Tetapi, di tanah buangan ini, pembunuh sebenarnya bukanlah malaria, atau pun suku pemakan manusia, melainkan kebosanan dan ketidakpastian. Kebosanan itu, membenamkan orang-orang buangan ke dalam lembah keputusasaan, yang perlahan menggerus kewarasan mereka. Banyak tahanan yang hancur mentalnya, hingga berakhir mengenaskan.
“Inilah tanah hutan belukar yang sunyi, yang terasing dari dunia dan pergaulan luar.”
Hampir sembilan dekade setelah kedatangan Oen Bo Tik dan para tapol di Digoel, saya mendapat kesempatan berharga untuk menapak tilas jejak sejarah di bekas tanah buangan ini.
Perjalanan darat dari Merauke menuju Boven Digoel memakan waktu sekitar delapan jam, menggunakan mobil berpenggerak empat roda. Kami membelah rimba dan rawa di Taman Nasional Wasur. Kemudian, menyusuri kawasan perbatasan dan terus menuju arah utara.
Sinar lampu mobil kami menembus kegelapan malam. Selain lampu mobil, tak ada penerangan lain. Tiba-tiba, kecepatan mobil menurun. Saya, yang duduk di kabin belakang, menjulurkan kepala di antara supir dan penumpang di depan untuk mengetahui apa penyebabnya. Terhampar di depan sana, jalanan tampak seperti habis disiram berton-ton bumbu pecel!
Saya duduk di dalam mobil angkutan kota berwarna oranye cerah yang tengah merayap di jalanan nan lengang. Wajah Boven Digoel memang telah banyak berubah dari gambaran yang dituturkan Oen Bo Tik. Lebih banyak hutan yang dibuka untuk permukiman, kawasan kantor pemerintahan dan berbagai fasilitas umum. Selain itu, pekik kakatua dari rimba raya tak lagi terdengar.
Dari balik jendela angkot yang setengah terbuka, saya menyaksikan bagaimana kehidupan masyarakat di bekas tanah buangan ini mulai bergeliat. Di pinggir jalan, warung-warung dan toko-toko mulai bermunculan, menyelingi pemandangan berupa semak-semak dan tanah kosong. Meski demikian, daerah ini masih agak terisolasi karena akses perjalanan darat yang jauh dengan beberapa titik jalan yang rusak parah.
Sopir angkot yang saya tumpangi menghentikan mobilnya di depan patung pria berpeci dan berkaca mata dengan telunjuk yang menunjuk ke arah bawah. Patung itu menggambarkan sosok Mohammad Hatta, yang dikenang sebagai salah satu sosok pergerakan nasional.
Bung Hatta memang termasuk pejuang yang pernah dibuang ke Digoel. Ia menginjakkan kaki untuk pertama kali di Digoel sebagai orang buangan sekitar tahun 1935. Bersama Bung Syahrir, ia mengecap getirnya kehidupan di Boven Digoel. Namun, pada akhirnya mereka dipindahkan ke Banda Neira pada 1936.
Sepelempar batu dari patung Bung Hatta, bekas penjara Boven Digoel masih abadi. Kompleks penjara yang dikelilingi pagar tembok dan kawat berduri itu terdiri atas dua blok. Satu untuk tahanan politik, sementara satu lagi khusus untuk tahanan kriminal. Ruangan-ruangan di kompleks penjara bervariasi ukuran dan kapasitasnya. Ruangan berbentuk sel diperuntukkan untuk perorangan, sementara barak bisa menampung hingga 50 tahanan. Kompleks penjara itu juga dilengkapi dengan dapur, tempat penyimpanan logistik di bawah tanah, tempat tahanan wanita, kantor administratur, dan tower air yang merangkap sebagai menara pantau.
Sejak 26 Maret 2007 silam, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan bangunan bersejarah tersebut sebagai Cagar Budaya Nasional. Penetapan situs-situs bersejarah menjadi cagar budaya penting dilakukan. Selain untuk menyelamatkan aset penting bangsa secara fisik, penetapan cagar budaya juga merupakan salah satu upaya memperkuat identitas bangsa. Tampaknya, Boven Digoel telah ditakdirkan untuk selalu dikenang.
Papua memang populer di kalangan wisatawan karena keindahan alamnya. Namun, Boven Digoel menawarkan hal yang jauh berbeda. Tanah bekas pengasingan ini mengajak para pejalan bertualang ke masa lampau. Di sini pejalan berkesempatan menapak tilas jejak Bung Hatta, Bung Syahrir, dan pejuang kemerdekaan lainnya ketika menjalani masa pengasingan mereka.
Menjelajahi Boven Digoel membuat saya kian takzim pada mereka yang rela hidup di sini demi cita-cita bangsa. Sepulang dari perjalanan ini, saya menemukan buku yang berkisah tentang tempat ini. Saya pun mengamini ungkapan dari seorang sejarawan kawakan di buku itu: “Pengasingan di Digoel mengingatkan kita bahwa negeri ini dibangun oleh pemimpin-pemimpin yang mau menderita.”