang dan, dengan hanya menggunakan dua lengannya, merayap perlahan di dasar laut. (Jangan, jangan melihat ke sini—aku hanyalah batu...)

Bagaimana caranya gurita bisa menyamar sepandai ini? Jawaban singkatnya: evolusi. Selama puluhan juta tahun, individu yang lebih mahir menyamar lebih mungkin selamat dari predator dan menghasilkan keturunan. Banyak hewan—termasuk belut, lumba-lumba, udang ronggeng, burung pecuk-padi, berbagai jenis ikan, dan bahkan gurita lainnya—yang sangat suka makan gurita. Karena gurita tak bertulang, predator bisa menelan seluruh tubuhnya. Sebagaimana kata Mark Norman, ahli sefalopoda terkemuka dunia di Museum Victoria, di Melbourne, Australia, “Hewan ini adalah daging filet berjalan.”

Sekarang kita kembali ke sistem saraf gurita. Keong sawah hanya memiliki 10.000 neuron; lobster memiliki sekitar 100.000; laba-laba pelompat, mungkin 600.000. Lebah madu dan kecoa, yang merupakan invertebrata dengan neuron terbanyak setelah sefalopoda, memiliki sekitar satu juta. Jadi 500 juta neuron pada gurita biasa, Octopus vulgaris, menempatkan hewan ini di tataran yang sama sekali berbeda. Dalam hal jumlah neuron, gurita mengungguli mencit (80 juta) atau tikus (200 juta) dan hampir setara dengan kucing (sekitar 700 juta). Namun, sementara vertebrata menyimpan sebagian besar neuronnya dalam kepala, dua pertiga neuron gurita berada di lengannya. Padahal, sistem saraf membutuhkan banyak energi dan hanya mungkin membesar apabila manfaatnya melebihi mudaratnya. Jadi, mengapa hal ini terjadi?

Gurita berburu adalah pemandangan yang mengesankan—setiap lengan menjulur di atas pasir, memeriksa lubang. Jika ada lengan mengejutkan udang, lengan lain menangkapnya.

Peter Godfrey-Smith, filsuf yang menjadi ahli biologi gurita di City University of New York dan University of Sydney, Australia, menyatakan bahwa ada beberapa hal yang mungkin mendorong gurita mengembangkan sistem saraf yang kompleks. Hal yang pertama adalah tubuhnya. Sistem saraf berkembang seiring dengan tubuh, dan tubuh gurita berkembang menjadi sangat kompleks. Karena tidak bertulang, gurita dapat memperpanjang lengannya ke segala arah di mana saja; tidak seperti kita, gerakannya tidak terbatas pada bahu, siku, atau pergelangan. Hal ini membuat kemungkinan gerakan gurita sangat luas; selain itu, tiap lengan dapat melakukan hal yang berbeda. Karena itu, gurita yang sedang berburu merupakan pemandangan yang mengesankan. Setiap lengannya menjulur di atas pasir, masing-masing menjelajah, mencari-cari, memeriksa setiap lubang. Jika ada lengan yang mengejutkan udang, dua lengan lainnya menangkap udang tersebut. Semua batil-pengisap gurita juga dapat bergerak secara terpisah, belum lagi struktur dan mekanisme untuk mengendalikan warna dan tekstur kulit. Pada saat bersamaan, hewan ini mengembangkan kemampuan untuk menerima dan memproses informasi indriawi dalam jumlah besar: rasa dan sentuhan dari pengisap, gravitasi yang dirasakan oleh suatu struktur bernama statosista, serta semua informasi yang dikumpulkan oleh matanya yang kompleks.

Selain itu, banyak gurita hidup di lingkungan spasial yang rumit—dia harus menjelajahi dan melintasi terumbu karang. Tanpa pelindung tubuh, hewan ini harus selalu waspada terhadap predator, dan apabila penyamarannya terungkap, dia harus tahu tempat sembunyi. Terakhir, gurita merupakan pemburu tangkas yang menangkap dan memakan berbagai macam hewan, dari tiram, kepiting, hingga ikan. Tubuh tidak bertulang, lingkungan yang kompleks, akanan beragam, menghindari pemangsa—semua faktor ini, menurut Godfrey-Smith, dapat mendorong evolusi kecerdasan.

Akan tetapi, meskipun gurita jelas memiliki sistem saraf yang kompleks, apakah hewan ini benar-benar cerdas? Mengevaluasi kecerdasan hewan bukan hal yang mudah, dan kadang-kadang kita jadi tahu lebih banyak mengenai diri sendiri daripada mengenai hewan yang diteliti tersebut. Ciri kecerdasan pada burung dan mamalia, seperti kemampuan menggunakan alat, biasanya tidak cocok diterapkan pada gurita: Seluruh tubuhnya merupakan alat. Gurita tidak perlu alat untuk menjangkau ke dalam celah—lengannya bisa langsung masuk—atau untuk membuka tiram.

Meski demikian, eksperimen yang dimulai pada 1950-an dan 1960-an menunjukkan bahwa gurita-biasa pandai mengerjakan tugas yang memerlukan kemampuan belajar dan mengingat—dua atribut yang kita kaitkan dengan kecerdasan. Bahkan, ada bagian otak gurita, lobus vertikal, yang khusus berfungsi menangani tugas seperti itu. Saya menekankan gurita-biasa di sini karena spesies inilah yang paling sering diteliti sampai sekarang. Setiap spesies gurita memang agak berbeda susunan otaknya, dan karena baru sedikit yang diteliti, tidak diketahui apakah semuanya memiliki kecerdasan setara. Roy Caldwell, peneliti gurita di University of California, Berkeley, berkata, “Beberapa gurita yang pernah mampir di lab saya sepertinya bodoh.” Misalnya? “Octopus bocki, gurita kecil mungil.” Mengapa disebut bodoh? “Sepertinya dia tidak banyak melakukan apa-apa.”

Akan tetapi, pintar bodohnya gurita tidaklah sepenting kenyataan bahwa makhluk ini benar-benar menakjubkan. Luar biasa.

Mari kita menyelam sekali lagi. Hari sudah senja di Lembeh. Anda berlutut di samping lereng berbatu. Di depan kita, sepasang ikan kecil berenang berdampingan, sedang memijah. Ada belut yang meringkuk di lubang. Ada umang-umang besar, dalam cangkang pinjaman, yang merayap lewat. Dan di sana, di atas batu, ada gurita ganggang kecil.

Selagi kita mengamati, hewan itu mulai bergerak. Sesaat seperti mengapung, melayang seperti yogi bertangan delapan. Sesaat kemudian meluncur. Kini dia merangkak di atas batu. Saat menuruni lereng, salah satu lengannya menemukan lubang kecil, lalu, satu per satu lengannya menyusul hingga seluruh tubuhnya masuk. Lenyap. Tidak—tidak seluruhnya. Satu ujung lengan menjulur dari lubang, meraba-raba ke sekitarnya, mengambil beberapa batu kecil, dan menariknya menutupi lubang. Beres. Saatnya beristirahat.