Helem foi, Sentani!

By , Senin, 5 September 2016 | 12:10 WIB

“Jalan ini dibuat oleh tentara sekutu,” ujar Elvis Kabey sembari merujuk jalan yang kami lewati. “Hanya dua minggu tentara sekutu membuat jalan ini.” Elvis, seorang penggawa Dinas Kebudayaan Kabupaten Jayapura, menemani perjalanan kami menuju Distrik Depapre yang berada di barat Kabupaten Jayapura. Tujuan kami, menyaksikan remah tangki bahan bakar peninggalan Perang Dunia Kedua

Menurut sejarah, pasukan sekutu pada Perang Dunia Kedua mengepung pasukan Jepang yang mempunyai pangkalan di Sentani dari Depapre dan dari Pantai Hamadi, Jayapura. Di Depapre, pasukan sekutu membangun tangki-tangki minyak berukuran besar dan dermaga kapal perang. Dari Depapre pasukan sekutu menyerbu pasukan Jepang yang bermarkas di Lapangan Terbang Sentani.

Setiba di Depapre, kami menuju ke Kantor Kecamatan. Namun, karena hari masih pagi, di kantor itu masih belum ada pegawai yang terlihat. Akhirnya, kami memutuskan untuk langsung menuju sebuah tangki yang merupakan situs yang dilindungi oleh kaidah tentang benda cagar budaya.

Sebuah tangki bertangga dengan warna merah mengilap berada di pekarangan gereja. Bagian bawah tangki ini diberi warna hitam, sepertinya belum begitu lama tangki ini dicat ulang. “Banyak pengunjung dari luar kota yang melihat tangki ini,” ucap seorang ibu yang rumahnya tak jauh dari tangki ini. “Sampai naik-naik ke atas tangki.”

Elvis Kabey berbincang dengan seorang pria paruh baya—saya lupa namanya. Saat saya mendekat, lelaki itu berkata, “Ada sekitar 23 tangki di sekitar Depapre ini, tapi banyak yang terbengkalai.” Saya bertanya soal tangki mana yang masuk dalam situs cagar budaya, dia menyahut, “Kalau tangki yang di sana setahu saya memang ada yang merawat, hampir setiap minggu ada yang membersihkan, tapi sudah beberapa minggu saya tidak melihat lagi.”

“Ada sekitar 23 tangki di sekitar Depapre ini, tapi banyak yang terbengkalai.”

Setiba di tangki cagar budaya, saya hanya menghampiri sebentar saja karena lebih tertarik dengan tangki berwarna cokelat karat yang saya lewati sebelum tiba di sini. Tangki tersebut dikelilingi semak, bagian timurnya sudah koyak termakan usia. Di bagian utaranya masih terdapat angka 24 berwarna putih dan terdapat plakat yang memberikan info tahun pembuatan dan pabrik pembuat tangki itu. Kami pun memperkirakan ada 24 tangki yang ada di Depapre ini, jadi bukan 23 seperti yang disebutkan oleh pria tadi.

Saat saya hendak pamit untuk melihat tangki itu lelaki tadi menceritakan keresahannya. “Saya takut kalau terbengkalai seperti ini, akan ada orang yang membongkar tangki-tangki ini untuk dijual rongsokannya,” ucapnya. “Apalagi sekarang di sini sedang dibangun pelabuhan, bisa makin gampang rongsokan tangki ini dibawa.”

Kembali ke cagar budaya, tangki yang ini dicat warna hitam di bagian bawahnya dan warna merah dua pertiga atasnya, dengan warna yang sudah pucat—sepertinya tangki yang berada di halaman gereja pengecatannya mengacu ke tangki ini. Sekelilingnya diberi pagar, di dalamnya terlihat rerumputan yang sudah mulai meninggi. Dan tentu saja terdapat penanda kalau bangunan ini merupakan cagar budaya.

Ada dua tangki lagi yang kami temui di jalan menuju Tablanusu, satu tangki terdapat di kerimbunan pepohonan di kebun milik warga, sekeliling tangki berwarna cokelat karat ini dipenuhi lumut dan jamur, beberapa bagian ditumbuhi tanaman merambat. Bagian atasnya ditumbuhi tanaman paku.  Satu lagi terletak tidak terlalu jauh dari pinggir jalan, juga berwarna cokelat karat dengan corak putih jamur, bagian atasnya ditumbuhi tanaman dan banyak terdapat batang dan ranting pohon yang sudah kering.

Kami sempat singgah di sebuah landasan meriam milik tentara sekutu pada Perang Dunia Kedua. Landasan yang berada di kampung Dosai, Distrik Sentani Barat ini mengarah ke Kota Sentani yang merupakan basis tentara Jepang.

Tujuan berikutnya adalah Tugu MacArthur. Saya mengabadikan tugu yang berbentuk segi lima berwarna kuning dan hitam itu dengan kamera. Di badan tugu terdapat keterangan berbahasa Indonesia dan Inggris yang menjelaskan di tempat tugu ini berdiri dahulu merupakan Markas Besar Umum Daerah Pasifik Barat Daya, pasukan sekutu yang dipimpin oleh Jendral Douglas MacArthur.

Tengara jejak Perang Dunia di tanah Papua ini terletak di Ifar Gunung, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura. Berada dalam lingkungan Resimen Induk Kodam (Rindam) XVII/Cenderawasih Sentani.

“Saya takut kalau terbengkalai seperti ini, akan ada orang yang membongkar tangki-tangki ini untuk dijual rongsokannya.”

Saat hendak mengabadikan panorama Danau Sentani, tiba-tiba sebuah mobil keluarga berhenti di belakang saya. Lalu segenap penumpangnya berhamburan mencari lokasi yang bagus untuk berswafoto dengan pemandangan lanskap Bandara dan Danau Sentani. Mereka berkumpul kembali dan salah seorang dari rombongan tadi menyapa saya, “Mas, bisa minta tolong fotoin enggak?” seraya menyerahkan kameranya kepada saya. Kebetulan, saat itu juga sedang mencari lokasi yang bagus untuk memotret. Setelah itu, mereka lalu duduk-duduk seraya memandang hamparan lanskap Sentani, beberapa sambil memainkan gawainya, tanpa menghiraukan tugu yang menjadi cagar budaya.