Leeuwin-Naturaliste

By , Selasa, 24 Mei 2016 | 20:00 WIB

Dua ekor kanguru menyembul di antara semak. Mereka seperti heran melihat kami melintasi habitatnya. Sejurus kemudian, si kanguru cuek dan berlalu. Perhatian kami kembali tertuju ke Saul Cresswell, pemandu wisata Cape to Cape Explorer Tours. Ia mengajak kami memetik dedaunan eukaliptus untuk mengusir lalat. Sore itu memang banyak lalat beterbangan.

Kami tengah berada di Margeret River terbentang di selatan ibu kota negara bagian Western Australia, Perth. Kota di sekitar sungai sepanjang 60 kilometer itu dikenal sebagai lahan subur. Sejumlah pabrik wine memetik anggur dari tanah gemburnya. Berkelana mencicipi sejumlah jenis anggur bisa jadi salah satu pilihan aktivitas wisata di sana. Selain kaya dengan potensi perkebunan, di Margaret River juga ada taman nasional Leeuwin Naturaliste yang kaya dengan ragam flora.

Sambil menepuk-nepukkan daun berbatang sebagai pengusir lalat, kaki kami beradu dengan jalur setapak rata beraspal. Ketika tiba di ujung jalur itu, Saul menunduk menunjuk sebuah tapal berupa kayu tertancap. “Ini penanda pos Cape to Cape,” Saul memaparkan. “Panjang lintasannya sendiri 135 kilometer. Dan sesuatu di bagian inilah yang ingin saya tunjukkan.” Telunjuk pria kelahiran wilayah Tanjung Leeuwin itu mengarah ke tepian barat peta jalur penjelajahan yang akan kami lalui.

“Jika Anda pergi ke Perth, Anda tak akan menemukan ini. Demikian pula jika Anda menuju selatan ke Albany, ini juga tidak akan ada di sana.” Saul berkisah tentang sesuatu yang kami pijak: batu granit berwarna antara jingga dan merah muda.

“Ini sebenarnya kisah cinta,” Saul mulai berkisah.

Batu yang luas bertumpuk-tumpuk itu hasil percumbuan lempeng daratan India dan Australia. Dahulu kala keduanya bersatu, dan tumbukannya membentuk gunungan setinggi 5 kilometer. Bebatuan tempat kami berdirilah gunungnya. Ribuan juta tahun kemudian permukaan air laut meninggi, daratan India terpisah dan batu kenangan berwarna cerah itulah yang pada akhirnya tersisa.

Langkah kaki kami menyisir celah di antara semak. Struktur tanah purba yang menjadi media hidup tetumbuhan itu sebenarnya miskin nutrisi. Sebaliknya, tanah gersang di sana malah ditumbuhi beragam jenis tanaman. Dengan demikian, mereka harus saling bersaing untuk tetap hidup. Selain sistem perakaran di bawah tanah yang saling mencuri, tetumbuhan ini juga menyesuaikan diri dengan rupa yang mampu menarik perhatian serangga. Rupanya itulah rahasia di balik banyaknya lalat di jalur penjelajahan kami.

Buah dari persaingan itulah yang kemudian kami cicipi. “Manis!” dalam Bahasa Indonesia Saul mengucapkan rasa buah semak yang kami telan. Ia juga mengajak kami merasakan daun samphire. Rasanya asin. Saul juga memperkenalkan kami ke aroma rosemary pesisir. Dedaunan semak itu mirip dengan tanaman rosemary yang ada di daratan Eropa. Hal itu tidak mencengangkan, karena menurut Saul satu hektar lahan di jalur Cape to Cape, ditumbuhi semua varian tanaman yang ada di Eropa. Jalur jalan kaki rute Cape to Cape termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Leeuwin-Naturaliste. Namun ada ancaman bagi kekayaan biodiversitas di kawasan taman nasional seluas lebih dari sepertiga Jakarta itu. Leeuwin-Naturaliste menjadi satu dari 35 titik biodiversitas yang rawan di seluruh dunia. Daerah sekitar tanjung di kawasan itu memang memiliki 131 jenis flora dan fauna rawan punah dan enam ekosistem yang juga rentan rusak.

“Di mana garis finish kita?”

Saya bertanya kepada Saul di puncak bukit dekat sebuah batu besar.

“Sebenarnya nanti kita akan berhenti di situ, lalu kalian akan menginap di dekatnya,” saya tercengang membayangkan jarak ratusan kilometer yang harus kami tempuh dengan jalan kaki. “Tapi nampaknya kita harus mengubah tujuan.” Napas saya terlepas.

Saul memang pandai bercanda. Dia juga pintar menghadiahkan kejutan. Usai menuruni lintasan, kami menghadap sebuah laguna. Bebatuan pantai tegak mengungkunginya semacam tembok. Lautan lepas dan arakan awan berlatar belakang. Saul mengeluarkan satu lagi kejutan: alat snorkeling.

Saya merunduk dan membasahi diri, suhu dingin benar-benar terasa. Saya lalu menarik tubuh kembali ke daratan. Dingin sekali. Jantung saya sampai berdenyut lebih cepat. Badan pun turut bergidik. Sementara di belakang sana Saul sudah mengambang dan memanggil-manggil saya. Selanjutnya, saya merasa itulah puncak sensasi petualangan di alam bebas Western Australia.