Boleh dikata, kemakmuran Batavia disumbang oleh warga Cina. Mereka membayar pajak kepala, sementara warga lainnya tidak. Belum lagi pajak-pajak lain yang dipungut oleh pachter (pemegang lisensi) orang Cina yang disetorkan kepada VOC untuk pembiayaan kota.
Namun, Lohanda juga mengingatkan perihal sumbangan untuk Batavia dari warga pribumi lain yang bekerja sebagai budak, serdadu, orang bebas. Juga para kapitannya ―seperti Kapitan Bali, Kapitan Melayu, Kapitan Ambon, Kapitan Bugis, Kapitan Makassar, Kapitan Jawa, dan Kapitan Sumbawa. “Tidak baik terlalu menonjolkan peranan warga Cina di sini, tetapi memang jelas, Batavia dan VOC berhutang banyak kepada mereka,” ungkap Lohanda.
Satu hal yang masih membuat saya takjub, dari 22 kapitan Cina di Batavia hanya Souw Beng Kong-lah yang masih tersisa makamnya. Andai makam kapitan itu ikut punah terlindas jantera zaman, tak ada lagi bukti awal peradaban masyarakat peranakan di Jakarta. Sampai saat ini makam tertua di Jakarta itu masih menanti perlindungan pemerintah dan warga dari aniaya kota yang dulu pernah ia rintis peradabannya.
Seperti harapan anak-anak Gang Taruna untuk menjadi pemain bola dengan segala keterbatasan sarana kota: Semua itu perlu kerja keras untuk mewujudkannya.