Mempertahankan Rasa Asli Mi Aceh

By , Rabu, 27 Juli 2016 | 20:00 WIB

Aroma bumbu yang tajam membuat jakun saya naik turun. Aroma menusuk hidung itu telah memenjara indera penciuman. Sementara, mata saya melotot memandang sepiring mi, lengkap dengan kepiting matang yang seolah tengah berenang-renang di dalam kuah merah kecokelatan.  Capit sang kepiting bagaikan melambai agar segera disantap, disekitarnya mi bewarna kuning pucat sedang menari-nari.

Pada akhirnya, saya menyerah. Seujung sendok kuah mi merayap di lidah. Rasanya agak pedas, tapi asin dan asamnya menggigit. Kuah itu berbalur dengan rasa rempah yang kentara.Tak lengkap bersantap mi aceh tanpa acar bawang merah. Dalam piring terpisah, acar begitu menggoda dengan warna bawang yang masih segar.

Saya mencoba meneteskan seulas jeruk nipis, kini rasa asamnya semakin kuat. Nikmatnya di dalam mulut semakin sempurna saat mi berbaur dengan daging kepiting.

Bang Adi, yang nama sejatinya Tarmizi, menatap saya dari ujung etalase di dapurnya, memperlihatkan senyum dan kumisnya yang tertata rapi.

Saya mengacungkan dua jempol.

Mi aceh memang kaya dengan rasa. Tak heran bila banyak pejalan yang datang ke Aceh mewajibkan diri menyicip kuliner yang satu ini. Kemashurannya bahkan sampai ke manca negera ketika sekelompok anak muda asal Perancis, Fransoa Superstar menyebut-nyebut mi aceh dalam lirik lagunya.

“Saya racik bumbu sendiri.  Ayah mengajarkan saya meracik bumbu hampir dua puluhlima tahun yang lalu.  Sampai kini, tak ada yang berubah.Saya tetap mempertahankan rasa. Bila tidak, mungkin pelanggan akan beralih ke tempat lain.  Itu rasanya seperti membuang barang berharga,” kata Bang Adi memulai obrolan kami.

Bumbu racikan sendiri baginya merupakan sesuatu yang harus dipertahankan, sesuatu yang berharga. Bumbu adalah pusaka yang sejatinya menjadi identitas yang tak tergantikan.

“Bumbu dari Aceh pasti dominan asam, pedas dan asin.Beda lagi dengan Minang, pasti dominan pedas.Nah, Jawa kan lebih ke rasa manis. Selera pelanggan beda-beda juga,” jelasnya. Mi aceh dan bumbu rempahnya yang kaya melambangkan keanekaragaman budaya masyarakatnya—Melayu, Arab, Cina, India. Pun, para pelanggannya berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang budaya.

“Kita menghargai perbedaan itu, namanya juga Indonesia,” tandasnya.

Rasa asli mi aceh mestinya dapat dipertahankan. Namun di banyak tempat, justru racikan bumbu sudah menjadi dominasi penjual bumbu di pasar-pasar. Saya kerap menikmati mi dengan cita rasa yang itu-itu saja. Tetapi, sepiring mi buatan Bang Adi menyadarkan saya akan kekayaan intelektual para peracik bumbu.

Sesungguhnya, jenis bumbu yang dia racik tak banyak yang berbeda. Di dalamnya sudah lumat bawang merah dan bawang putih, udang basah, jahe, cabe merah, garam dan rempah lainnya.Dugaan saya hanya takaran yang membuat cita rasa mi buatannya menjadi berbeda.

Dapur yang sengaja diletakkan di bagian depan warung itu seperti mengeluarkan suara ketukan perkusi. Saya menikmati suara logam atau botol kaca yang berbenturan, ditingkah suara tumisan yang terdengar seperti suara simbal. Tak ada nada maupun harmoni irama, tapi gaya memasak seperti ini tentunya didapat dari pengalaman yang panjang.  Meriah.