Rumah apung yang diikat sekitar 500 meter dari pantai, di kanan kirinya terdapat jaring apung untuk memelihara anakan Hiu yang tertangkap jaring nelayan. Saya menaiki perahu plastik berwarna kuning dengan membayar Rp5.000 pergi-pulang. Dan, tambahan Rp25.000 menyewa snorkel dan masker. Tidak sampai lima menit saya sampai di Rumah Apung yang cukup panjang. Di bawah sana, terumbu karang berwarna-warni dipenuhi dengan ikan hias kecil-kecil. Di jaring apung, terlihat beberapa anak hiu yang berenang berputar-putar, ada juga beberapa ikan hias seperti ikan bendera, ikan karang berwarna hijau. “Yang kami rawat sebenarnya anakan hiu saja. Ikan hias itu ikan liar yang masuk jaring dari kecil sekarang tidak bisa keluar,” kata Ikhwan. Anak hiu yang terjaring biasanya terluka matanya, dipelihara dalam jaring apung, setelah sembuh, anak hiu itu akan dilepas lagi ke laut lepas. Saya terjun ke dalam jaring apung dan di antara kerumunan ikan-ikan yang memakan roti dari tangan saya. Ikan-ikan liar ini tak takut dengan manusia.
Kelompok nelayan sekarang hidup dengan mengutip uang parkir dan menyewakan peralatan snorkeling dan sewa perahu. Belum lagi mereka sekarang memberikan jasa perjalanan ke Pulau Tabuhan atau bahkan Pulau Menjangan di Bali. Ternyata membuat karang tetap hidup dan menanamnya, lebih menguntungkan daripada mengambilnya untuk dijual sebagai bahan bangunan. Atau, mengambil ikan hias dengan cara meracuni ikan dengan potasium, membuat karang ikut mati.
Pada 2015 telah tercatat kunjungan sekitar 150.000 wisatawan. Dua bulan pertama tahun ini sudah terbukukan sebanyak lebih dari 100.000 orang. Andai tujuannya adalah pariwisata, yang ingin mendatangkan orang sebanyak-banyaknya, Ikhwan semestinya girang. Tetapi, kedatangan terlalu banyak orang justru merisaukan hatinya. “Saya ingin menutup papan nama di pinggir jalan raya, supaya tidak terlalu banyak wisatawan yang ke sini.” Ikhwan menyadari, terumbu karang adalah masa depan warga. Sementara itu, jumlah pengunjung wisata bukanlah tujuan utamanya.
Komunitas lain, bernama Sengker Kuwung Belambangan (SKB), tujuan utamanya juga bukan pariwisata. Bergerak di bidang pelestarian budaya, menerbitkan buku berbahasa Using, mengadakan lomba menulis, pelatihan menulis. Pada suatu saat, SKB menciptakan materi permainan untuk anak-anak yang berisi tentang kekayaan Banyuwangi dalam bentuk kuartet, menampilkan berbagai jenis hewan endemis, sayuran, bangunan-bangunan bersejarah, tempat-tempat wisata, kesenian, tari, dan ritual.
Kuartet bisa dipakai sebagai permainan anak-anak, sekaligus alat untuk belajar mengenal Banyuwangi. Karenanya kuartet ini menarik kelompok Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Asing (BIPA) di Bali sebagai alat pelajaran. Untuk orang asing memang kuartet ini bisa dimainkan, untuk mengenal Banyuwangi, sehingga oleh salah satu hotel di Banyuwangi, yaitu Wisma Blambangan digunakan untuk suvenir.
Melihat semangatnya, sebuah tempat wisata pemandian alam di daerah Taman Suruh, ikut mendukung gerakan belajar lewat kuartet ini dengan membaginya ke sekolah-sekolah di Kemiren dan di rumah literasi Batara di Papring, Kalipuro. Selain membaginya pada rombongan anak-anak sekolah yang berkunjung di Taman Suruh. Belajar sekaligus bermain.
Lain lagi dengan Annisa Febby, lulusan jurusan Desain Produk ITS Surabaya ini sengaja kembali ke tanah kelahirannya. Kepandaiannya mendesain dipraktikannya dengan ikut dalam pesta karnaval Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Suatu saat, hasil desainnya yang berupa modifikasi kostum Gandrung, masuk dalam tiga besar Putri Indonesia yang mewakili Jawa Timur. Desainnya menarik panitia Super Model Internasional yang memintanya mendesain pakaian untuk wakil Indonesia. Kostum Sunar Udara (Barong Banyuwangi) berdasar cerita legenda Barong desa Kemiren, meraih Best National Costume. Semangat ikut berkontribusi kepada dunia dari kota kecil ini perlu diacungi jempol.