Telisik Kopi Banyuwangi

By , Kamis, 28 Juli 2016 | 06:00 WIB

Saya tengah membayangkan kenikmatan menyeruput secangkir kopi. Minuman yang memiliki penggemar seantero jagat ini menggoda pikiran dengan keragaman rasa  saat lidah mencecap seduhannya. Saya tak ingin menikmati kopi dengan rasa yang biasa-biasa saja. Usai berselancar informasi, ada satu panduan ngopi, Espresso and Coffee Guide, yang menempatkan kopi Arabika Jawa, terutama yang tumbuh di lereng Gunung Ijen bagian timur, sebagai ketiga terbaik di dunia, di atas kopi Lintong Sumatra dan kopi Toraja. Arabika Jawa menjanjikan rasa yang kaya: fruity, nutty, bahkan sampai berempah spicy dan karamel. Lantas, di mana saya bisa menyeruput kopi asal Ijen, kebanggaan Banyuwangi itu?

Pertanyaan itu mengantarkan saya ke sebuah rumah yang dilabeli Sanggar Genjah Arum di Kemiren, desa yang identik sebagai “ibu kota kopi Banyuwangi”. Meski tidak memproduksi buah kopi, penduduk Kemiren secara turun-temurun mewariskan cangkir kopi khas, yang menunjukkan kecintaan mereka untuk ritual minum kopi. Di desa yang juga rumah bagi dubang—durian merah—Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menggelar Festival Ngopi 10.000 setiap tahun.

Pemilik sanggar bernama Setiawan Subekti, yang sangat menikmati sebutan “budayawan kopi” dalam sebuah buku tentang kopi. Lelaki paruh baya yang kerap disapa Iwan ini  juga tercatat sebagai pencicip kopi internasional.

Iwan mulai menyuntikkan pengetahuan kopi kepada saya, “Rahasia rasa kopi Banyuwangi adalah dari segi geografis, semua perkebunan menghadap ke timur, jadi dapat sinar matahari awal yang cukup, dan karena di pinggir laut mendapat luapan air garam. Sementara kalau malam, mendapat tiupan uap belerang. Keasaman itu muncul kalau ditanam di atas seribu meter.”

Definisi Sanggar Genjah Arum sebenarnya tidak merujuk pada, misalnya,  tempat kegiatan seni. Sebuah kompleks tempat tinggal yang lebih gampang diasosiasikan sebagai rumah orang Using yang berprofesi sebagai petani. Ruangan-ruangan dibagi di bawah atap beberapa bangunan Umah Tikel, lengkap dengan segala fungsinya. Umah Tikel, rumah tradisional orang Using secara teknis megah berdiri tanpa sebuah paku pun, secara filosofis mengemban perjalanan hidup manusia dari hanya berdua suami istri, berketurunan, dan bersiap menghadapi masa depan. Di halaman depan Genjah Arum, berdiri menjulang 15-meter di atas tanah, sebuah Paglak, pondok orang Using yang biasanya didirikan di pinggir sawah, lengkap dengan dua set angklung yang ditabuh mengiringi dendang lagu-lagu tradisional sembari melepas penat. Agak ke belakang dari pintu masuk, terdapat satu set Gedhogan, lesung-lesung kayu tua yang menghasilkan musik nirwana di tangan ibu-ibu petani yang menutu hasil panen. Dalam perkembangannya, Gedhogan menjadi semacam oase yang menyejukkan dengan lantunan gending yang keluar dari mulut-mulut yang selalu digandoli sisig, susur tembakau.

Agak ke belakang, ada tempat untuk menjamu tetamu, yang dilengkapi dengan mesin pembuat kopi. Di sini, tuan rumah memamerkan houseblend kepada para pengunjung. Yang paling diingat adalah peserta final Miss Coffee International 2012. Mereka digiring dari Bali untuk berkunjung ke sini.

Di atas meja ruang tamu selalu tersedia makanan khas Kemiren berupa kelemben (ada yang menyebut kue kering itu, bolu kuwuk). Kudapan ini terasa agak manis, menjadi teman menikmati kopi pahit tanpa gula yang pas. Ruangan ini menjadi saksi perkenalan saya pada secangkir kopi luwak.

Saya adalah tipe orang yang langsung berasa perut kembung setelah minum kopi. Bahkan, sekadar green-tea pun bikin perut saya jungkir balik. Iwan memaksa saya meminum secangkir kopi luwak dan tak perlu khawatir soal perut. “Kalau kopi diproses benar, disajikan dengan benar, tak akan menimbulkan kembung.”

“Rahasia rasa kopi Banyuwangi adalah dari segi geografis, semua perkebunan menghadap ke timur, jadi dapat sinar matahari awal yang cukup, dan karena di pinggir laut mendapat luapan air garam. Sementara kalau malam, mendapat tiupan uap belerang. Keasaman itu muncul kalau ditanam di atas seribu meter.”

Menurut Iwan, memang ada dua tipe penenggak kopi. Pertama, peminum kopi. Mereka ini golongan orang-orang yang punya kebutuhan meminum apa saja yang hitam. Termasuk kopi gempung overroasted. Bahkan ada gurauan, arang pada pantat penggorengan pun dikerik, diseduh mereka minum juga. Tanpa bertanya-tanya. Golongan kedua adalah penikmat kopi. Mereka ini yang biasa mencium aroma, merasakan dengan lidahnya, dan masih mencecap kenikmatan pada after taste-nya. Mereka tahu berapa takaran perbandingan robusta-arabika yang pas di lidah.

Pada golongan kedua inilah cafe dan barrista biasanya menakar kopi sesuai menu. Seberapa keras, seberapa asam, seberapa takaran houseblend menentukan jumlah sendok perbandingan arabika dan robusta, seberapa tingkat kematangan saat penggorengan, seberapa panas air, seberapa halus gilingan bubuknya, dan bagaimana cara penyajiannya.

Sayangnya, produk kopi Iwan, Kopai Osing, dengan pelafalan kopai seperti lidah orang Using melagukan kata terakhir dalam sebuah kalimat, tidak beredar luas dalam pasaran lokal. Kopi yang diberi tagline: sekali seduh kita bersaudara, ini lebih banyak tersedia sebagai tanda mata.

Berjalan dari pusat kota Banyuwangi menuju Kemiren, saya melewati desa di tepi kota. Namanya, Sukaraja. Perjalanan ini bagai napak tilas sejarah kopi Banyuwangi. Di Sukaraja ini pernah tinggal Clement de Harris, residen pertama Banyuwangi  yang diangkat tahun 1788. Ia yang membawa bibit kopi dari tanah Priyangan dan menjadikan lima buah kebun kopi sebagai asal mula perkebunan kopi di Banyuwangi. F. Epp dalam karya tulisnya, Geographie en Geonesie, tahun 1849, Harris menggunakan tenaga narapidana sejumlah 250 orang, dan 40 orang di antaranya perantean (orang yang diikat rantai).

Kini, wilayah kopi berkembang menjadi lebih dari 10.000 hektar (sekitar 90 persen menghasilkan robusta, sisanya arabika). Wilayah ini mencakup lereng Ijen hingga Raung di selatan di Kecamatan Songgon, Wongsorejo, Glagah, Licin, Kalipuro, Kalibaru, Pesanggaran, dan Glenmore. Total produksi sekitar 7.900 ton per tahun. Sebagai gambaran, luas Banyuwangi kira-kira sepuluh kali wilayah DKI Jakarta.