“Kelihatannya menyenangkan di sini, ya. Tetapi, kita harus naik ke puncak menara. Akan ada kejutan lagi,” ujar Gerry sambil menapak anak tangga. “Dan orang-orang di bawah sana, di piazza sana, pasti kebingungan mendengarkan suara lonceng buatan kalian. Suaranya berbaur tak beraturan, hahaha…,” lanjutnya jenaka dan memancing tawa kami sekali lagi.
Semakin berat lonceng—yang paling berat di antaranya adalah 1.480 kilogram—maka suaranya akan semakin rendah alias bass. Andai kami berhasil mengenali karakter seluruh lonceng, termasuk cara-cara memainkannya, mungkin kami akan mampu membuat suatu orkestra lonceng yang cukup merdu untuk didengar. Melagukan nyanyian rakyat Nusantara, barangkali….
Namun, tidak semua lonceng ternyata mampu menghasilkan bunyi. Satu di antaranya disebut lonceng bisu, karena tidak akan berdentang kendati sekuat apapun kita menarik talinya.
“Sejumlah 12 lonceng yang ada di sini didatangkan dari St. Martin Church di London pada tahun 1988. Tidak ada kegiatan khusus untuk membunyikan lonceng-lonceng tersebut. Syaratnya hanya jika ada jumlah pengunjung yang cukup saja,” ujar Gerry saat kami tiba di selasar puncak menara, yang menampilkan pemandangan puitik Kota Perth: lekukan Sungai Swan yang elok di kejauhan, lintasan jalanan menuju gedung-gedung pencakar langit, dan Elizabeth Quay yang diterpa kemilau cahaya matahari.
Sementara kami terpana menyaksikan panorama tersebut, terdengar suara lonceng bel penanda waktu.Nadanya sangat kami kenal, Jingle Bells. Jelas bukan messy bells, lantunan lonceng yang baru saja kami mainkan….