Merayakan Suka Cita Yogyakarta

By , Rabu, 18 Januari 2017 | 18:28 WIB

Semesta tampaknya merestui ayunan musik jaz di Yogyakarta. Pada 2007, Djaduk Ferianto muncul membawa inisiatif untuk membuat pagelaran musik jaz. Di sela kesibukannya dalam sebuah pagelaran musik, Djaduk berkata kepada saya, “Seniman-seniman di Jogja terlalu asyik berkarya. Sering kali mereka lupa bahwa ketika mereka berkarya artinya sedang membuat produk.” Kemudian, muncul embrio gagasan dari kepalanya, “Nah, siapa yang mengurusi produknya ini?”

Djaduk menjelmakan gagasan itu dalam acara bernama Ngayogjazz. Sedikit demi sedikit, panggung Ngayogjazz mulai menjadi wadah apresiasi, mempertemukan seniman tradisi dan jaz modern dalam satu pentas. Pentas Ngayogjazz telah menginjak kali kesepuluh, dan swing, dasar ritme jaz yang menjadi jiwa dari festival ini, belum juga berhenti mengalun.

Semangat berimprovisasi untuk menghasilkan pagelaran musik yang indah bagi sesama, tampaknya terus dipelihara. Tahun ini, Padukuhan Kwagon dipilih sebagai tempat acara. Sentra industri genting terbaik itu letaknya di dusun barat kota Yogyakarta. Sekitar satu jam untuk menjangkau lokasi.

Ada tujuh panggung Ngayogjazz pada November silam. Panggung Kodok, Kripik, Kepus, Wuwung, Garuda, Paris, dan Morando. Belakangan, saya baru tahu bahwa nama-nama ini merupakan jenis genting produksi lokal, yang juga elemen artistik guna mempercantik wajah desa. Dalam pagelaran itu tidak hanya musik jaz yang ditampilkan, tetapi juga jathilan, bregada, karawitan, rampak buto, sampai kirab ogoh-ogoh turut menambah semaraknya festival ini. Apalagi Ngayogjazz hadir dengan konsep wisata jaz. Pengunjung pun tidak hanya menikmati musik, tetapi juga suasana desa setempat.

Saya menemukan sesuatu yang mengagumkan ketika jaz yang dikenal elite dan sulit dicerna, lantas dihadirkan secara cuma-cuma di tengah suasana desa khas Yogyakarta.

Layung senja perlahan turun. saya berencana menonton penampilan Fariz RM. Sekilas melihat jadwal acara, saya bergegas menuju panggung Kepus. Di tengah perjalanan, saya berpapasan dengan ibu-ibu bermukena yang hendak pergi ke surau. Saya memandangi air mukanya yang ramah. Ia menyilakan saya lewat, seolah sudah tahu ke mana tempat yang hendak saya tuju. “Monggo mbak, panggungnya tinggal belok kiri di depan.”

Saya tertegun begitu tiba di lokasi. Panggung yang dijanjikan berada di seberang sungai kecil, persis menghadap ke arah penonton. Lampu pentas menyorot ke berbagai arah. Saya dan penonton lain duduk di bawah rimbunan pohon bambu menunggu kejutan apa lagi yang akan dihadirkan. Seorang bapak menjajakan wedang ronde panas. Sambil menyeruput, saya mengamini perkataan teman pegiat musik Yogyakarta, Gisela Swaragita. “Menonton pertunjukan musik sesungguhnya tidak hanya dinikmati telinga saja,” tuturnya. “Segala sesuatu yang berada di sekelilingmu juga akan berpengaruh terhadap apresiasi yang diberikan.”

Bagi saya, yang hidup di kota ini, berkunjung ke Ngayogjazz dan Pasar Keroncong telah menghadirkan pengalaman menonton yang baru. Tak sekadar menikmati pertunjukan musik, dua festival ini menandai kelindan warga Yogyakata dengan musik mereka. Keintiman nan bersahaja itu layaknya makna lirik berbahasa Belanda yang didendangkan gadis biduan berkebaya encim, Beri saja aku nasi goreng, dengan telur dadar, sambal dan kerupuk serta segelas bir.

Mereka begitu intim, begitu hidup.