Gudeg dan Rekaman Perubahan Kota

By , Rabu, 27 Juli 2016 | 20:00 WIB

Bau sangit khas kayu bakar saat saya berkunjung ke dapur rumah produksi Yu Djum di Karanggayam bakda salat zuhur Rabu lalu. Delapan orang karyawan bagian dapur saling berbagi tugas. Dua orang mencuci ayam kampung, tiga orang membagi potongan ayam ke dalam ember-ember besar sesuai bagian, dua orang mengaduk enam panci besar bergantian, dan satu orang lagi bertugas memastikan nyala api untuk tiga panci besar berisi telur bebek bacem.

Tak jauh dari dapur, ada tiga orang duduk tekun membuat takir, alas makanan menyerupai bentuk mangkuk dari daun pisang di ruang tengah. Dua dari tiga orang tersebut adalah Ibu Djuwariah atau biasa disebut Yu Djum dan Haryani Triwidodo, salah satu putri Yu Djum yang mulai 2005 kedapuk menjadi kepala peracik gudeg di rumah produksi Karangasem.

Dari Haryani (58 tahun) dan pengalamannya bersama Yu Djum (86 tahun), cerita gudeg pun dibagi. Sejak dulu, dapurnya terbuka untuk siapa saja yang ingin melihat proses memasak gudeg atau bahkan ingin belajar gudeg. “Gudeg itu cara masak kok mbak, bumbunya pun sederhana, kami membuat gudeg nangka dengan banyak air, gula jawa, dan garam. Tidak neko-neko,” jelas Haryani sambil tersenyum. Keramahan ini seperti kota Yogyakarta yang terbuka bagi banyak pendatang dengan keragamannya.

Meski regenerasi peracik gudeg sudah berjalan, Mbok Wo (panggilan kesayangan Yu Djum dari putra putri dan cucunya) masih sering turun mencicipi gudeg di dapur meski kondisi fisik sudah tidak lagi prima. “Mbok Wo masih memegang prinsip orang dulu, pantang berdiam diri. Ora obah ora mangan,” tutur Haryani. Kami sering khawatir karena kesehatan beliau tidak seperti dulu,” imbuhnya. Yu Djum mulai berjualan ketika berusia 17 tahun, meneruskan usaha sang ayah. Keuletan inilah yang menjadi dasar karakter warga Yogyakarta yang dahulu banyak bekerja di sektor agraris dan niaga.

“Gudeg itu cara masak kok mbak, bumbunya pun sederhana, kami membuat gudeg nangka dengan banyak air, gula jawa, dan garam. Tidak neko-neko,” jelas Haryani sambil tersenyum.

Menjelaskan gudeg sebenarnya seperti kita menjelaskan  batik atau ikat. Gudeg adalah sebuah teknik memasak dengan proses yang lama dan penggunaan gula jawa dan garam sebagai pengawet alami. Bahan makanan yang paling sering dimasak dengan teknik ini adalah nangka muda (Artocarpus heterophyllusatau) yang sering disebut gori atau tewel dalam bahasa Jawa. Selain nangka muda, gudeg bisa menggunakan bahan seperti singkong, rebung/bambu muda, manggar/bunga kelapa, dan kluwih (Artocarpus camansi).

Sebagai teknik memasak, gudeg bisa dibuat oleh siapa saja. “Gudeg itu tanganan mbak,” jelasnya. Cita rasa gudeg sangat tergantung tangan peraciknya. Itulah mengapa, Yu Djum tidak khawatir membuka dapurnya untuk koki yang ingin belajar memasak gudeg. Beda tangan beda rasa. “Dari semua cabang gudeg Yu Djum juga begitu, rasa bisa berbeda, bisa jadi lebih enak. Saya selalu berkata jujur ke pelanggan, jangan sampai bohong soalnya rasa karena memang tidak bisa 100% sama,” jelas Haryani. Kejujuran dan sifat rendah hati ini yang membuat usaha keluarga ini bertahan meski banyak sekali ragam kuliner bermunculan di Yogyakarta.

Saya pun penasaran tentang bagaimana tangan peracik ini bisa menjelma seperti timbangan ukur untuk berpuluh-puluh panci masak ukuran besar. Frekuensi produksi yang reguler adalah jawaban dari pertanyaan saya. Peracik menjadi lihai karena kebiasaan memasak yang dilakoninya dari usia remaja. Pada usia tersebut, mulai ada tanggung jawab untuk bisa belajar memasak menu yang dimasak orang tua. 

“Takaran tangan jadi pas karena ilmu titen, jadi itu resepnya,” tuturnya sambil tersenyum.

Titen atau niteni artinya sebuah rangkaian aktivitas mencari kejelasan dari suatu kegiatan melalui pengamatan secara jeli dan mendalam. Peracik melihat, mengamati, menghafal dan menandai proses memasak baik yang dia lakukan saat ini maupun orangtuanya dahulu. Contohnya lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat gudeg. “Ya sebenarnya bisa kurang dari 2 jam, tapi ya belum enak,” tutur Haryani. Setelah 2 jam, getah buah nangka muda baru akan benar-benar hilang dan rasa legit gurih muncul dari gula jawa dan garam. Ritme pelan kota Yogyakarta yang tecermin dari menu tradisi dengan proses memasak yang lama. Serba tidak buru-buru.

Soal bahan baku, peracik gudeg Yu Djum punya cerita tersendiri. Nangka muda diperoleh dari perkebunan di Prembun Kebumen. Tekstur dagingnya dirasa paling pas dengan teknik memasak gudeg jogja dengan cita rasa manis. “Dulu sempat langka nangka muda Prembun, kami terpaksa olah nangka dari luar Jawa. Tapi tidak kami lanjutkan karena hasilnya lembek,” jelas Haryani.

Sebagai makanan tradisi, gudeg juga menjalankan fungsi lain, yakni merekam perubahan Yogyakarta. Pengetahuan tentang gudeg pun diwariskan dari generasi ke generasi dan banyak orang. Dahulu, sebelum ada gudeg kering dan gudeg kemasan dalam kaleng, makanan ini disajikan dengan areh, kuah dari santan kelapa bercampur dengan ampas minyak kelapa yang banyak sebagai menu sarapan keluarga. Beberapa menyebutnya gudeg basah karena teksturnya.

Gudeg hadir dengan menu pelengkap seperti aneka lauk, yakni telur bebek bacem, tahu, ayam, dan sambal krecek kulit sapi yang dimasak dengan kacang kedelai merah (tholo). Beberapa penjual gudeg juga membuat bubur selain nasi putih untuk menjangkau anggota keluarga berusia bayi dan orang tua. Tidak sedikit juga yang menambahkan sayuran seperti daun singkong dalam gudeg. “Biar tetap ada yang segar karena gudeg gorinya dimasak lama,” jelas putri pertama Yu Djum ini.

Beberapa orang yang saya temui melihat gudeg sebagai kendaraan untuk ingatan masa kanak-kanak dan keluarga. Sementara saya dan beberapa orang lain menyematkan tanda gudeg sebagai makanan istimewa.

Sekitar tahun 1950-an, Yogyakarta mulai dihadiri banyak kampus seperti UGM dengan mahasiswa dari luar Yogyakarta. Peracik gudeg mulai merespons banyaknya orang dari luar Yogyakarta yang mulai membawa gudeg sebagai oleh-oleh dengan gudeg dengan tekstur lebih kering dan areh yang lebih kental. Tujuannya agar bisa bertahan lama dan tetap lezat saat disantap. Cita rasanya tetap sama karena menggunakan alat produksi dan bahan bakar tradisional. “Kami tetap pakai kayu bakar untuk memasak, meski tawaran memakai kompor gas juga ada. Lebih praktis. Kalau dengan kayu, selain lebih hemat, kendali api sepenuhnya ada di kami,” jelas Haryani.