Dalam kotbahnya, Romo Dino mengatakan bahwa jalan derita yang dialami Yesus adalah perjalanan menuju kehendak Ilahi.Perjalanan itu bukan semata-mata kesengsaraan, tetapi bukti cinta Allah kepada umat manusia. “Kita dilahirkan dengan sebuah rencana Allah. Seperti yang dialami Yesus, kehidupan yang kita jalani merupakan perjalanan menuju rencana itu,” kata Romo Dino.
Seusai misa, perjalanan dilanjutkan.Kali ini saya masuk ke sebuah pintu kecil yang mengarah ke dalam Gereja Koptik. Begitu keluar dari gereja, saya sampai pada halaman megah yang ramai dengan peziarah.Halaman itu berada dalam kompleksGereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre).
Gereja Makam Kudus berdiri di atas lahan yang disebut Golgota, bukit yang menjadi tempat penyaliban Yesus. Di tempat itu, Ratu Helena, ibunda dari Kaisar Konstantinus I, pernah datang dan berziarah. Dia mendorong Konstantinus menyelamatkan tempat-tempat suci dengan membangun gereja di atasnya.Selain membangun Gereja Makam Kudus, Helena juga mendorong pembangunan Gereja Kelahiran (Church of The Nativity) di Betlehem.
Gereja Makam Kudus dibangun di atas situs Golgota yang dipercaya sebagai tempat Yesus disalibkan dan dikuburkan.Walid menjelaskan, semua komunitas Kristen, percaya gereja dibangun di atas makam Yesus. “Mulai dari Patriarkat Ortodok Yunani, Biara Franciskan dari Gereja Katolik Roma, Patriarkat Armenia, hingga Kristen Ethiopia, Koptik, dan Ortodoks Suriah, seratus persen percaya gereja ini asli di atas makam Yesus,” kata dia.
Pertumpahan darah pun terjadi di antara umat Kristen.Mereka berebut menguasai Gereja Makam Kudus. Pada tahun 638, Patriark Yerusalem Sophronius menyerahkan semua kunci kota kepada pasukan Khalifah Umar bin Khattab yang merebut Yerusalem. Khalifah Umar lalu menyerahkan kunci gereja Makam Kudus kepada keluarga Muslim.“Karena kunci dipegang orang Muslim, jadi lebih aman. Tidak ada perang,” kata Walid, sambil terkekeh.
Kunci gereja kini dipegang keturunan keluarga Nusseibeh dan Joudeh.Kedua keluarga Muslim itu bertugas membuka pintu gereja saat fajar menyingsing, dan menutup gereja saat malam datang.Meski kunci pintu gereja dipegang umat Muslim, tidak berarti mereka menguasai Gereja Makam Kudus.Gereja itu dikelola bersama-sama antara Gereja Etiopia, Koptik Mesir, dan Suriah.
Ratusan orang berdesak-desakkan masuk ke dalam gereja. “Pastikan kita berjalan dalam satu rombongan. Jangan terpisah!” tutur Joppy Taroreh, pemimpin rombongan, sambil mengibar-ngibarkan bendera biru, penanda kelompok kami.
Tepat pukul 18.00, pintu gereja ditutup.Orang-orang yang masih berada di luar gereja dilarang masuk.“Ah, untungnya bisa masuk…” kata kakak saya.
Begitu masuk basilika Gereja Makam Kudus, saya melihat batu merah muda yang diletakkan terbaring di atas lantai. Batu itu dipercaya sebagai lokasi pengurapan jenazah Yesus yang dilakukan oleh Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus. Secara bergantian, ratusan peziarah berjongkok dan memeluk batu.
Setelah melewati batu pengurapan Yesus, saya berjalan melewati dua tiang besar, lalu masuk ke bagian yang dinamakan Anastasis, tempat Yesus dimakamkan. Di depan tempat itu, ratusan orang berbaris. Setelah mengantre selama 15 menit, seorang biarawan menemani saya masuk ke dalam Anastasis.Tempat Yesus dimakamkan begitu gelap, begitu sunyi. Inilah akhir perjalanan di Via Dolorosa.
Ziarah ke Yerusalem adalah mimpi dan cita-cita orang tua saya.Tahun lalu, orang tua saya batal berangkat ke Yerusalem karena ayah sakit.Suatu hari, di Gereja Santo Antonius Padua, Jakarta Timur, saya menyampaikan keinginan menemani orang tua ke Yerusalem. Tuhan menjawab doa itu dengan memberi berbagai kemudahan hingga kami bisa menapakkan kaki di Tanah Suci.
Menelusuri Via Dolorosa adalah penggenapan dari rangkaian ziarah saya di Tanah Suci, Yerusalem.
Setelah merampungkan peziarahan di Bukit Golgota, Walid mengajak saya berjalan selama lima menit ke Tembok Barat.Seringnya konflik antar kelompok masyarakat, membuat tentara Israel selalu berjaga-jaga.Mereka memeriksa barang bawaan peziarah dengan menggunakan metal detector.
“Bagaimana kamu bisa hidup di daerah dengan beragam latar belakang?” tanya saya, suatu hari.“Saat berinteraksi dengan orang lain, saya tidak peduli agama kamu dan dari mana asal usul-mu, yang penting adalah “kamu”. Manusia.” jawab Rauf, tenang.
Di balik Tembok Barat terlihat kubah emas Dome of The Rock, dalam bahasa Arab disebut Masjid Qubbat As-Sakhrah, atau Kipat Hassela dalam bahasa Ibrani. Dome of The Rock terletak bersebelahan dengan Masjid Al-Aqsa, masjid terpenting ketiga bagi umat Islam.
Hidup dalam kemajemukan bukan berarti tanpa masalah.Suatu hari, saat melewati tembok perbatasan Israel-Palestina,bus saya ditimpuk orang asing karena dianggap pendukung Zionist. Di lain sisi, ada pula orang-orang yang memperjuangkan kehidupan damai. Saat natal, misalnya, puluhan anak-anak dari Keluarga Palestina memakai baju Santa Clause dan mengunjungi Gereja Kelahiran di Betlehem.
Hari itu haru Sabbath, hari penting bagi bangsa Yahudi. Sabbath dimulai dari Jumat malam hingga Sabtu malam. Sepanjang hari orang-orang Yahudi tidak diizinkan beraktivitas, selain berdoa. Keesokan harinya, hari Minggu, umat Kristen berdoa di gereja.Pada hari Jumat, giliran orang-orang Islam yang sembayang ke masjid.
Pukul 19.00, ziarah di Via Dolorosa selesai. Rauf (55), pengemudi bus, menjemput kami di halaman tembok ratapan.Rauf adalahorang Muslim Palestina. Dia memiliki restaurant yang terkenal di kalangan Yahudi.Pria itu juga hafal lagu-lagu Kristen. Dalam perjalanan, Rauf sering menyanyi lagu-lagu sekolah Minggu, seperti “Hari ini harinya Tuhan” atau “Aku ba
“Bagaimana kamu bisa hidup di daerah dengan beragam latar belakang?” tanya saya pada suatu hari. “Saat berinteraksi dengan orang lain, saya tidak peduli agama kamu dan dari mana asal usul-mu, yang penting adalah “kamu”. Manusia.” jawab Rauf tenang.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DENTY PIAWAI NASTITIE Peziarah. Lahir di Jakarta, 11 Juni 1990. Setelah lulus kuliah jurusan Sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Denty bekerja sebagai wartawan di harian KOMPAS.