Gladiatrix, Sebutan Gladiator Perempuan yang Bertarung di Roma

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 4 Agustus 2021 | 22:30 WIB
Relief Halicarnassus yang menggambarkan pertarungan antar gladiatriks (gladiator untuk perempuan), Amazon dan Achillia. (Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id - Selama ini, kita mengira gladiator sebagai olahraga yang hanya diikuti oleh laki-laki tangguh yang terkadang juga harus berhadapan dengan hewan buas. Nyatanya, kebiasaan orang Romawi ini juga diikuti oleh kalangan perempuan sebagai gladiatrix.

Meski demikian, keberadaan mereka dalam catatan sejarah memanglah sedikit. Bagi orang Romawi, pertarungan para gladiatrix ini adalah baru, dan beberapa menyebutkannya sebagai cara yang menghina.

Saking jarang dan beberapa yang merendahkannya, gladiatrix lebih dianggap sebagai tontonan eksotis nan mewah. Thomas Wiedemann sejarawan klasik dari University of Bristol menulis kisahnya lewat bukunya, Emperors and Gladiators (2002).

 

Pertarungan gladiator wanita tampaknya menjadi tontonan langka di Kekaisaran Romawi. Akan tetapi, analisis baru dari sebuah patung di museum Jerman menambah bukti bahwa wanita terlatih bertarung sampai mati di amfiteater kuno. (Alfonso Manas)

 

Wiedmann menulis, keberadaannya diketahui pada 66 Masehi, ketika Kaisar Nero (berkuasa 54-68 M) menyuruh wanita, pria, dan anak-anak Ethiopia harus bertarung untuk menghibur Raja Tridates I dari Armenia.

Keberadaan gladiatrix diketahui tidak dilakukan secara terhormat seperti laki-laki. Mereka kerap ditampilkan secara rendah seperti pertarungan parodi untuk membuat gelak tawa penonton.

Sejarawan masa Romawi Publius Cornelius Tacitus (56-120 M), mengisahkan posisi gladiatrix masa Nero. Dia menceritakan bahwa "banyak wanita terhormat, meskipun dari kalangan senat, mempemalukan diri mereka sendiri dengan tampil di amfiteater".

Hal itu terus belanjut pada masa Kaisar Titus Flavius Domitianus (berkuasa 81-96 M) mengadakan pertarungan antara gladiatriks dengan kurcaci. Walau, sebenarnya ada juga pertarungan yang secara sah sebenarnya dilakukan antar gladiatrix untuk kehormatan mereka masing-masing.

Baca Juga: Penemuan Mosaik Sepuluh 'Bikini Girls' di Vila Romawi Casale

 

Colosseum adalah sebuah amfiteater oval di pusat kota Roma, Italia, tepat di sebelah timur Forum Romawi. Inilah amfiteater kuno terbesar yang pernah dibangun, dan masih merupakan amfiteater terbesar di dunia saat ini. Dibangun pada abad pertama, 70-80 Masehi. (FREEPIK)

Salah satu contoh pertarungan itu diceritakan pada relief Halicarnussus (kini Bodrum Turki). 

Pertempuran itu dilakukan oleh dua gladiatrix dengan nama panggung "Amazon" dan "Achilia" (beberapa juga membacanya sebagai Akeelah), yang tampil mengenakan pelindung kaki tempur, cawat, ikat pinggang, perisai segi empat, pedang dan pelindung lengan.

Selain Amazon dan Achilia, arkeolog Luciana Jacobelli dari University of Rome juga menemukan cerita gladiatrix lainnya lewat buku Gladiators at Pompeii. Dia mengungkap pertarungan Mevia dengan binatang buas seperti babi hutan "dengan tombak di tangan dan payudara terbuka."

Cerita Mevia ini sebenarnya ditulis oleh soerang penyair masa Romawi, Decimus Junius Juvenalis, yang hidup sekitar abad kedua Masehi.

Baca Juga: Zenobia, Ratu Pemberontak di Suriah yang Menantang Kekaisaran Romawi

Pertunjukan laga gladiatrix di Museum Archeon, Belanda, tahun 2009. (Hans Splinter/Flickr)

Juvenalis menulis, gladiatrix dilatih untuk pertarungan dengan metode pelatihan dan penggunaan senjata yang sama seperti laki-laki. Semua yang dilatih adalah perempuan dari segala kelas masyarakat, tetapi tampaknya pertarungan yang terjadi sangat sedikit akibat stigma yang sangat kuat pada masanya.

Juvenalis menulis, masyarakat Romawi jarang menghiraukan masyarakat kelas bawah, sehingga pertarungan gladiatrix biasanya karena hinaan sosial, dan tidak membawa nama baik keluarga.

Baca Juga: Manik-manik Kaca Emas Romawi Ditemukan di Situs Sarkofagus Bali

Arena Colosseum, menunjukkan hipogeum yang memiliki sekat-sekat dinding. (FREEPIK)

Namun, tidak ada catatan yang kuat dari Ludus (sekolah gladiator) terkait pelatihan semacam itu pada perempuan.

Sumber tertulis lainnya dimiliki oleh sejarawan era Romawi Cassius Dio (155-235). Dia mencatat bahwa terdapat festival yang diadakan oleh Nero untuk menghormati ibunya. Festival itu berisi para wanita "mengendari kuda, membunuh binatang buas dan bertarung sebagai gladiator, beberapa dengan rela [melakukannya], beberapa terluka di luar kehendak mereka".

Bukti fisik selain relief di Halicarnussus, para arkeolog juga menemukan lampu di Southwark, London. Gambarnya berupa petarung gladiator yang jatuh bersama dewa, dan biji pinus--yang secara tradisi Romawi akan dibakar di arena untuk kesucian.

Baca Juga: Takut dengan Virus Corona, Pria Ini Kembalikan Peninggalan Romawi yang Dicurinya

Impresi seniman tentang gladiator wanita yang menghibur menghibur orang-orang kaya di Roma. (ARKEONEWS)

Sosok itu dianggap oleh para arkeolog sebagai gladiatrix, tetapi ada juga yang menganggapnya sebagai penggemar atau istri dari seorang gladiator pria.

Gladiatrix dihentikan pada 200 M oleh Kaisar Septimus Severus untuk kelas masyarakat apapun, setelah mengadakan kontes olahraga. Dia menilai gladiatrix adalah bentuk kerusakan moral wanita Romawi, karena setiap pertandingannya selalu disambut dengan nyanyian cabul dan panggilan menghina.

"Perempuan mengambil bagian, bersaing satu sama lain paling sengit, dengan hasil lelucon yang dibuat tentang perempuan lain yang juga sangat terhormat," tulis Cassius Dio "Oleh karena itu untuk selanjutnya dilarang bagi wanita mana pun, tidak peduli dari mana asalnya, untuk bertarung dalam satu pertandingan."

 

Baca Juga: Rahasia di Balik Kokohnya Beton Era Romawi Berusia 2.000 Tahun