“Kalian tidak boleh injak tanah ini!” hardik seorang pria. Di tangannya, tergenggam erat sebilah parang. Lelaki itu tidak sendiri. Ia didampingi oleh dua orang lainnya yang juga membawa parang dan kapak. Lantas, kalimat selanjutnya mengalir bagai air bah. Ia mengatakannya dengan sangat cepat dan nada tinggi. “Kalau kalian ke sini cuma datang terus pergi, hanya lihat-lihat saja, kalian anggap kitorang ini apa? Kitorang bisa bunuh kalian!” ujarnya sembari mengacungkan kelewang.
Pengalaman dramatis itu dikisahkan kepada saya oleh Yudhantara Pinem, salah satu awak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Tinggi, salah satu distrik di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Ia tengah bertugas mengumpulkan data citra dan spasial untuk pemetaan data kebudayaan.
Kemarahan yang tersirat jelas itu tentu membuat siapa saja yang mendengarnya terkesiap dan gentar, termasuk Yudhan. Dia membeku di tempatnya berdiri, tak jauh dari bibir sungai. Ketegangan menyelimuti suasana saat itu karena ketiga lelaki bersenjata itu masih saja melemparkan pandangan marah.
Seorang penduduk setempat yang turut mengantar Yudhantara, akhirnya maju dan mencoba berbicara pada ketiga lelaki itu. Entah apa yang dikatakannya, tetapi setelah beberapa saat, akhirnya ketegangan mulai mereda.
“Maaf kami seperti ini karena kami kecewa terhadap beribu-ribu janji yang tidak kunjung terpenuhi setiap ada kunjungan ke tanah ini,” ujar pria yang mengacung-acungkan kelewang tadi. Usai kemarahannya mereda, sikap lelaki garang itu melunak. Ia memperkenalkan diri, namanya Agustinus Bario.
“Kalau kalian ke sini cuma datang terus pergi, hanya lihat-lihat saja, kalian anggap kitorang ini apa? Kitorang bisa bunuh kalian!”
Untuk mencapai Tanah Tinggi, perjalanan ditempuh kurang lebih selama satu jam dari Dermaga di Tanah Merah, Ibu kota Boven Digoel, menggunakan speedboat dengan mengarungi sungai terpanjang di selatan Papua, Sungai Digoel. Sungai itu mengalir dari Pegunungan Sterren dan bermuara di Laut Arafura. Menurut penuturan warga setempat, sungai ini masih dihuni buaya-buaya ganas yang kerap muncul di tepian sungai.
Awal 1927, Gubernur Jenderal De Graff mengeluarkan perintah untuk membangun tempat pembuangan dalam negeri (kamp interniran) di Boven Digoel untuk mengasingkan mereka yang dianggap membahayakan kedudukan pemerintah kolonial. Kamp konsentrasi terbagi menjadi dua lokasi, di Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Kamp konsentrasi di Tanah Tinggi, dikhususkan bagi orang-orang buangan yang nonkooperatif atau sulit bekerja sama dengan pemerintah kolonial.
Yudhan melanjutkan kisahnya kepada saya. Dari tepian sungai, ujarnya, Agustinus mengajak rombongan kecil itu menyusuri jalan setapak. Di kanan-kiri, pohon-pohon menjulang angkuh. Rombongan itu berhenti tak jauh dari sebuah rumah kayu yang amat sederhana. Di depan rumah, terpancang tiang kayu dengan bendera Merah Putih di puncaknya. Dia tertegun. Di ujung timur Nusantara, Merah Putih berkibar anggun, mengukuhkan Indonesia sebagai pemilik wilayah ini.
Tak banyak jejak-jejak fisik sejarah yang tertinggal di Tanah Tinggi. Agustinus menunjukkan lokasi barak tentara Belanda pernah berdiri. Tetapi, barak itu telah lama roboh, dan hanya menyisakan pondasi bangunannya. Posisi barak tentara ini berada dataran paling tinggi, sehingga sangat strategis karena bisa mengontrol kamp penahanan yang berada di tepi sungai. Sayangnya, saat ini sebagian besar lokasi kamp tahanan tadi sudah longsor tergerus arus sungai.
Sekitar 300 meter dari barak kolonial, terdapat sebuah sumur sebagai sumber air bersih. Akses untuk menuju ke sumur itu berupa jalan yang dulunya dibangun secara paksa oleh para tahanan.
“Inilah tanah hutan belukar yang sunyi, yang terasing dari dunia dan pergaulan luar,” ujar Oen Bo Tik, salah satu tahanan politik (tapol) di zaman Belanda yang pernah mencecap kegetiran hidup dalam pengasingan di pelosok timur Indonesia.
Sunyi, tak terdengar suara apa pun kecuali angin yang mendesau dan pekik kakatua yang bersahut-sahutan dari dalam rimba. Cuma sebagian saja tanah yang sudah terbuka, di sana-sini, hanya ada hutan dan hutan belaka. Oen Bo Tik menggambarkan suasana Boven Digoel saat pertama kali Ia menginjakkan kakinya di tanah buangan itu pada 1927 dalam karyanya yang berjudul Darah dan Air Mata di Boven Digoel.
Pada masa itu, nama Digoel telah menjadi momok yang menggentarkan siapa pun yang mendengarnya. Tak bisa disangkal, Belanda telah memilih tempat yang amat tepat sebagai tempat pembuangan. Sekali di-Digoelkan, orang ibarat menandatangai kontrak kematian. Dataran terpencil di pelosok Papua itu dikelilingi oleh rimba belantara dan terisolasi sempurna dari dunia luar. Digoel kala itu dikenal dengan alamnya yang bengis, serangan malaria yang mematikan dan suku-suku pedalaman Papua pemakan manusia.