Sihir Magi Ebeg

By , Senin, 29 Februari 2016 | 12:00 WIB

Asap muram dari bara dupa itu mengambang di udara yang hangat. Aroma magi menguar di sela hentakan kendang, dengung gong, dan lengkingan trompet. Seirama alunan gamelan, sinden bersuara sopran mendendangkan tembang-tembang Jawa.

Sudah dari tadi, para niyaga menabuh gamelan bertalu-talu. Namun pergelaran ebeg itu belum juga dibuka.

Sang penimbul ebeg bersama para pendampingnya masih menata sesajian. Penimbul diemban oleh Kasirin, didampingi Manislam dan Sansuparno. Mereka-lah yang bakal mengendalikan pementasan.

Sembari menggenggam segepok dupa yang membara, Manislam tekun merapikan aneka sesajian. Lelaki bermisai lebat itu menata kelapa hijau, air teh, minyak wangi, dan bunga tiga warna: kenanga, kantil, dan mawar.

“Kalau tidak dibatasi, pembarong bisa melabrak tiang besi,” ujarnya. “Barongan bisa pecah.”

Sesajian ini perkara serius. Satu jenis sajian saja luput, pertunjukan bisa rawan. Bahkan demi sesaji yang sempurna, Kasirin seringkali mengeluarkan biaya besar. “Takutnya nanti ada apa-apa,” katanya.

Seberapa penting, sih? Saya mengikuti Kasirin. Ia memasang sekuntum bunga kantil di rambut barongan. Ada delapan barongan; satu barong, satu bunga. “Itu kesukaannya,” katanya.

Ia juga mengikatkan seuntai janur kuning di beberapa tiang besi yang berdiri tegak di lapangan Lokajaya di Desa Lomanis, Cilacap Tengah, Cilacap, Jawa Tengah. Kasirin membentengi tempat pentas itu dengan pagar gaib. “Kalau tidak dibatasi, pembarong bisa melabrak tiang besi,” ujarnya. “Barongan bisa pecah.”

Di antara keramaian pengunjung, saya mendekati Manislam di tepi lapangan. Dari saku bajunya yang serba hitam, ia merogoh sebotol minyak wangi. Ia menorehkan setetes minyak wangi di dahi cucunya. Dalam pelukan sang ibunda, bayi empat bulan itu tak hirau. Ia terlelap. “Ini jam-jam rawan, agar cucu selamat,” kata lelaki bermata elang itu. Beberapa penonton berjabat tangan dengan Manislam, lalu meminta sepercik minyak wangi atau seuntai kembang. Demi keselamatan.

Sang surya kian mendekati tengah hari. Musik tak lekang membahana. Penonton merapat. Para penari ebeg telah bersimpuh sembari menunggang kuda lumping. Mereka menanti pergelaran dibuka.

Kasirin berdiri kokoh di tengah kalangan pentas. Ia menatap lekat para penari. Sejurus kemudian, lelaki berbadan tegap itu membelah udara dengan cemetinya. Cetar… cetar…!

 Lengkingan cemeti menembus hulu telinga. Suaranya merambat di udara yang pengap. Cemeti Kasirin kembali menusuk: cetar… cetar…! Lecutan terakhir itu menandai derap pertama para penunggang kuda lumping. Umarmaya berada di ujung depan barisan. Bergerak cekatan membelah lapangan, enam penari mengikuti Umarmaya.

Tarian Bayangkara itu menggambarkan gerak laju pasukan berkuda. Bagaikan seorang komandan, Umarmaya menguasai pentas.

Berdiri di tepian pentas, Kasirin mengawasi para wayang yang menari. Para pejoget bergerak serentak seiring musik yang menggelora. Tarian Bayangkara itu menggambarkan gerak laju pasukan berkuda. Bagaikan seorang komandan, Umarmaya menguasai pentas. Ia menyisir satu-satu penunggang kuda lumping yang bersimpuh membeku. Gerak kaki Umarmaya kadang menderap, kadang mencongklang: bagaikan langkah-langkah turangga di medan laga. Umarmaya mendekati setiap prajurit. Bersalaman.

Mendekati akhir pergelaran, para pemain kuda kepang berbaju cerah itu menderap kompak. Di barisan belakang, dua lelaki bertopeng Pentul dan Tembem menari jenaka. “Dua penari itu disebut cepet untuk candaan,” ujar Kasirin.