“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”
Sebermula adalah sabda.
Tentu, Simon Petrus, sang pengikut Yesus, menyangkal hal itu pada malam Perjamuan Terakhir. Pun, ia berkhianat jua.
Tatkala cerah petang tak semuram wajah Jakarta, saya menapaki pelataran sebuah gereja yang berwarna kuning gading. Keberadaannya tak jauh dari Pasar Baru, Jakarta Pusat. Warga menjulukinya sebagai Gereja Ayam karena pada puncaknya, bertengger seekor ayam jago.
Selajur timbul nostalgia samar semasa kecil saat saya bersekolah di sebuah yayasan Kristen di Kota Medan. Saya bersemangat mendendangkan lagu perayaan Natal setiap tahun.
“Glo..... ria, muliakan Tuhan...”
Inilah lirik yang mau tak mau bersemayam dalam ingatan bawah sadar. Karena pada larik itulah saya selalu meninggikan suara.
Di gereja itu saya berjumpa dengan Pendeta Adriano Wangkay yang periang. Ia tertawa mendengar cerita saya tadi. Lantas, sang pendeta itu menuturkan hal serupa. Bahwa, sebaliknya, ia pernah dibesarkan di lingkungan Muslim.
Kehidupan masa lalunya yang plural, ditempa pula dengan pengalaman berpindah-pindah tempat di Indonesia. Tampaknya, pengalaman itulah yang membentuk mental anti-sukuisme. Sebagai pendeta, ia tak boleh fanatik, ujarnya.
Gereja Ayam mengingatkan orang pada sebuah simbol atas peristiwa penyangkalan seorang pengikut Yesus. Seperti takdir sebuah nama, gereja ini pun lahir demi sebuah penyangkalan atas perbedaan kelas.
Pendeta Adriano berkisah tentang awal sejarah berdirinya gereja ini. Boleh dikata, latar belakangnya adalah kecemburuan sosial. Dia bercerita, Willemskerk telah lebih dahulu berdiri megah di Gambir sejak awal abad ke-19, kini Gereja Immanuel. Namun, tampaknya, saat itu Willemskerk tak terbuka bagi warga golongan bawah—Bumiputra, Tionghoa, dan India yang utamanya adalah pedagang. Pemisahan strata sosial dan ras dalam segala bidang bagai lumrah adanya di Hindia Belanda.
Kemudian, Pendeta Adriano melanjutkan, sebuah kapel mungil lahir di sudut Pasar Baru pada 1856. Namanya, Haantjeskerk—yang bermakna Gereja Ayam.
Sayangnya, kapel itu tak kuasa menampung golongan bawah yang menghuni sebagian besar wilayah Pasar Baru. Apalagi, pada 1903, di samping kapel dibangun rumah penampungan orang jompo yang turut beribadah ke kapel sempit yang kian melapuk itu.