Filosofi Kehidupan dari Pasar Tradisional

By , Kamis, 28 Juli 2016 | 06:00 WIB

Matahari belum sepenuhnya memancar, lalu lalang penjual pembeli bertransaksi. Di sebuah pojok, bermodalkan meja kecil, penjual kopi sibuk melayani pelanggan yang mulai mengasupkan kantong pencernaan dengan pisang goreng dan secangkir kopi. Tidak banyak teriakan-teriakan pedagang menawarkan barang dagangannya. Inilah salah satu tempat yang tidak banyak berubah di Banyuwangi.

Pasar Banyuwangi dibangun dengan filosofi yang diajarkan oleh Wali Songo, demikian kata budayawan Banyuwangi Hasnan Singodimayan. Pasar adalah jalan tengah. Pada konsep pembangunan Kota Banyuwangi pertama kali (antara tahun 1772 dan 1774), secara filosofis menyuguhkan alun-alun di tengah kota bersisi empat.

Tempat tinggal pemimpin (bupati) selalu berada di sebelah utara alun-alun. Masjid diletakkan di sebelah kanan kantor bupati. Tujuannya, menjadi pengingat bagi sang pemimpin apabila ingin baik bergeraklah ke kanan, ingatlah kepada Tuhan, dan jangan mencederai hati rakyat. Apabila pemimpin mengambil jalan sebaliknya, maka penjara dan kantor polisi ada di sebelah kiri alun-alun. (Pada perkembangannya, kantor polisi dan penjara dipindahkan ke tempat lain).

Kedua tempat itu selalu mengingatkan pemimpin: jangan melangkah ke kiri, tidak korupsi, jangan hanya menambah pundi-pundi pribadi, jangan hanya menggendutkan perut sendiri, janganlah kekuasaan hanya digunakan untuk memperkaya kerabat. Melanggar hukum ujungnya bui. Dengan begitu, jikalau ingin kaya, berdaganglah di pasar, yang berada di depan bagian selatan alun-alun—di tengah bukan kanan bukan kiri. Di sinilah rakyat berkumpul, berinteraksi dengan manusia lainnya.

Perhatian saya tertumbuk pada para penjual ikan. Beragam jenis ikan segar hasil tangkapan tersedia, seperti teri nasi, lemuru, terongan, tongkol, bengkunis, pethek, putihan, dan bandeng laut. Saya menghampiri penjual ikan yang menjajakan keleng jepang. Jenis ini adalah pemakan karang yang mulutnya seperti paruh burung nuri. Susah dipancing, tetapi menjadi hadiah yang sangat menyenangkan untuk pemancing karena dagingnya yang sangat lembut, putih, dan gurih. Apalagi kalau dipepes kering ala Orang Using. Ikan ini disebut keleng jepang, karena berwarna putih dengan bundaran merah menyala di tengah badan.

Menurut sejarah, Orang Using kerap dihalau oleh penjajah Belanda untuk menjauhi pantai. Dengan tinggal jauh dari tepian, maka mereka tidak mudah menyeberang ke Bali untuk meminta bantuan saat melakukan perlawanan.

Jenis keleng lainnya adalah keleng batu (berwarna hijau, abu-abu, kadang biru dengan guratan seperti batik di kepala). Penjual ikan selalu orang keturunan Madura, karena Orang Using asli hanyalah petani. Menurut sejarah, Orang Using kerap dihalau oleh penjajah Belanda untuk menjauhi pantai. Dengan tinggal jauh dari tepian, maka mereka tidak mudah menyeberang ke Bali untuk meminta bantuan saat melakukan perlawanan. Bahkan sampai-sampai istilah “nelayan” dalam Bahasa Using tidak ada yang khusus. Mereka disebut “wong njaring” (penjaring ikan) atau “wong mancing” (pemancing ikan). Kosa kata tentang kehidupan nelayan juga tidak begitu banyak. Hal ini berbanding terbalik dengan beragam kata dalam bidang pertanian yang begitu kaya.

Karena laut hanya dua kilometer dari kota, kadang kala saya masih menemukan hasil pancingan yang masih hidup dijajakan di pasar, penutup insangnya masih bergerak-gerak. Kadang udang hidup masih loncat-loncatan. Orang Using punya satu istilah yang tidak saya temukan dalam Bahasa Jawa ataupun Bahasa Indonesia, yaitu “manju”, berarti ikan yang sudah busuk. Ditandai dengan insang berlendir dan tidak berwarna segar serta mata yang memerah. Anak-anak kecil yang lewat jam tidur, menahan kantuk sampai matanya memerah, biasanya disuruh tidur dengan ucapan: “Matane wis kaya iwak manju” (Matanya memerah seperti ikan busuk). 

Hidup dekat laut membuat Orang Banyuwangi mudah mendapatkan ikan segar di pasar, yang belum manju.  Mereka tidak akan memilih ikan manju. Tetapi, apresiasi mereka terhadap kesegaran ikan di pasar kadang perlu diingatkan. Untuk perantau seperti saya, yang menemukan ikan di pasar Jakarta dalam kondisi sudah dibekukan sekian hari, kalau tidak dalam kondisi disimpan dalam es, atau yang lebih parah disiram formalin, ikan Banyuwangi terasa manisnya. Meski keleng termasuk ikan paling enak, warga paling suka dengan kepala ikan putihan. Bahan lauk ini tidak dipelas kering, tetapi dibuat kuah koyong. Olahan ini  seperti pindang serani dengan semua bumbu-bumbunya—bawang putih, bawang merah dan daun segarnya, cabai, kunyit, jahe, belimbing wuluh ditambah keprekan serai—diiris serta tidak diuleg. Sup ini terasa asam nan pedas. Lidah Orang Banyuwangi tidak seperti selera Orang Jawa. Cita rasanya, hampir semua asin, pedas, dan asam.

Saat kanak-kanak sampai 1980-an, saya tidak pernah menemukan orang menjual ikan tawar, seperti lele, mujair, atau gurame. Orang Banyuwangi tidak pernah makan ikan air tawar. Anak-anak Banyuwangi, makan ikan darat seperti lele, mujair, atau belut, hanya kalau kita mendapatkannya dengan memancing sendiri di sungai. Baru tahun-tahun belakangan ini saya menemukan ada orang jual lele dan gurame di pasar. Salah satu ikan darat yang menjadi favorit Orang Banyuwangi adalah uling atau sidat. Penggemar sidat tentu setuju kalau pepes sidat, terutama kepalanya, merupakan makanan yang dikirim dari surga. Gurihnya, nomor satu.

Orang Banyuwangi tidak pernah makan ikan air tawar. Anak-anak Banyuwangi, makan ikan darat seperti lele, mujair, atau belut, hanya kalau kita mendapatkannya dengan memancing sendiri di sungai.

“Ikan keleng jepang ini paling enak kalau dipelas,” sebut seorang penjual ikan berlogat Madura yang menebalkan suku kata tertentu dengan kental. Cara masak dipelas atau dipepes, tanpa menyertakan tomat dan biasanya terasa agak pedas. Bahan olahan berbungkus daun tidak dikukus, langsung dibakar di atas penggorengan tanah. Makanan dinyatakan siap saji ketika bungkus daunnya gempung, gosong. Tidak seperti jenis keleng yang lain, keleng jepang hidup di area berpasir di kedalaman lebih dari 10 meter. Mulutnya yang kecil, membuat  nelayan kesulitan memancingnya. Ikan ini juga  agak sulit dijumpai di pasar. Penyebabnya, sejumlah nelayan lebih memilih memasak sendiri hasil tangkapan itu. Dengan demikian, saya merasa mendapatkan anugerah saat mendapatkan ikan ini di Pasar Banyuwangi.

Orang Banyuwangi kebanyakan menjual sayuran, hasil dari kebun. Orang Desa Penataban yang berada di sebelah barat kota, selalu menjual beweng, logat mereka untuk mengatakan bawang merah berdaun segar. Kata salah seorang penjualnya, beweng dari Penataban makin sedikit karena lahan pertanian menyusut. Kini bawang didatangkan dari Wongsorejo, di daerah utara di dekat wilayah Baluran. Tetapi, pengepulnya adalah Orang Penataban.

Beberapa sayuran terlihat melimpah, seperti terong welut, yang berukuran sebesar ibu jari dengan panjang 10-15 sentimeter ini menjadi menu wajib untuk dikukus dan dicocolkan dengan sambal Nasi Tempong. Selain mentimun serta bayam, ada pakis, bunga turi, gundha (yang seperti kangkung tetapi agak berlendir). Yang jarang ditemukan di daerah lain adalah sayuran kelenthang, buah dari pohon kelor. Cara menjualnya, diikat setiap tiga buah. Daun kelor juga dijual dalam bentuk ikatan. Kelor disayur bening dengan kunci, sementara kelenthang disayur asam atau dijuluki juga sayur “uyah asem”.

Saat penghujan tiba, kita sering menemukan buah belencong, sayur yang eksklusif ditemukan di pasar tradisional ini. Saya berani menyebut demikian, lantaran saya belum pernah menemukannya di daerah lain. Bentuknya, seperti cabe besar— berwarna hijau muda berujung lancip. Pohon belencong menjalar dan batangnya lama-kelamaan mengeras seperti kayu. Ular hijau kerap menghuni rantingnya. Saat memetik, harus hati-hati dengan menggoyang-goyangkan ranting, mengusir ular yang kemungkinan bertengger.