Cerita Sisi Lain Surabaya: Desa, Kota, dan Sepincuk Semanggi

By , Rabu, 27 Juli 2016 | 20:00 WIB
Gedung Siola di kawasan Tunjungan yang legendaris. Surabaya menjelma sebagai metropolitan di timur Jawa, yang perlu solusi pengurangan sampah plastik setiap harinya. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Satu hal yang membuat semanggi terasa khas, adalah makanan ini selalu dihidangkan dengan cara tradisional di atas pincuk daun pisang. Tanpa sendok, tanpa garpu, tanpa nasi, tanpa lontong. Sebagai gantinya, penjual akan memberikan selembar kerupuk puli untuk menggantikan sendok. Bila kerupuknya tandas sebelum pecel semangginya habis, itu tanda bagi pembeli harus meminta selembar kerupuk puli lagi. Cara makan yang khas seperti itu memberikan sebuah pengalaman yang melekat kuat bagi pelanggan.

Sayangnya, menemukan semanggi di Surabaya sama susahnya dengan menemukan belut di kolam lele. Para penjajanya bersifat dinamis dan selalu bergerak menyusuri ruas-ruas kota. Sehingga tak salah bila beberapa orang berpikir bahwa bertemu dengan penjaja semanggi tak ubahnya seperti mitos keberuntungan. Ketika ngidam, mereka tak kunjung datang, namun bisa saja melintas ketika kita sedang lengah.

Begitu mengakarnya ingatan warga Surabaya terhadap semanggi, pada tahun 1950an, S. Padimini, seorang musisi keroncong, menggubah sebuah lagu yang kelak menjadi klasik berjudul Semanggi Suroboyo. Lagu ini menggambarkan bagaimana Semanggi dijual dan dikonsumsi. Termasuk penjaja semanggi yang masuk keluar kampung sambil berteriak lantang: “Semmmanggiii!”     

Suasana pesisir Kota Surabaya, Jawa Timur. (Adi Wiratmo)

Gambaran mengenai penjual semanggi juga muncul dalam kesenian ludruk yang selalu membawakan cerita tentang kehidupan sehari-hari warga kampung. Penjual semanggi biasanya diperankan adalah sesosok wanita yang berjalan kenes dan berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Peran tersebut menjadi sosok figuran yang mampu menghadirkan dialog-dialog ringan di tengah para pemeran utama. “Dulu, setiap penampilan kelompok ludruknya Markuat, selalu ada tokoh Maryam, si cantik penjual semanggi,” kata Kasmuri.

Kasmuri adalah suami dari Jami, seorang wanita yang sudah berjualan semanggi selama lima belas tahun. Pasangan ini tinggal di Desa Kendung, Kecamatan Benowo yang dikenal sebagai “kampung semanggi” karena mayoritas penduduknya berprofesi sebagai penjaja semanggi. Mereka berdua menerima saya di beranda rumah kecil mereka yang asri.

Sambil berbasa-basi saya tanyakan mengenai sejarah penyebutan Desa Kendung menjadi “Kampung Semanggi”. Jami sendiri mengaku tidak tahu persis sejak kapan desanya menjadi pusat penjaja semanggi keliling. Namun yang ia ingat betul, bahwa ibu dan neneknya juga seorang penjual semanggi. “Nenek saya pernah cerita, dulu untuk berjualan semanggi, mereka harus jalan kaki ke pusat kota. Pulangnya beberapa hari sekali untuk mengambil pasokan semanggi di Benowo,” kata Jami.

“Sekarang sawah-sawah semanggi habis berganti menjadi perumahan,” ujar Jami yang merupakan penduduk asli Desa Kendung.

Desa Kendung sendiri berada di wilayah pinggiran Kota Surabaya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gresik. Konon, hanya di desa ini dan beberapa desa sekitarnya seperti Sememi dan Pakal, sawah-sawah yang ditanami semanggi masih bisa ditemukan.

Maka, saat memasuki Desa Kendung yang pertama kali saya lakukan adalah berkeliling untuk mencari petak-petak sawah semanggi. Motor saya kemudikan perlahan. Tengok kanan kiri. Tapi tidak ada satupun ladang semanggi yang tampak dari pinggir jalan.

“Sekarang sawah-sawah semanggi habis berganti menjadi perumahan,” ujar Jami yang merupakan penduduk asli Desa Kendung. Ia masih ingat, dahulu desanya dipenuhi oleh semanggi yang tumbuh liar di pematang sawah dan lahan kosong. Setiap hari, orang bisa memetik semanggi dengan bebas untuk dikonsumsi atau dijual lagi.