Napas saya memburu.Saya berusaha melawan panas di atas jalan aspal bergelombang. Sementara itu, di sisi kiri-kanan jalan, pepohonan akasia yang meranggas, seperti merindukan kedatangan air dari langit. Kedua kaki saya menerima pesan dari otak untuk terus mengayuh pedal, tak ada kata
berhenti dalam benak. Matahari membakar energi saya dan dua sahabat saya (Warsono dan Firman Firdaus) saat melintasi jalan raya Situbondo-Banyuwangi. Di wilayah tapal kuda Tanah Jawa ini, saya berupaya melawan ego, panas, jalanan yang tak rata, dan dehidrasi untuk tujuan besar: perjalanan bersepeda lintas pantai utara Jawa-Bali. Hasilnya? Kami menikmati “kemenangan” atas perjuangan itu. Puas!
Tiga tahun kemudian, dada seperti sesak. Saya berusaha melawan serangan udara dingin yang diembus angin di Madrid. Rintik air menyapa saya pagi itu. Saya merapatkan jaket. Musim dingin memasuki masa akhir di Ibu Kota Spanyol. Tekad kami telah terkepal. Misi kami telah terpatri: untuk mengenalkan Indonesia ke Eropa. Begitu keluar dari bandara, saya mengikuti langkah rombongan delegasi Kementerian Pariwisata memasuki bus modern buatan Jerman yang akan mengantarkan kami membelah kota.
Langkah kami pun telah mantap. Merah Putih siap beradu pamor dalam ajang bergengsi UNWTO, Badan PBB yang mengurusi bidang pariwisata. Kali ini, ada dua bintang lapangan, yaitu Banyuwangi (Jawa Timur) dan Bali.
Di ujung kisah, Indonesia berhasil menyabet tiga penghargaan, salah satunya, juara dunia di bidang pariwisata untuk Banyuwangi, wilayah tapal kuda Jawa yang saya lintasi siang hari itu. Kami pun mengangkat gelas kemenangan, menikmati keberhasilan Indonesia.
Lega!
“What...the...f**k!!!” Umpatan kasar terlontar dari mulut saya dan menggaung di sepanjang gang di Puerta del Sol, kompleks alun-alun Madrid yang kerap disebut titik nol kilometer kota. Reaksi itu terjadi ketika saya menyadari ada “tangan tidak bertanggung jawab” yang sedang berusaha menyelip ke dalam tas punggung saya. Sekalipun jeritan itu membuat orang-orang menoleh, si pelaku hanya berlalu begitu saja. Sambil mengumpat, dia pergi meninggalkan saya. Sejenak, saya terperangah. Orang-orang di sekeliling hanya bisa menggeleng kepala. Kesal!
Lantaran tak ingin suasana hati bertambah buruk, saya kembali melanjutkan penjelajahan kecil di Madrid. Saya memilih tidak melaporkan kejadian itu kepada pihak berwajib. Puerta del Sol selain terkenal karena titik “Kilometer Nol” dan keindahan alun-alun Plaza Mayor, juga sangat dikenal akan kelihaian copetnya.
Alun-alun kota ini dipenuhi warga dan wisatawan yang ingin menikmati Madrid sore itu. Di sini, orang dari berbagai kalangan berkumpul dan melakukan aktivitas mereka, entah sekadar minum kopi di kafe atau berjalan-jalan sore menghabiskan waktu menunggu waktu makan malam.
Dari tempat itu, saya menuju tengara berikutnya: Santiago Bernabeu. Inilah salah satu tempat yang tak mungkin saya lewatkan. Saya memasuki salah satu stadion sepak bola paling berpengaruh dalam jagad olah raga ini. Informasi yang saya dapat, sejatinya pemerintah sudah menyiapkan rencana pembangunan stadion baru untuk mengganti bangunan bersejarah ini, namun demi alasan kenyamanan kota, rencana itu hanya bisa terlaksana dalam bentuk maket yang dipajang dalam salah satu ruang pamer.
Dinding-dinding stadion masih menyimpan gema sorak sorai para penggemar Real Madrid pada laga-laga mereka di stadion ini. Terasa betul pengaruh kekuatan olah raga dan klub ini terhadap kota Madrid, mural di dinding disertai kekuatan audio yang menceritakan klub dan penggemarnya.
Destinasi terakhir yang sempat kami hadiri adalah Palacia Real de Madrid. Istana resmi anggota keluarga kerajaan Spanyol itu hingga kini masih digunakan untuk acara-acara kenegaraan. Beberapa bagian dibuka untuk bisa dinikmati oleh para pejalan dari segala penjuru dunia. Anak-anak sekolah dasar berlarian di plaza halaman istana. Acap kali tempat bersejarah ini digunakan oleh sekolah-sekolah lokal di Madrid untuk para siswanya. Mereka bisa belajar dan menikmati wahana sejarah yang terkonservasi baik hingga kini.
Tak hanya kokoh dan megahnya bangunan yang berdiri, pengunjung dapat menikmati banyak peninggalan-peninggalan serjarah yang masih rapih terpasang di tempatnya di setiap ruang istana yang disinyalir mempunyai luas lantai sebagai istana di seluruh benua Eropa. Lukisan pelukis-pelukis ternama, keramik, biola beratus tahun, dan tak lupa ribuan jam yang tersebar hampir seluruh ruangan di sini. Konon, koleksi jam istana ini sohor hingga ke penjuru Bumi. Bahkan, ada agenda rutin bagi para pejalan untuk memamerkan penunjuk waktu ini setiap tahunnya.
Madrid telah mengajarkan saya bagaimana pariwisata dapat dikemas dengan apik—meski mereka juga tak sempurna. Kebanggaan saya juga semakin lengkap ketika Banyuwangi telah mampu menunjukkan bahwa pariwisata mampu menjadi lokomotif pembangunan. Di awal tahun ini, Banyuwangi menerbitkan decak kagum dunia. Hebat!
--------
DIDI KASPI KASIM adalah Editor in Chief National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler Indonesia. Menghadiri UNWTO bersama Kementerian Pariwisata di Madrid, Spanyol.