Hari Mangrove Sedunia, Merawat Benteng Terakhir di Ekosistem Pesisir

By Fadhil Ramadhan, Senin, 26 Juli 2021 | 07:00 WIB
Kaum perempuan dan lelaki Kampung Enggros memelihara kelestarian lingkungan alam di kawasan Teluk Youtefa. Mereka melakukan pemulihan di kawasan hutan mangrove, juga transplantasi karang di kawasan Teluk Youtefa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id—Hutan mangrove merupakan aspek penting dalam kehidupan. Ia menjadi paru-paru bagi bumi, sekaligus melindungi masyarakat pesisir dari risiko terkena gelombang tinggi atau tsunami. Hutan mangrove pun merupakan habitat bagi kerang dan biota laut lainnya, selama memiliki kualitas air laut yang bersih. Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia, tetapi juga kerusakan di wilayah hutan mangrove banyak terjadi di Indonesia. Mangrove merupakan penyelemat ekosistem pesisir.

Setiap 26 Juli, seluruh dunia memperingati Hari Internasional untuk Konservasi Ekosistem Mangrove. Peringatan ini diproklamasikan UNESCO pada 2015. Tujuannya, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya ekosistem mangrove sebagai "ekosistem yang unik, khusus dan rentan” dan untuk mempromosikan solusi untuk pengelolaan, konservasi, dan penggunaannya yang berkelanjutan.

Sejarahnya berawal di Ekuador, Amerika Selatan. Tingginya permintaan pasar ekspor untuk komoditas udang menyebabkan pertumbuhan tambak udang yang mengorbankan hutan-hutan mangrove. Bahkan masyarakat lokal banyak yang terusir dari lahan miliknya, sementara di sisi lain tanah dan air mengalami polusi.

Akhirnya, pada 26 Juli 1998 terjadi aksi besar di Ekuador bersama organisasi lingkungan dari beberapa negara tetangga—Honduras, Guatemala, dan Colombia. Aksi ini menyuarakan penolakan terhadap penebangan mangrove yang semakin merajalela. Tragisnya, salah seorang aktivis lingkungan yang ikut dalam aksi bersama tersebut mengalami serangan jantung dan meninggal dunia. Berikutnya, setiap tahun warga di negara-negara itu mengenang pengorbanan para pelestari mangrove. 

 

 

Pada kawasan hutan mangrove, kerap terjadi pencemaran lingkungan, juga penebangan liar. Dalam hal ini, Polisi Laut berperan penting dalam penjagaan di kawasan hutan mangrove. Pemerintah setempat, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), beserta masyarakat setempat harus turut berperan dalam menjaga kelestarian hutan mangrove, agar hutan mangrove dapat berfungsi dengan baik.

Luas hutan mangrove Indonesia yaitu 3.496.768 hektar, yang tersebar dari pesisir Aceh hingga Papua. Luas hutan mangrove kita mencakup 22.4 persen luasan mangrove dunia; jumlah yang cukup besar. Secara tidak langsung, Indonesia berperan penting sebagai paru-paru alami sekaligus menjaga lapisan ozon yang kian menipis. Namun, pada saat yang sama, Indonesia merupakan penyumbang kerusakan hutan mangrove tertinggi di dunia.

Walaupun bukan isu yang populer di Indonesia, isu lingkungan semacam ini setidaknya menarik perhatian berbagai kalangan. Isu lingkungan kurang mendapat perhatian lantaran dampaknya yang lambat dan tidak langsung dirasakan. Tidak sedikit masyarakat dari berbagai kalangan melakukan aksi dan kampanye untuk menjaga ekosistem hutan mangrove, tetapi permasalah yang terjadi di sana seolah tak kunjung usai.

Baca Juga: Ancaman Kota-kota Pesisir dan Upaya Pelestarian Ekosistem Mangrove

Hamparan mangrove dan cemara laut tumbuh subur di pesisir utara Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Hutan mangrove kita membutuhkan strategi yang tepat dalam melakukan rehabilitasi dan restorasi ekosistem hutan mangrove. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Indonesia pernah mengalami kegagalan. Salah satau penyebabnya adalah pemahaman yang salah bahwa rehabilitasi ekosistem mangrove, hanya sebatas menanam kembali bibit mangrove. Padahal tidak demikian.

Program rehabilitasi hutan mangrove memerlukan langkah-langkah yang matang, dimulai dari perencanaan, hingga tahap evaluasi. Manajer Program Ekosistem Kelautan Yayasan Kehati, Yasser Ahmed, melihat perlunya pendampingan pada program rehabilitasi ekosistem mangrove yang dilakukan oleh beberapa pegiat CSR di Indonesia.

Baca Juga: Tim Peneliti Belanda: Mangrove di Pesisir Jawa Dibekap Sampah Plastik

Hutan Perempuan, hamparan mangrove yang dimuliakan oleh warga Kampung Engros, Teluk Youtefa, Jayapura. Hutan ini didedikasikan untuk para peremuan sebagai ruang berbincang privat. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Bagi Yasser, Perbaikan ekosistem mangrove tidak semudah membalikan telapak tangan, menanam bibit, kemudian ditinggal begitu saja. Rehabilitasi ekosistem mangrove memerlukan intensitas dan keterlibatan beberapa pihak, terutama masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Penanaman mangrove pun harus memperhatikan 3 aspek penting, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi.

“Secara garis besar, ketepatan dalam mengonsepkan program rehabilitasi mangrove merupakan kunci sukses keberhasilan rehabilitasi mangrove,” terang Yasser. “Hal ini dimulai dari proses menyusun perencanaan, implementasi dan monitoring. Lalu melakukan evaluasi pada program rehabilitasi dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi.”

Dari aspek ekologi, pemulihan mangrove perlu memperhatikan kondisi lahan dengan kesesuaian jenis mangrove yang akan ditanam, sehingga bibit mangrove dapat beradaptasi dan bertahan pada lahan tersebut. Metode ini disebut dengan zonasi mangrove. Indonesia memiliki kekayaan jenis mangrove tertinggi di dunia. Namun, jika jenis mangrove ditanam bukan pada habitatnya, maka mangrove tersebut kemungkinan akan sulit tumbuh atau mati.

Baca Juga: Elegi Hutan Mangrove tentang Retaknya Hubungan Manusia dan Alam

Ketidakpedulian masyarakat terhadap mangrove patut disayangkan. Sebab mangrove memiliki banyak manfaat dalam menjaga ekosistem pantai, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia. (Thinkstockphoto)

Secara sosial, kegiatan rehabilitasi mangrove arus menempatkan masyarakat setempat sebagai subyek  untuk mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan ini, semua pihak harus beranggapan kelestarian hutan mangrove adalah tanggung jawab kita bersama. Lalu pada aspek ekonomi, masyarakat dapat meningkatkan pendapatan dengan berbagai cara. Bisa dengan kegiatan budi daya perikanan, pengolahan buah mangrove, juga lokasi ekowisata.

Beberapa hutan mangrove telah berhasil dikembangkan oleh Yayasan Kehati menjadi lokasi ekowisata, antara lain hutan mangrove Desa Pandansari, Brebes, dan hutan mangrove Desa Binanga, Sulawesi Selatan. Hingga saat ini, Yayasan Kehati terus mengembangkan hutan mangrove di wilayah lain di Indonesia.

Rehabilitasi ekosistiem hutan mangrove tidak sekadar menanam bibit mangrove, tetapi mulai dari perencanaan hingga tahap evaluasi. (Kehati)

Isu pelestarian hutan mangrove masih jarang dibicarakan di Indonesia. Padahal, mangrove memegang peranan penting dalam menjaga ekosistem pantai. Sementara itu perubahan iklim tengah mengancam tenggelamnya kota-kota pesisir.

"Kita kadang tidak begitu perhatian dengan hutan mangrove, padahal mereka tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan di Jakarta sebenarnya ada hutan mangrove yang terletak di Pantai Indah Kapuk," kata Ratih Loekito, Direktur Pengembangan dan Pemasaran Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Ratih menjelaskan, bahwa Indonesia saat ini memiliki hutan mangrove seluas 3,5 juta hektar. Ekosistem mangrove Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, yang mencakup 23 persen dari keseluruhan ekosistem mangrove di Bumi.

"Akan tetapi, deforestasi terhadap mangrove di Indonesia juga sangat besar, mencapai 50.000-an hektar pada periode 1980-an. Sekarang sekitar 600.000-an hektar mangrove dalam keadaan rusak atau kritis," kata Ratih. "Kita harus mampu memulihkannya kembali agar kehidupan ekosistem ini dapat kembali seperti sedia kala."

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Perempuan dengan Hutan Perempuan