Terbit Rindu pada Bekas Kota Candu

By , Jumat, 29 Januari 2016 | 13:00 WIB

Saya sungguh menyesal. Padahal nasi semur bungkus daun jati dan ketan bumbu sungguh saya gemari. Kedai Jenghai menjadi tempat warga bertukar informasi, bicara transaksi, atau sekedar duduk santai menanti sirnanya pagi. Di kedai bersahaja ini saya merasakan keguyuban warga.

Kedai kecil itu menyediakan menu sarapan khas Lasem. Juga, kopi lelet sajian kopi dengan jati diri Lasem. Jenghai memproduksi sendiri kopi leletnya. Ia memilih biji kopi lokal terbaik. Selama lima hari, Jinghe mampu menghasilkan lima kilogram kopi.

Kopi khas Lasem ini biasa digunakan untuk membatik di atas sebatang rokok. Kopi lelet, demikian julukannya. Seorang warga yang bekerja sebagai kenek mobil angkut berkata kepada saya bahwa kopi lelet merupakan tradisi Lasem dan Rembang. Rokok kreteknya tampak cantik dibalut corak batik dari adonan kopi dan susu kental. Selain cantik, konon rokok yang telah dibubuhi batik menjadi lebih tahan lama.“Ini campurannya ampas kopi sama susu kental manis, biar kental jadi bisa dipakai mbatik di kertas rokok ini,” ujarnya sembari menorehkan adonan tadi dengan sebatang tusuk gigi.

Rumah Cina-Hindia milik Lo Geng Gwan terletak di Pecinan Karangturi Gang 4. Berandanya luas, dengan meja dan kursi tua yang terhampar di lantai terakota.  Opa Gwan hidup bersama sepupunya Lim Luan Niang. Usia keduanya 86 tahun. Mereka ditemani seorangabdi yang telah 30-an tahun bekerja di rumah itu.  Minuk namanya, rambutnya sudah memutih. Kami memanggilnya ‘Kyle’ Minuk.

 “Opa, piye kabare?” saya menyapa Opa Gwan yang sore itu sedang duduk di depan pintu gerbang bertembok tinggi rumahnya.

“Weeh, mlebu yo mlebu!” Ia bangkit tertatih dan mengajak kami masuk melintas halaman rumahnya. “Kae Oma neng njero,” ujarnya sembari menunjuk sepupunya, Lim.

Saya masuk ke rumah Opa Gwan yang berkonstruksi batu bata, berdinding kayu, berlantai papan dan bergaya Cina-Eropa. Rumah tua, foto tua, furnitur tua, ranjang ukir tua, perabot tua, serasa waktu berhenti!

Saya menjabat tangan Oma Lim yang duduk di kursi kayu, wajah rentanya tampak semringah. Sore itu Oma Lim baru selesai mandi, dan Minukmenyisir dan membedakinya.

“Kamu mau kecap to? Aku bikin kecap kemarin jadi,” ujar Minuk. “Lima botol tok, yok ambil di belakang, sekalian aku sembayang pawon (dapur).”Saya terperanjat dan bertanya, mengapa Minuk turut sembahyang, bukankah dia orang Jawa dan Muslim?

“Sudah kebiasaan dari dahulu,semuanyaaku yang sembayang,” jawab Minuk.“Apalagi Oma dan Opa kansudah pikun.” Kemudian dia menuju ruang penyimpanan beras, tempat altar dapur.

Minuk menghadap rak siku kecil berdebu. Di atas rak itu duduk patung kecil Dewa Dapur dan tempat dupa. Juga sebuntelan kertas berwarna kecoklatan yang telah dipuja turun-tenurun. Dia menyalakan dupa, bersoja, dan menancapkan dupa di hiolo mungil.

“Ini tiap sore jam tiga atau jam empatan,”katanya.Kemudian dia mengajak saya duduk-duduk di dapur sembari menemaninya memasak sepanci sop di tungkutembikar berbahan bakar kayu. Minuk tak pernah meninggalkan tugasnya menjaga mereka.