Namun, tidak berarti bahwa lokasi limbah berbahaya itu aman. Kanker hanyalah salah satu bahaya yang dapat ditimbulkannya; bahaya lainnya adalah cacat lahir. Kabut ketidakpastian menyelimuti tempat tercemar. Suk memberikan contoh Sungai Cuyahoga di Ohio. Kejadian terbakarnya sungai itu tahun 1969 mendorong pengesahan UU Air Bersih dan menggalakkan pembersihan sungai di seluruh Amerika Serikat—tetapi sungai itu dan beberapa sungai lainnya masih jauh dari bersih. "Sudah bukan sungai api lagi," kata Suk. "Akan tetapi, jangan suruh saya berenang di sana."
!break!BAGAIMANA CARA HIDUP di tanah yang tercemar? Kita perlu menemukan lebih banyak cara untuk memanfaatkan kawasan cokelat (lahan bekas industri dan komersial) bukan hanya kawasan hijau, kata ahli ekologi Erle Ellis dari University of Maryland, Baltimore County. "Lahan cokelat penting bagi kota," katanya. "Memang bisa dianggap sampah, tetapi pupuk kandang juga sebenarnya sampah. Cuma perlu didaur ulang."
EPA mengamini hal itu. Badan ini mencari cara memanfaatkan lahan tercemar yang harus dikelolanya entah sampai kapan. "Pada dasarnya kami akan mengelola tempat ini selamanya," kata Julie Santiago-Ocasio, manajer lokasi EPA di Monterey Park. Biaya untuk mengolah air lindi dan gas TPA serta memastikan bahwa air tanah yang terkontaminasi tidak menyebar dari lokasi itu sebesar 66 miliar rupiah per tahun—tetapi sepetak kecil proyek percontohan panel surya di TPA itu memberi harapan bahwa suatu hari nanti tempat itu mungkin juga bisa menghasilkan energi surya.
Pemanfaatan lain yang lebih dramatis terjadi di bekas Gudang Senjata Rocky Mountain, dekat Denver. Selama Perang Dunia II Angkatan Darat AS membuat gas mustard dan kemudian gas saraf sarin di tempat hampir seluas Kota Gorontalo itu; Shell Chemical Company memproduksi pestisida dieldrin di sana. Limbahnya dibuang ke cekungan yang menampung segala macam kontaminan.
Ketika Sherry Skipper pertama kali tiba di tempat ini sebagai ahli biologi muda pada awal 1990-an, dia sering mengenakan sepatu bot, masker, dan kacamata untuk memeriksa burung jalak yang dia pakai, untuk memantau polusi. Burung tersebut makan cacing dan serangga penggerek yang mengandung dieldrin. Skipper ingat suatu kali saat musim semi yang basah ketika cacing tanah bermunculan—dan burung yang memakannya berjatuhan dari pohon pun kejang-kejang. "Hal itu tidak akan terjadi lagi," katanya suatu hari di musim dingin yang lalu.
Tempat ini sekarang menjadi suaka bagi margasatwa, dan Skipper berkendara mengelilingi tempat itu dengan manajernya, David Lucas dari Fish and Wildlife Service AS. Lanskapnya benar-benar berubah. Fasilitas kimia dihancurkan dari 1999 sampai 2003 lalu dilapisi dengan "penghalang biota"—aspal daur ulang dari bandara lama Denver yang kemudian ditimbun dengan semeter tanah—agar binatang tidak bisa menggali ke tempat yang terkontaminasi. Rumput asli prairi sekarang menyerap air hujan yang jatuh. Di tepi suaka ini, dibuat sumur untuk menghalangi penyebaran air tanah yang tercemar. Perumahan baru bermunculan di sekitarnya.
Berlatar langit Denver, kami mencari-cari elang botak—ada 80 ekor yang bersarang di sini selama musim dingin. Ada bison, anjing prairi, dan rusa bagal. Lokasi ini tidak layak untuk menjadi tempat tinggal manusia, kata Skipper. Namun, ada pula manfaatnya. "Mana mungkin," kata Lucas, "ada wilayah seluas 65 kilometer persegi di sini, di tengah-tengah Denver—yang dibiarkan liar, jadi suaka bagi margasatwa—jika bukan karena lokasi Superfund?"
---
Paul Voosen adalah reporter Chronicle of Higher Education. Artikel terbaru Fritz Hoffmann untuk majalah ini membahas rahasia umur panjang, Mei 2013.